Gagal Bayar Obligasi, Duniatex Punya Mal hingga Rumah Sakit

Dok. Duniatex
Seorang pekerja mengawasi mesin pemintal benang di salah satu pabrik milik Duniatex Grup. Kasus gagal bayar kupon obligasi anak usaha Duniatex mengejutkan pasar keuangan karena terjadi hanya berselang 4 bulan setelah penerbitannya.
Penulis: Hari Widowati
23/7/2019, 11.35 WIB

Pasar keuangan kembali dikejutkan oleh kasus gagal bayar (default) kupon obligasi PT Delta Merlin Dunia Textile, anak usaha Duniatex Grup. Gagal bayar ini terjadi hanya berselang empat bulan dari penerbitan obligasi senilai US$ 300 juta dengan kupon 8,625% per tahun pada Maret lalu.

Standard and Poors (S&P) memangkas peringkat obligasi dolar bertenor lima tahun itu dari BB- menjadi CCC- (junk bond). Menurut lembaga pemeringkat global itu, perusahaan tekstil yang berkantor pusat di Solo ini menghadapi masalah likuiditas yang serius.

Fitch Ratings juga menurunkan peringkat kredit Delta Merlin Dunia Textile dari BB- menjadi B-. Fitch menyoroti tekanan pembiayaan kembali dan risiko likuiditas yang dihadapi perusahaan. Kasus gagal bayar ini juga berisiko membatasi akses perusahaan ke perbankan dan pasar modal. Pelemahan kinerja keuangan perusahaan disebabkan oleh dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang menahan permintaan tekstil. 

Kasus gagal bayar kupon obligasi Delta Merlin ini mengagetkan karena selama ini Duniatex belum pernah terlambat memenuhi kewajiban keuangannya. PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) memiliki eksposur kredit ke Duniatex Rp 5,5 triliun pada 2015 dan saat ini tersisa Rp 2,2 triliun. Adapun PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) memiliki eksposur kredit ke Duniatex sebesar Rp 301 miliar.

(Baca: Kreditur Bank BUMN Setujui Skema Restrukturisasi Utang Krakatau Steel)

Kerajaan Bisnis Duniatex Dibangun Mantan Sopir

Siapakah Delta Merlin dan Duniatex Grup? Berdasarkan informasi di laman resmi perusahaan, Duniatex didirikan pada 1974 oleh Sugeng Hartono, seorang pengusaha asal Solo. Sebelum memiliki bisnis tekstil, Hartono pernah berprofesi sebagai seorang sopir. Hartono dan istrinya, Indriati, akhirnya memutuskan untuk mendirikan Duniatex dengan modal awal beberapa mesin produksi.

Perusahaan yang bergerak di industri finishing tekstil itu terus berkembang dan mengakuisisi PT Damaitex pada 1992. Duniatex memperluas operasi di industri tenun dengan mendirikan perusahaan baru PT Dunia Sandang Abadi dan PT Delta Merlin Dunia Tekstil pada 1998.

Delta Merlin hingga kini telah memiliki delapan pabrik di beberapa daerah. Pada 2003, Duniatex masuk ke industri pemintalan dengan mendirikan PT Delta Merlin Sandang Tekstil disusul pendirian PT Delta Dunia Tekstil pada 2006. Duniatex kemudian mendirikan Delta Dunia Sandang Tekstil pada 2010.

Setidaknya ada 18 perusahaan yang bernaung di bawah Duniatex Grup dengan fasilitas produksi seluas 150 ha dan 40 ribu tenaga kerja. Mereka mengekspor produknya ke Asia, Eropa, Afrika, dan Amerika. Tidak mengherankan jika Duniatex disebut sebagai pemain terbesar di industri tekstil Indonesia.

(Baca: Berisiko Gagal Bayar Utang, Bursa Telusuri Perubahan Pengurus Jababeka)

Sengketa Hak Paten dengan Sritex

Berdasarkan penelusuran di media massa, Delta Merlin Dunia Tekstil pernah berseteru dengan Sritex soal hak paten kain rayon dengan kode benang kuning pada 2011. Sritex melaporkan Delta Merlin ke Polda Jateng atas tuduhan pemalsuan kain dengan label kode benang kuning.

Buntut dari kasus tersebut, Direktur Utama PT Delta Merlin Jau Tau Kwan dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Karanganyar. Presiden Komisaris Delta Merlin yang juga penerus bisnis Hartono, yakni Sumitro, masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO). Pasalnya, ia tak pernah memenuhi panggilan dari Polda Jateng setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.

Pada 22 Maret 2012 majelis hakim PN Karanganyar memvonis bebas Jau Tau Kwan. Hakim memnilai kain grey rayon garis kuning bukan karya seni terapan yang harus dilindungi hak cipta. Oleh karena itu, majelis hakim menilai hak cipta yang dipegang Sritex Sukoharjo dinyatakan batal.

Seperti dilansir Detik.com, OC Kaligis selaku kuasa hukum Jau Tau Kwan, menilai kasus ini Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) terlalu gegabah memberikan hak paten untuk produk-produk yang sudah diproduksi massal. Ditjen HAKI pada 15 Agustus 2011 memberikan hak paten kepada tujuh produk yang didaftarkan oleh Sritex Sukoharjo, yakni seni gambar benang kuning, satu motif loreng, tiga motif loreng digital, logo Sritex, dan logo Sritex Group. Kaligis menilai, pemberian hak paten tersebut harus ditinjau kembali.

(Baca: Sritex: Produsen Resmi Seragam NATO)

Duniatex Merambah Bisnis Properti hingga Rumah Sakit

Di bawah kepemimpinan Sumitro, Duniatex mengembangkan bisnisnya ke sektor properti setelah sukses membesarkan bisnis tekstil. Ia membangun Hartono Mall pertama di Solo Baru, Sukoharjo pada 2012 melalui PT Delta Merlin Dunia Properti. Nama Hartono dipakai sebagai pengingat atas jasa sang ayah.

Mal ini direspons positif oleh masyarakat Solo. Hartono Mall kedua pun dibangun di Condong Catur, Sleman, Yogyakarta dan mulai beroperasi pada November 2015. Selain mal, ada juga beberapa outlet Hartono Elektronik di sejumlah kota besar, termasuk Jakarta, Surabaya, Malang, dan Sidoarjo.

Delta Merlin Dunia Properti juga memiliki beberapa hotel, seperti The Alana Solo, Best Western Solo, Marriot Yogyakarta, De Salvatore Art and Boutique Yogyakarta, Favehotel Solo, dan De Rivier Hotel Jakarta. Properti lainnya adalah Hartono Trade Center, pusat grosir di kawasan Solo Baru yang menempati lahan seluas 1,1 ha.

Untuk mengenang sang ibu, Sumitro membangun RS Indriati di Solo Baru dengan luas bangunan 70 ribu m2. Rumah sakit umum swasta tipe C tersebut dalam jangka panjang diharapkan menjadi rumah sakit pendidikan yang terakreditasi secara nasional maupun internasional.

(Baca: Jababeka Terancam Gagal Bayar Utang, Harga Sahamnya Anjlok 12%)