Dampak Demonstrasi, Orang Kaya di Hong Kong Ajukan Visa ke Australia

ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter
Demonstran anti-uu ekstradisi mengadakan aksi protes di ruang kedatangan Bandara Internasional Hong Kong, di Hong Kong, China, Jumat (9/8/2019). Sejumlah orang kaya dari Hong Kong mengajukan aplikasi visa ke Australia karena tak tahan dengan unjuk rasa yang berkepanjangan.
Penulis: Hari Widowati
23/8/2019, 08.09 WIB

Aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang Ekstradisi di Hong Kong yang berlangsung sejak Juni lalu membuat para pengusaha resah. Orang-orang kaya di Hong Kong mulai mengincar negara lain yang dinilai lebih aman, salah satunya adalah Australia.

Seorang pengacara imigrasi mengatakan kepada Reuters bahwa para miliarder dan jutawan Hong Kong itu mengajukan visa ke Australia. Departemen Migrasi di negara bagian New South Wales dalam salah satu suratnya kepada agen imigrasi menyebut ada kenaikan signifikan pengajuan visa di wilayah tersebut. Program yang dimaksud adalah Significant Investor Visa (SIV) yang menawarkan izin tinggal di negara tersebut dengan syarat mereka berinvestasi senilai AUS$ 5 juta atau sekitar Rp 48,07 miliar.

Pengacara dari firma Baker & McKenzie di Sydney, Bill Fuggle, membenarkan adanya kenaikan pengajuan program SIV. "Siapapun yang memiliki opsi untuk melakukan hal itu (keluar dari Hong Kong), pasti akan mencoba mengikuti program SIV," kata Fuggle, seperti dikutip Reuters.

RUU Ekstradisi diprotes karena aturan tersebut memungkinkan pelaku kejahatan di Hong Kong diadili di Tiongkok. Para pengunjuk rasa khawatir hal ini akan menggerus jaminan kemerdekaan yang diberikan dalam formula "Satu negara, dua sistem" yang ditetapkan ketika Hong Kong kembali ke tangan Tiongkok pada 1997. Demonstrasi sempat rusuh, Bandara Internasional Hong Kong pun sempat lumpuh. Aktivitas ekonomi dan bisnis di salah satu pusat keuangan dunia itu pun terganggu.

(Baca: Demonstrasi Meluas ke Objek Vital, Bandara Hong Kong Lumpuh Total)

Departemen Keuangan New South Wales mengonfirmasi surat yang dikirimkan kepada para agen yang mengurus visa tersebut. Namun, mereka menolak menjelaskan detailnya. Dalam surat tersebut, Departemen Keuangan New South Wales meminta para agen imigrasi memberikan dukungan untuk klien-klien yang mendiskusikan opsi migrasinya.

Program SIV sebelumnya sangat populer bagi penduduk Tiongkok walaupun Australia baru-baru ini memperketat aturan investasinya. SIV mensyaratkan 40% dari dana AUS$ 5 juta tersebut atau sekitar Rp 19,23 miliar diinvestasikan di saham-saham dengan kapitalisasi pasar kecil (small cap) dan dana yang dibentuk oleh perusahaan modal ventura (venture capital). Investasi langsung ke sektor properti tidak diperbolehkan dalam program ini.

"Australia bukan pilihan pertama bagi mereka untuk memarkir kekayaannya karena negara ini memiliki aturan pajak yang tinggi. Saya khawatir akan lebih banyak orang yang masuk ke sini daripada dananya," kata Fuggle.

(Baca: Demo dan Penutupan Bandara Hong Kong, KJRI Imbau WNI Perbarui Informasi)

Aplikasi dari Warga Negara Tiongkok Mendominasi SIV

Data terbaru mengenai aplikasi atau visa yang diberikan belum tersedia karena Australia hanya mempublikasikan data tersebut secara tahunan. Menurut data terakhir, imigran dari Tiongkok mendominasi 87% dari 2.022 visa SIV yang diberikan pada periode November 2012 hingga June 2018. Sementara itu, Hong Kong berada di urutan kedua dengan porsi 3,2% dari total visa SIV yang diberikan.

Situs properti internasional terbesar di Tiongkok, Juwai.com, juga melihat ada kenaikan permintaan terhadap properti di Sydney dari para pembeli di Hong Kong sejak aksi demonstrasi dimulai. "Membeli properti bukan langkah pertama yang mereka lakukan untuk masuk ke Australia. Yang lebih penting adalah mereka harus mendapatkan izin tinggal lebih dahulu," kata Direktur Eksekutif Juwai.com, Georg Chmiel, melalui surat elektronik kepada Reuters.

Chmiel menyebut, dalam dua tahun hingga lima tahun ke depan akan terlihat seberapa besar pembelian properti Australia yang dilakukan oleh para investor dari Hong Kong. Namun, ia menilai saat ini terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa kenaikan permintaan itu disebabkan oleh demonstrasi yang terjadi di Hong Kong.

(Baca: Hong Kong Rusuh, Alibaba Tunda Rencana IPO Senilai Rp 214 Triliun)