Kementerian Perhubungan (Kemenhub) tengah mengkaji penggunaan O-Bahn sebagai alternatif angkutan massal perkotaan di Indonesia. Namun, menurut Peneliti Tata Kota dari Universitas Trisakti Yayat Supriatna, Kemenhub perlu menelaah struktur dan kondisi jalan sebelum menggunakan O-Bahn.
Sebab, menurutnya O-Bahn tidak bisa beroperasi di jalan yang lebarnya terbatas. Di Ibu Kota misalnya, sebagian badan jalan digunakan untuk jalur Trans Jakarta. Jika O-Bahn beroperasi di jalan yang terdapat jalur Trans Jakarta, berpotensi menimbulkan kemacetan.
Karena itu, menurutnya Kemenhub harus mengkaji struktur dan kondisi jalan terlebih dulu. "Tidak boleh dalam satu trayek yang sama, apalagi dengan kondisi lebar jalan yang terbatas. Kecuali, Trans Jakarta dihilangkan," katanya kepada Katadata.co.id, Selasa (25/6).
(Baca: Transjakarta Catat Sudah 13 Ribu Penumpang Menjajal Bus Listrik)
Kalaupun jadi digunakan, menurutnya O-Bahn harus terintegrasi dengan transportasi umum lainnya. Dengan begitu, biaya yang dikeluarkan konsumen menjadi lebih murah. “Silahkan saja O-Bahn beroperasi, tapi tarifnya harus terintegrasi (supaya tidak membebani masyarakat)," kata dia.
Selain itu, menurutnya perlu ada badan usaha atau induk usaha yang membawahi beberapa perusahaan transportasi milik negara. Dengan begitu, pengelolaan transportasi umum menjadi satu dan terpadu.
(Baca: Ujicoba LRT Dimulai, Ini Beda LRT, MRT, dan KRL)
O-Bahn merupakan bus terpadu yang memiliki jalur khusus seperti trem. Transportasi umum ini pertama kali digunakan di Jerman. Berdasarkan catatan Kemenhub, O-Bahn memiliki beberapa keunggulan. Pertama, bus ini dapat keluar dari jalurnya dan beroperasi seperti kendaraan biasa.
Kedua, lebar jalur khusus bus O-Bahn kurang lebih 200 centimeter. Ketiga, bentuknya seperti bus biasa namun memiliki roda horizontal. Jika melaju di jalur khuus, roda horizontal menjadi pemandu, sehingga pengemudi hanya perlu mengatur kecepatan kendaraan.
Keempat, dapat beroperasi menggunakan bus gandeng. Moda angkutan ini dapat menggandeng dua atau tiga bus biasa menjadi satu rangkaian. Dengan demikian, penyedia jasa hanya perlu menambahkan bus pada saat jam sibuk, tidak perlu menyediakan pengemudi ekstra.
(Baca: LRT, Alternatif Baru Transportasi Umum Modern di Jakarta)