Setahun setelah moratorium pembukaan lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit berjalan, masih banyak persoalan di lapangan yang belum dapat perhatian. Tumpang tindih perizinan dan peruntukan lahan hanya sebagian di antaranya.
Tak tanggung-tanggung, dari analisis spasial Madani Berkelanjutan ditemukan 1 juta hektare kebun sawit milik 724 perusahaan berada di dalam kawasan hutan primer dan lahan gambut prioritas restorasi yang tersebar di 24 provinsi. Sebagian besar kebun sawit itu sudah beroperasi dan sebagian sudah mendapatkan izin tapi belum melakukan pembukaan.
Kawasan hutan yang masuk dalam alokasi izin untuk perkebunan kelapa sawit tapi belum dilakukan pembukaan ini yang menurut Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya masih dapat diselamatkan. Sebagai contoh perkebunan kelapa sawit di Papua yang bukan hanya berada di kawasan hutan, melainkan di hutan alam primer dan wilayah restorasi gambut. Kedua area itu sudah dinyatakan sebagai kawasan yang dilindungi sejak 2016. Bahkan sejak Mei 2011, pemerintah sudah melarang kegiatan apa pun di hutan alam primer.
Memiliki kebun yang separuhnya berada di kawasan yang harus dikonservasi, SMART Tbk sejak 2014 membuat kebijakan tidak lagi membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan fokus pada perbaikan berkelanjutan terhadap kebun yang sudah dikelola. Jumlah perkebunan yang dikelola SMART ada 180 kebun tersebar di 12 provinsi, sebagian besar Kalimantan dan Sumatera (tidak ada di Sulawesi), termasuk di Papua yang sudah dimiliki sejak 30-an tahun lalu dan sudah replanting.
Direktur Sinar Mas Agus Purwanto yang dijumpai tim Katadata di Sinar Mas Land Tower Jakarta, pada akhir Agustus 2019 lalu memaparkan total areal tanam SMART Tbk di Indonesia 498.395 hektare, termasuk kebun milik petani swadaya. Di antara luasan itu, 70-an ribu hektare (seluas Singapura) adalah kawasan hutan yang harus dijaga.
“Kami punya tim yang tiap tahun berkeliling dari satu kebun ke kebun lain, membuat pemetaan partisipatif dengan masyarakat. Di masa depan, itu menjadi investasi yang akan menjaga keberlangsungan kebun kami,” ujar Agus.
Bancakan penguasa
Lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan, dan pengendalian di sektor kelapa sawit, menjadikannya rawan terhadap persoalan korupsi, yang seringkali melibatkan kepala daerah.
Kepada tim Katadata di Kantor Sekretariat Madani Berkelanjutan di Jakarta Selatan, Selasa, 10 September 2019, Teguh menyampaikan, “Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak politisi yang duduk sebagai wakil rakyat memiliki hubungan erat dengan bisnis kelapa sawit. Dari kajian KPK dan BPK, bisnis sawit banyak ‘bolongnya’, banyak curangnya, bahkan banyak merugikan negara hingga triliunan rupiah.”
Bupati Buol periode 2007-2012, Amran Batalipu, misalnya, yang dicokok KPK pada 2012. Dia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menerima pemberian atau janji berupa uang Rp3 miliar dari PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP)/ PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM). Suap yang diberikan dalam dua tahap, masing-masing Rp1 miliar dan Rp2 miliar, itu adalah barter atas jasa Amran membuat surat rekomendasi terkait izin usaha perkebunan dan hak guna usaha perkebunan untuk PT HIP/ PT CCM di Buol, Sulawesi Tengah.
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta mengganjar Amran hukuman tujuh tahun enam bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider enam bulan kurungan. Sebelumnya, dua Gubernur Riau masuk penjara berhubungan juga dengan pemberian izin lahan, yakni Rusli Zainal (menjabat 2003-2008, dan 2008-2013) serta Annas Maamun (menjabat Februari-September 2014).
Rusli Zainal divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Tipikor Pekanbaru pada 12 Maret 2014 akibat dua kasus. Dia dinilai melanggar hukum karena mengesahkan izin kehutanan Bagan Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (BKT-UPHHKHT) terhadap sembilan perusahaan. Pengesahan itu menyebabkan pembukaan hutan alam dan merugikan negara Rp265 miliar.
Setahun kemudian, pada 24 Juni 2015, Gubernur Annas Maamun mendapat vonis enam tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung dan membayar denda Rp200 juta, subsider dua bulan kurungan. Dia terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus suap alih fungsi kawasan hutan di Riau. Annas ditangkap KPK terkait izin pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit pada September 2014.
Pada 2007, Gubernur non-aktif Kalimantan Timur Suwarna Abdul Fatah (menjabat 1998-2003 dan 2003-2006) divonis satu setengah tahun penjara dan denda Rp200 juta dalam kasus pembukaan lahan sawit di Kalimantan. Hakim Tipikor Jakarta menyatakan Suwarna tak terbukti bersalah dalam kasus korupsi yang merugikan negara, melainkan bersalah lantaran melampaui kewenangan sebagai gubernur dengan memberikan persetujuan dalam proyek pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di Berau, Kaltim.
Potensi ekonomi dari perkebunan kelapa sawit maupun produk turunannya masih sangat besar. Laporan Kajian Sistem Pengelolaan Komoditas Kelapa Sawit yang dikeluarkan KPK pada 2016 mencantumkan kontribusi kelapa sawit terhadap perekonomian Indonesia sebesar 6-7 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Nilai ekspor produk kelapa sawit pada tahun 2015 mencapai US$18,1 miliar atau berkontribusi sebesar 13,7 persen terhadap total ekspor Indonesia. Sedangkan sumbangannya terhadap penerimaan negara pada 2015 mencapai Rp22,27 triliun. Penerimaan dari pungutan ekspor komoditas kelapa sawit, CPO dan produk turunannya sepanjang 2016 senilai Rp11,7 triliun.
Tahun 2015, realisasi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit sebesar Rp22,2 triliun atau hanya 2,1 persen dari total penerimaan negara. Kontribusi industri kelapa sawit terhadap penerimaan negara masih jauh di bawah potensi sebenarnya, tidak sebanding jika dibandingkan dengan jumlah perputaran uang di sektor ini yang mencapai Rp1,2 triliun per hari.
Angka itu hanya dihitung dari transaksi perdagangan tandan buah segar (TBS) dan CPO, belum termasuk komponen lain, dan faktor efek pengganda ekonominya yang bisa mencapai dua kali lipat.
Diperkirakan potensi penerimaan pajak dari sektor perkebunan sawit bisa mencapai Rp45-50 triliun per tahun. Artinya, pemerintah baru bisa meraup 40-45 persen potensi pajak dari sektor perkebunan sawit. Kondisi tersebut disebabkan tidak optimalnya Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak memungut pajak di sektor kelapa sawit.
“Berdasarkan data itu saja kita bisa paham bahwa tata kelola di sektor sawit ini jelek. Sudah banyak terbukti yang masuk penjara karena menyuap,” ujar Wakil Ketua KPK periode Laode M. Syarif yang dijumpai tim Katadata di Gedung KPK pada 11 September 2019.
Berangkat dari fakta demikian, KPK melakukan kajian khusus yang menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah dan para pemangku kebijakan. Rekomendasi itu antara lain:
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) harus memperbaiki sistem verifikasi dan penelusuran teknis terhadap ekspor kelapa sawit serta minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) dan produk turunannya, juga memastikan bahwa lembaga surveyor memvalidasi laporan survey (LS) dengan realisasi ekspor berdasarkan laporan instansi Bea dan Cukai. “Mengapa itu penting?” lanjut Laode, “Karena yang tercatat jumlahnya lebih sedikit daripada yang diekspor. Sehingga bayar pajaknya juga berkurang.”
Untuk mencegah adanya tipu-tipu data, KPK memberi rekomendasi Badan Layanan Umum (BLU) BPDPKS, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan lembaga surveyor untuk membangun sistem rekonsiliasi data pungutan ekspor dan realisasi ekspor yang terintegrasi. Sistem penggunaan dana perkebunan kelapa sawit juga dikembalikan sesuai fungsi asalnya sesuai UU no 39/2014 tentang Perkebunan, bukan untuk rehabilitasi lahan atau juga dipakai oleh perusahaan sendiri seperti sekarang.
Untuk mengoptimalkan pungutan pajak sektor kelapa sawit oleh Direktorat Jenderal Pajak, KPK memberi data kepada Ditjen Pajak berisi daftar izin usaha perkebunan dan HGU yang sudah diverifikasi. Upaya ini untuk memudahkan Ditjen Pajak melakukan cek silang dengan profil pajak perusahaan.
HGU pun seharusnya transparan, terbuka untuk umum, hal yang sekarang belum diterapkan. Sehingga siapa saja dapat mengetahui jika terjadi tumpang tindih lahan atau ada kebun sawit di dalam kawasan hutan atau kawasan hutan lindung. Dan jika kebun berada di kawasan hutan lindung, yang notabene ilegal, apakah pemerintah bisa mengambil pajak dari situ?
“Kalau ilegal masa kita pajakin?” ujar Laode. “Jadi jangan heran juga kalau pembayar pajak tertinggi sekarang bukan dari pemilik kebun sawit, padahal dia yang paling banyak menguasai lahan sawit.”