Pengusaha : Kenaikan Cukai Bisa Dorong Peredaran Rokok Ilegal

ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Ilustrasi. Pemerintah berencana menaikkan cukai rokok rata-rata sebesar 23% tahun depan.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
19/9/2019, 10.56 WIB

Pengurus Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Malang Adi Handardi menilai, kenaikan cukai rokok pada tahun depan dapat mendorong peredaran rokok ilegal. Menurutnya, sebanyak 15-30% perokok aktif akan mengurangi konsumsi rokoknya lantaran tidak mampu mengikuti kenaikan cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok.

"Mereka tidak kuat membeli atau menurunkan konsumsi menjadi rokok batangan. Penjualan rokok batangan akan marak dan ini mengakibatkan peredaran rokok ilegal," kata Adi di Jakarta, Rabu (19/9).

(Baca: Cukai Naik, Produksi Rokok Tahun Depan Diperkirakan Turun 15%)

Sementara, sisa perokok aktif lainnya tidak akan mengurangi konsumsi meski terjadi kenaikan cukai dan HJE. Akibatnya, tidak semua produksi rokok akan menggunakan bungkus. Hal ini untuk memfasilitasi konsumen yang ingin membeli rokok ketengan.

Adi juga memperkirakan, produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) golongan I, yaitu rokok termahal, akan menurun sebanyak 15%.

"Tidak tahu kalau golongan lainnya turun berapa. Akan banyak penurunannya," ujar dia.

Menurutnya, cukai rokok memiliki andil sebesar 70% dari biaya harga rokok pabrik. Dengan adanya kenaikan cukai, ia menilai ekosistem industri rokok akan terganggu.

(Baca: Cukai Rokok Naik 23%, Penduduk Miskin Bertambah?)

Penjualan rokok, menurut dia,  akan turun dan berakibat pada produksi serta penurunan penyerapan tembakau dan cengkeh hingga 30%. Selain itu, ia menyebut bakal terjadi pemangkasan karyawan pabrik, serta peningkatan rokok ilegal.

Padahal, menurut dia, industri rokok sangat strategis jika melihat kontribusi terhadap pendapatan negara yang mencapai 10% terhadap APBN atau sekitar Rp 200 triliun. Pendapatan tersebut diperoleh melalui instrumen cukai, pajak rokok daerah, dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Industri hasil tembakau juga menyerap 7,1 pekerja yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri yang terkait. Padahal, saat ini industri hasil tembakau tengah mengalami tren negatif.

Reporter: Rizky Alika