Peremajaan Sawit Belum Maksimal, Dana BPDPKS Dipakai untuk Biodiesel

ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Ilustrasi, buruh kerja memanen kelapa sawit di perkebunan kawasan Cimulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (10/9/2019). Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia menyatakan program peremajaan belum maksimal karena terkendala persetujuan pemerintah. Dana tersebut pun akhirnya dipakai untuk biodiesel.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Ratna Iskana
25/2/2020, 16.51 WIB

Meski belum maksimal, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) optimistis penyaluran dana untuk peremajaan atau replanting kelapa sawit swadaya kepada petani dapat tercapai. Mayoritas dana yang dikumpulkan saat ini akhirnya digunakan untuk program biodiesel.

Plt Direktur Kemitraan BPDPKS Muhammad Ferian mengatakan program replanting membutuhkan persetujuan Kementerian Pertanian (Kementan). Sementara BPDPKS telah merancang program tersebut hingga tiga tahun ke depan. 

"Kalau urusan peremajaan mari kita bersama-sama tanyakan bagaimana desain programnya dari Kementerian Pertanian," kata Ferian dalam Katadata Forum di Jakarta, Selasa (25/5).

Meski begitu, ia tetap optimistis target replanting selama tiga tahun ke depan bisa mencapai 500 ribu hektare. Sedangkan untuk program replanting tahun ini ditargetkan mencapai 180 ribu hektare.

Hal tersebut didukung dengan perbaikan sejumlah regulasi di Kementerian Pertanian. Adapun total penyaluran dana untuk peremajaan sawit selama 2015-2019 hanya sebesar Rp 2 triliun. Realisasi tersebut untuk peremajaan sawit seluas 80 ribu hektar.

(Baca: India Terbitkan Izin Impor 1,1 Juta Ton Minyak Sawit Indonesia)

Dengan tersendatnya program peremajaan, BPDPKS menggunakan dana untuk program biodiesel. Sebab, harga minyak kelapa sawit sejak 2015 turun karena produksi dalam negeri tidak terserap oleh pasar.

Keputusan tersebut juga berdasarkan pada kesiapan industri biodiesel. Ferian menilai sektor biodiesel memiliki regulasi yang paling lengkap serta teknologi yang paling siap dibandingkan sektor lainnya.

Apalagi biodiesel dinilai tak mengganggu konsumen karena dapat menguntungkan pengguna kendaraan berbahan bakar solar. Dengan upaya tersebut, program biodiesel dianggap menjadi penyangga harga minyak kepala sawit atau CPO hingga saat ini.

"Sekarang, fluktuasi harga CPO mulai berkurang," katanya.

(Baca: Mentan Sebut Ekspor Sawit Bulan Ini Anjlok Karena Virus Corona)

Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto sebelumnya mengatakan sebagian besar dana BPDPKS digunakan untuk program biodiesel. "Padahal petani sudah teriak untuk replanting sawit," kata Darto.

Dalam lima tahun terakhir, dana BPDPKS untuk peremajaan sawit hanya mencapai sekitar 58 ribu hektare. Sedangkan, pemerintah menargetkan replanting sawit bisa mencapai 180 ribu hektar per tahun. Padahal, program peremajaan merupakan kunci untuk mendorong produktivitas kelapa sawit dan pengembangan bahan bakar nabati.

Berdasarkan data pada Desember 2019, total penerimaan dana yang dikelola BPDPKS dari pungutan ekspor produk sawit mencapai Rp 47,23 triliun dengan realisasi penyaluran senilai Rp 33,6 triliun.

Dari total penerimaan tersebut, komite pengarah telah menetapkan besaran alokasi senilai Rp 29,2 triliun untuk insentif biodiesel, Rp 2,3 triliun untuk peremajaan sawit rakyat, Rp 246,5 miliar untuk riset, Rp 121,3 miliar untuk pengembangan sumber daya manusia dan beasiswa, serta Rp 171,3 miliar untuk promosi. Artinya, alokasi untuk peremajaan sawit rakyat hanya sekitar 6,9% dari keseluruhan penerimaan, sedangkan insentif biodiesel mencapai 61,82%.

Padahal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan Pasal 93 menyebutkan penghimpunan dana dari Pelaku Usaha Perkebunan digunakan untuk pengembangan sumber daya manusia, penelitian dan pengembangan, promosi perkebunan, peremajaan, tanaman perkebunan, dan/atau sarana dan prasarana perkebunan.

(Baca: Dana BPDPKS Beralih ke Biodiesel, Peremajaan Sawit di Bawah Target)

Reporter: Rizky Alika