Alih-alih mewujudkan swasembada gula yang dicanangkan sejak zaman Orde Baru, Indonesia terus mengimpor gula untuk memenuhi kebutuhan dan meredam kenaikan harga. Pemerintahan silih berganti, begitu juga target waktu swasembada. Yang terkini, swasembada gula dibidik tercapai satu dekade lagi atau pada 2029.
Pada September tahun lalu, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono mengatakan untuk mencapai swasembada gula, diperlukan areal kebun tebu seluas 735 ribu hektare.
Dengan luas lahan tersebut, produksi gula diperkirakan dapat mencapai 5,9 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan gula nasional diperkirakan 5,8 juta ton per tahun. Artinya, ada surplus gula sekitar 100 ribu ton.
(Baca: Atasi Defisit Gula, Pemerintah Andalkan Impor & Alihkan Gula Rafinasi)
Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian ketika itu mengatakan kendala swasembada gula tak lepas dari ketergantungan pabrik gula rafinasi terhadap impor gula kristal mentah selama puluhan tahun.
"Kalau dilihat, hampir semua pabrik gula rafinasi adanya di dekat pelabuhan. Karena otaknya waktu itu mau mengimpor," ujar dia. Ini terjadi lantaran produksi dalam negeri tak mencukupi.
Target swasembada gula bisa tercapai bila luas kebun tebu mencukupi. Maka itu, pemerintah berupaya membantu pabrik gula untuk mendapatkan lahan kebun.
Bila mengacu pada laporan Statistik Tebu 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gula memang turun imbas penurunan luas areal perkebunan tebu. Impor pun melonjak. Pada 2018, impor gula Indonesia tercatat sebagai yang terbesar di dunia.
Kategori Perkebunan Tebu | 2016 | 2017 | 2018 | |||
Luas Kebun | Produksi | Luas Kebun | Produksi | Luas Kebun | Produksi | |
Perkebunan Besar Negara | 76,98 ribu hektare | 0,38 juta ton | 68,55 ribu hektare | 0,3 juta ton | 68,93 ribu hektare | 0,28 juta ton |
Perkebunan Besar Swasta | 131,19 ribu hektare | 0,72 juta ton | 123,75 ribu hektare | 0,67 juta ton | 110,98 ribu hektare | 0,62 juta ton |
Perkebunan Rakyat | 239,18 hektare | 1,26 juta ton | 227,85 hektare | 1,21 juta ton | 235,76 hektare | 1,28 juta ton |
Total | 447,35 hektare | 2,36 juta ton | 420,15 hektare | 2,19 juta ton | 415,66 hektare | 2,17 juta ton |
Sumber: BPS
Indonesia mengimpor 5,03 juta ton gula, dengan nilai US$ 1,8 miliar pada 2018. Dikutip dari World Top Exports, nilai impor ini melebihi Amerika Serikat US$ 1,7 miliar, Tiongkok US$ 1 miliar, Malaysia US$ 735,7 juta, dan Italia US$ 717 juta.
Pemasok terbesar gula ke Indonesia yaitu Thailand US$ 1,5 miliar, sedangkan sisanya Australia US$ 314,7 juta, Brasil US$ 24,5 juta, Korea Selatan US$ 5 juta, Malaysia US$ 460 ribu, Singapura US$ 228 ribu, Jerman US$ 133 ribu, Amerika Serikat US$ 109 ribu, dan Jepang US$ 35 ribu.
Besaran impor gula Indonesia tercatat naik hampir 2 kali lipat dalam kurung waktu lima tahun, yaitu dari 2,93 juta ton pada 2014 menjadi 5,03 juta ton pada 2018.
Impor | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 |
Volume | 2,93 juta ton | 3,37 juta ton | 4,75 juta ton | 4,47 juta ton | 5,03 juta ton |
Nilai | 1,31 miliar | 1,25 miliar | 2,08 miliar | 2,07 miliar | US$ 1,8 miliar |
Sumber: BPS
Masalah produksi dan impor terus “merongrong” hingga sekarang. Dikutip dari Tempo, dalam surat Menteri Perdagangan kepada Presiden Jokowi pada 17 Maret 2020, pemerintah menghitung stok gula kala itu semestinya 652.608 ton dan cukup sampai akhir Maret 2020. Namun nyatanya, stok yang tersedia hanya 421.650 ton.
(Baca: Jokowi Catat Sejumlah Daerah Defisit Bahan Pokok, Terbesar Gula Pasir)
Hal itu disebabkan perkiraan produksi gula pada 2019 tidak sesuai dengan fakta di lapangan. Ditambah lagi, tidak terealisasinya izin impor oleh Perum Bulog sebesar 30 ribu ton pada Desember 2020. Alhasil, negara mengalami kekurangan 230.958 ton gula dan pasokan yang ada hanya cukup sampai Februari 2020.
Untuk mengatasi kekurangan stok, impor jadi solusi. Namun, usulan impor sempat dikritik Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Pasalnya, impor dikhawatirkan bakal mengancam harga jual gula petani. Apalagi, ada beberapa daerah yang memasuki musim giling tebu pada Maret.
(Baca: Turunkan Harga Gula, Kemendag Bakal Pangkas Rantai Distribusi)
“Jadi tidak mungkin petani menikmati kenaikan harga jika pasarnya dibajiri gula impor. Kebijakan kita tidak fokus pada peningkatan produksi dan kesejahteraan petani," kata Ketua Umum Dewan Pimpinan APTRI Soemitro Samadikoen, awal Maret lalu.
Indonesia Pernah Jadi Pengekspor Gula Terbesar Dunia
Sebenarnya Indonesia pernah menjadi pengekspor gula kedua terbesar dunia setelah Kuba. Ini terjadi di era tahun 1930-an. Namun, seiring berjalannya waktu, Indonesia justru berbalik menjadi pengimpor gula.
Dikutip dari tulisan Organisasi Pertanian dan Pangan, FAO, Industri gula Indonesia berada pada era kesuksesan pada awal 1930-an. Ketika itu, terdapat 179 pabrik yang memproduksi hampir 3 juta ton gula setiap tahunnya. Namun kemudian, harga gula jatuh sehingga memukul industri dan hanya menyisakan 35 pabrik dengan produksi 500 ribu ton.
Satu dekade kemudian, industri pulih. Di awal Perang Dunia II, terdapat 93 pabrik dengan produksi mencapai 1,5 juta ton. Tapi, penurunan kembali terjadi sehingga setelah Perang Dunia II, hanya tersisa 30 pabrik dengan produksi kurang dari 300 ribu ton.
Indonesia kembali menjadi net exporter gula pada era tahun 1950-an. Ini artinya, Indonesia lebih banyak mengekspor ketimbang mengimpor gula. Namun, sejak 1967 Indonesia telah berbalik menjadi net importer. Lonjakan harga gula setelah itu pun jadi isu bagi ekonomi.
Dikutip dari Historia, pada awal 1970-an, dunia mengalami kelangkaan gula karena embargo ekonomi terhadap pemasok utama gula, Kuba. Kelangkaan juga seiring gagal panen bit, tanaman penghasil gula, di Eropa Timur dan Rusia. Harga tebu pun melonjak.
Merespons kondisi ini, pemerintah Indonesia menggandeng Bank Dunia guna mencari solusi. Studi pun dibuat untuk menyusun rencana sepuluh tahun pengembangan industri gula guna memenuhi kebutuhan domestik dan menyiapkan pembiayaan lembaga keuangan mulai 1973.
Aard Hartveld dalam The Nucleus Estate and Smallholders Development Program in Indonesia menulis, kesimpulan studi itu yakni rehabilitasi industri gula Indonesia dengan modernisasi dan ekspansi pabrik-pabrik gula, memperluas lahan, penyuluhan kepada petani dan konsultasi teknik, membangun transportasi, serta pemberian kredit.
Harian Kompas memberitakan, target produksi gula 1,08 juta ton pada 1974 diklaim tercapai. Sebelumnya, pemerintah optimistis target tersebut bisa membawa Indonesia swasembada gula. Namun, swasembada belum tercapai lantaran tantangan peningkatan konsumsi. Sejak itu, target terus dipatok dan dimundurkan.