Memacu Pelesiran dengan Teknologi Satu Sentuhan

ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI
Turis asing bermain snorkeling di perairan Gili Meno, Desa Gili Indah, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Minggu (14/7/2019).
Penulis: Yuliawati
20/7/2019, 08.40 WIB

Mutiara Fajrin merasakan pengalaman wisata yang unik saat mengunjungi  Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur, Oktober tahun lalu. Dia pertama kalinya  menikmati wisata living on boat alias menginap di kapal bersama sahabatnya dan enam turis asing lain yang berbagi sewa kapal.

Kapal membawa mereka mengelilingi pulau-pulau di sekitar Labuan Bajo selama tiga hari dua malam. Beberapa spot wisata menarik yang disinggahi di antaranya Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Pink Beach.

Selama mengelilingi Labuan Bajo, Mutiara bebas bermain pasir di pantai, berkeliling pulau, snorkeling, dan berburu kuliner makanan laut. “Saat malam kami tidur di dalam kapal yang tertambat di pelabuhan,” kata Mutiara kepada Katadata.co.id, beberapa waktu lalu.

Mutiara dan sahabatnya mengatur liburan ke Labuan Bajo dengan mengandalkan aplikasi perjalanan dan informasi di media sosial. “Sahabat saya mendapatkan informasi promo living on boat di Instagram, sedangkan saya mencari tiket pesawat,” kata Mutiara.

Ilustrasi pemesanan tiket melalui aplikasi digital. (Katadata)


Mutiara berhasil mendapatkan tiket pesawat murah, promo dari Airasia yang baru saja membuka rute penerbangan dari tempat tinggalnya di Jakarta menuju Labuan Bajo. Informasi diperoleh Mutiara dari notifikasi promosi di sebuah aplikasi perjalanan. “Saya merasa beruntung sekali berhasil mendapatkan tiket pesawat dengan harga murah Rp 900 ribu sekali jalan saat itu,” kata Mutiara.

Berkat keuletan Mutiara dan kawannya mereka pun bersenang-senang dengan harga hemat. Biaya pengeluaran liburan di Labuan Bajo, termasuk harga tiket pesawat pulang dan pergi sebesar Rp 5 juta tiap orangnya.

Mutiara merupakan salah satu dari kalangan milenial yang menggunakan layanan perjalanan digital sebagai sumber informasi utama dalam menentukan liburan mereka. Saat ini sekitar 62,9% populasi dunia memiliki ponsel pintar dan rata-rata menggunakannya 3,5 – 5 jam sehari.

Google bekerja sama dengan PhocusWright pada 2018 mengenai penggunaan ponsel cerdas untuk perjalanan wisatawan. Dari hasil riset, para pelancong menggunakan ponsel cerdas mulai dari riset perjalanan, pemesanan, hingga mengandalkan perangkat seluler di tempat tujuan.

Perkembangan Layanan Wisata Digital

Layanan wisata digital di Indonesia mendapatkan tempat seiring berkembangnya kebutuhan ekonomi rekreasi (leisure economy) di Indonesia. Leisure economy merupakan pola konsumsi masyarakat yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan dan pengalaman.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Linda Nazareth lewat bukunya The Leisure Economy: How Changing Demographics, Economics, and Generational Attitudes Will Reshape Our Lives and Our Industries (2007). Linda mengatakan bahwa pola konsumsi masyarakat mulai bergeser dari goods-based consumption (barang) menjadi experience-based consumption (pengalaman).

Pengamat pariwisata Yuswohady dalam sebuah tulisannya menyatakan tren konsumsi wisata di Indonesia mendapatkan amunisi pertumbuhannya di antaranya karena dua hal berikut.

Pertama, hadirnya penerbangan murah atau low cost carrier (LCC) yang membuat semakin banyak masyarakat mampu menjangkau tiket pesawat. Kehadiran LCC diikuti murahnya tarif hotel (budget hotel) dan menciptakan apa yang disebut: “low cost tourism”.

Kedua, hadirnya aplikasi perjalanan yang memberikan kemudahan informasi penerbangan/hotel yang terbaik/termurah. “Kemudahan ini memicu minat luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat untuk berlibur,” tulis Yuswohady.

Peranan aplikasi perjalanan terlihat dari survey Jakpat yang bertajuk “Travelling Trends 2018”.
Survei tersebut melibatkan 2.905 responden yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Papua dan Maluku. Hasilnya, sebanyak 81,47% responden menyatakan bahwa mereka menggunakan aplikasi perjalanan.

Aplikasi perjalanan yang paling banyak digunakan yakni Traveloka (87,05%) dan Tiket.com (29,75%). Selanjutnya Pegipegi (19,59%), Airy (7,95%), Agoda (7,53%) dan Boking.com (3,84%).

Aplikasi perjalanan Traveloka yang didirikan pada 2012 oleh Ferry Unardi dkk, mencatat bahwa pengeluaran liburan pada 2018 pertumbuhannya sekitar 5,1 % dengan nilai mencapai Rp 368,9 triliun.

Direktur Hubungan Masyarakat Traveloka Sufintri Rahayu mengutip Google menyatakan  jumlah pencarian terkait travel mengalami kenaikan yang signifikan - sebesar 30% per tahun.

“Melihat tren travel yang positif, kami akan terus menambahkan fitur dan produk yang semakin dapat membantu pengguna untuk memudahkan dalam melakukan perjalanan,” kata Sufintri kepada Katadata.co.id.

Tren Tourism 4.0

Tak hanya pihak swasta, pemerintah di sejumlah negara kini memanfaatkan teknologi digital untuk mengembangkan pariwisata atau dikenal dengan istilah tourism 4.0. Kementerian Pariwisata memiliki program Go-Digital demi mencapai target 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019.

Tren tourism 4.0 di diprakarsai Spanyol yang menerapkan digitalisasi pariwisata di beberapa destinasi utamanya. Sekitar 1,2 miliar orang di seluruh dunia bepergian ke Spanyol sepanjang 2016. Jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 1,8 miliar orang tahun ini.

Spanyol menjadi negara yang memiliki pendapatan pariwisata terbesar ketiga di dunia. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Spanyol dari sektor pariwisata sekitar 11% atau 78 juta euro tahun lalu.

Suasana pantai di Mandalika (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)

Menteri Pariwisata Arief Yahya menyatakan perilaku wisatawan yang datang ke Indonesia untuk look, book, and pay sudah dilakukan secara digital. Gaya hidup ini mengubah strategi dari konvensional menjadi go digital. Dia menyatakan 50% wisatawan berasal dari kalangan generasi milenial, oleh sebab itu menjadi target utama pariwisata Indonesia.

“Kuncinya the more digital, the more global, sehingga dituntut lebih interaktif, mobile, dan personal,” kata Arief dikutip dari situs Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Arief juga menjelaskan bahwa saat ini Kementerian Pariwisata menggunakan 70% anggaran untuk promosi di media digital. “Akan aneh kalau masyarakat pakai digital dan kami masih pakai manual, untuk menjangkau wisatawan milenial harus dengan milenial,” kata dia.

Reporter: Cindy Mutia Annur