Beras Bulog Terancam Dibuang, Pemerintah Disarankan Evaluasi HPP

ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
Pekerja memikul karung beras di Gudang Bulog Sub Divisi Regional Serang di Serang, Banten, Jumat (29/11/2019).
4/12/2019, 19.01 WIB

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menilai Harga Pembelian pemerintah (HPP) untuk beras perlu dievaluasi. Sebab, akibat HPP yang rendah, kualitas beras yang diserap Perum Bulog tidak terlalu baik sehingga mudah mengalami penurunan kualitas.

Ini diduga jadi penyebab 20 ribu ton Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang berpotensi dibuang. "Relevansi HPP yang berlaku sudah cukup kadaluarsa kalau melihat pergerakan harga saat ini. Dasar hukum implementasi HPP sudah berjalan sekitar empat tahun," kata Galuh seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (4/12).

Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015, HPP Gabah Kering Panen (GKP) berada di kisaran harga Rp 3.700 per kilogram, dengan fleksibilitas harga sebesar 10%. Artinya, Bulog bisa menawarkan harga pembelian sekitar Rp 4.050 per kilogram.

(Baca: Jokowi Perintahkan Mentan dan Bulog Benahi Manajemen Cadangan Beras)

Galuh mengatakan, kalau Bulog diharuskan menyerap beras dengan kualitas yang lebih baik, sebaiknya Bulog diberikan akses untuk menggunakan HPP GKP yang lebih bersaing. HPP tersebut ditentukan oleh sejumlah faktor seperti inflasi, biaya transportasi, dan perubahan margin keuntungan petani.

Maka itu, ia meminta pemerintah meninjau ulang HPP. Peninjauan juga perlu dilakukan untuk menghindari masalah penyerapan beras di tahun-tahun berikutnya karena kenaikan harga ke depan.

Adapun untuk mengatur harga beras, ia menyarankan agar pemerintah tidak bergantung kepada HPP. Menurut dia, yang perlu dilakukan adalah intervensi pemerintah dari segi produksi dan distribusi melalui dengan teknologi. Dengan begitu, harga beras terjangkau bagi konsumen serta tetap menyejahterakan petani.

(Baca: Buwas Hendak Tutup Utang Bulog Rp 28 T dari Penjualan Beras Komersial)

Lebih jauh, ia menduga masalah cadangan beras Bulog juga imbas perubahan skema bantuan sosial. Transformasi dari skema beras sejahtera (rastra) ke Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) membuat Bulog tidak lagi menjadi pemasok utama beras.

Maka itu, ia menilai penting bagi Bulog untuk meningkatkan daya tarik produknya agar diminati oleh masyarakat, terutama para penerima BPNT. “Karena masyarakat lebih memilih untuk membeli beras dengan harga terjangkau, berkualitas baik dan pelayanan yang cepat dan tepat," ujar dia.