AS - Tiongkok Bersiap Teken Kesepakatan untuk Redam Perang Dagang

ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/File Foto
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berhadapan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Kedua negara akan bertemu untuk meneken kesepakatan perdagangan fase pertama.
Penulis: Ekarina
15/1/2020, 17.52 WIB

Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok akan memasuki fase baru, menjelang pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Wakil Perdana Menteri Tiongkok Liu He untuk meneken kesepakatan perdagangan. Dengan perjanjian fase awal ini, Tiongkok sepakat meningkatkan pembelian dari AS mencakup produk manufaktur, barang pertanian, energi dan jasa.

Perjanjian fase I akan disebut bakal mengakhiri perang tarif senilai ratusan miliar dolar yang berlangsung selama 18 bulan antara dua ekonomi terbesar di dunia. Konflik ini bahkan telah mengguncang pasar keuangan, mencabut rantai pasokan dan memperlambat pertumbuhan global.

(Baca: Anjlok 0,28%, Damai Dagang AS-Tiongkok Tak Mampu Angkat Harga Minyak )

Trump dan Liu dijadwalkan meneken dokumen setebal 86 halaman, di acara Gedung Putih hari ini, Rabu (15/1) disaksikan lebih dari 200 tamu undangan dari kalangan bisnis, pemerintah dan diplomatik.

Terjemahan teks ke bahasa Tiongkok sudah diselesaikan pada Selasa sore, saat Liu bertemu dengan Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.

Trump sebelumnya telah mulai menggembar-gemborkan kesepakatan dagang sebagai pusat dari kampanye pemilihan dan menyebutnya "monster besar cantik" pada rapat umum di Toledo, Ohio pekan lalu.

Inti dari kesepakatan itu berisi komitmen Tiongkok untuk membeli barang-barang AS senilai US$ 200 miliar tambahan selama dua tahun untuk menekan defisit perdagangan AS yang mencapai US$ 420 miliar pada 2018.

(Baca: AS-Tiongkok Damai, IHSG Hanya Naik 0,23% karena Defisit Neraca Dagang)

Dikutip dari Reuters, sebuah sumber menjelaskan bahwa Tiongkok akan membeli produk manufaktur AS senilai US$ 80 miliar selama dua tahun, termasuk pesawat terbang, mobil dan suku cadang mobil, mesin pertanian, dan peralatan medis.

Beijing juga akan meningkatkan pembelian komoditas energi sekitar US$ 50 miliar dan jasa sebesar US$ 35 miliar. Sementara komitmen pembelian produk pertanian akan mencapai US$ 32 miliar dalam dua tahun, lebih besar dibandingkan nilai ekspor AS ke Tiongkok pada 2017, kata sumber tersebut.

Meskipun kesepakatan itu bisa menjadi dorongan besar bagi para petani dan beberapa produsen industri besar di AS, beberapa analis mempertanyakan kemampuan Tiongkok untuk mengalihkan impor dari mitra dagang lainnya ke Amerika Serikat.

“Saya menemukan perubahan radikal dalam pengeluaran Tiongkok akan mustahil. Saya memiliki ekspektasi rendah dalam tujuan bertemuan tersebut,” kata Jim Paulsen, Kepala strategi investasi di Leuthold Group di Minneapolis. "Tapi saya pikir seluruh negosiasi telah menjadikan bola permainan kedua lebih maju," tambahnya.

(Baca: Kesepakatan Dagang Tahap I AS-Tiongkok Rampung, Berikut Perinciannya)

Adapun pada kesepakatan fase pertama yang dicapai Desember lalu itu telah memuat sejumlah komitmen berupa pembatalan tarif AS. Semula AS menetapkan tarif tinggi untuk telepon seluler buatan Negeri Panda, mainan dan komputer laptop dan menurunkan separuh tarif menjadi 7,5% dari barang-barang Tiongkok bernilai sekitar US$ 120 miliar, termasuk televisi layar datar, headphone bluetooth dan alas kaki.

Namun, tarif 25% tetap akan diberlakukan untuk sejumlah besar barang industri dan komponen Tiongkok senilai US$ 250 miliar yang digunakan oleh pabrikan AS.

Dengan meningkatnya tarif ini telah menaikkan biaya input untuk produsen AS hingga menurunkan daya saing mereka. Seperti yang diungkap perusahaan produsen mesin diesel Cummins Inc (CMI.N) yang mengatakan bahwa kebijakan itu membuat perusahaan harus membayar US$ 150 juta untuk tarif impor mesin dan coran produksi Tiongkok.

Meski demikian, pelaku usaha meyakini pertemuan AS dan Tiongkok sebagai langkah positif untuk menghilangkan hambatan tarif.

Namun, angan-angan berakhirnya perang dagang AS-Tiongkok kembali menjadi tanda tanya setelah dua pejabat Gedung Putih, Robert Lighthizer dan Steven Mnuchin menuturkan soal tinjauan ulang kemungkinan penghapusan tarif setelah pemilihan AS pada November 2020. Keduanya mengeluarkan pernyataan bersama bahwa tidak ada perjanjian tertulis atau lisan untuk pengurangan tarif di masa depan.

Mnuchin bahkan mengungkapkan bahwa Trump mungkin akan mempertimbangkan pelonggaran tarif jika dua ekonomi terbesar dunia itu bergerak cepat untuk menggenggam kesepakatan tindak lanjut dalam negosiasi fase II.