PT Krakatau Steel Tbk memroduksi baja lembar panas (hot rolled coil/HRC) sebesar 203.315,55 ton pada Oktober 2019. Capaian tersebut merupakan rekor produksi tertinggi perusahaan produsen baja tersebut, memecahkan rekor produksi sebelumnya sebesar 200 ribu ton pada Desember 2017.
“Capaian tahun ini menunjukkan kalau proses transformasi dan restrukturisasi yang kami jalankan telah membuahkan hasil," kata Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (3/11)
Menurut Silmy, hampir keseluruhan dari produksi tersebut merupakan baja yang sudah dipesan, sehingga Krakatau Steel mampu menjaga stok persediaan pada tingkat yang efisien. “Ini juga menunjukkan komitmen manajemen dan karyawan dalam mendukung proses transformasi agar Krakatau Steel sehat kembali,” tambahnya.
Capaian produksi tersebut, juga diikuti dengan pengiriman produk jadi di bulan Oktober yang melebihi target, yakni mencapai 164.284 metrik ton kepada konsumen.
(Baca: Meski Ekspor Baja Naik Hampir 300%, Krakatau Steel Terus Merugi)
"Ini adalah angka tertinggi shipment (pengiriman) sepanjang 2019. Sementara untuk kolektivitas pembayaran di bulan yang sama juga berhasil melampaui target," ujar dia.
Pabrik Baru Mulai Operasional Awal 2020
Dalam hal pengembangan kapasitas, saat ini tengah dilakukan pembangunan Hot Strip Mill#2 yang pada triwulan 4 2019 akan selesai mechanical completion-nya.
Pabrik SM#2 akan mulai produksi pada awal 2020. Dengan adanya kedua pabrik HSM#1 dan HSM#2 ini, kapasitas produksi HRC meningkat menjadi 3,9 juta ton per tahun dan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi 6,4 juta ton per tahun, jelasnya.
“Dengan beroperasinya HSM#2 maka kapasitas terpasang pabrik penghasil HRC di Indonesia sudah lebih besar daripada permintaan pasar, sehingga seluruh kebutuhan HRC dapat 100% dipasok dari dalam negeri. Tidak perlu impor,” tutur Silmy.
(Baca: Krakatau Steel Ekspor Baja ke Australia 60 Ribu Ton per Tahun)
Silmy menyampaikan sejauh ini perseroan tidak memiliki masalah dalam hal produksi, masalah justru terjadi pada tata niaga dan impor baja nasional.
Dia mengatakan bahwa tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menghentikan impor baja dan mewujudkan swasembada baja. Industri baja nasional belakangan ini menghadapi impor baja dengan cara pengalihan kode HS (circumvention) sehingga tidak membayar bea masuk. Ini mematikan industri baja nasional.
"Kami berharap Pemerintah dapat melindungi investasi yang sudah masuk ke Indonesia melalui kebijakan tata niaga dan pengetatan ijin impor untuk meningkatkan utilisasi pabrik baja terintegrasi dari hulu hingga ke hilir,” ujar Silmy.
(Baca: Rencana PTPP Akuisisi Anak Krakatau Steel Temui Jalan Buntu)