Potret Kesenjangan Upah, Saat Sarjana Bergaji di Bawah Lulusan SMK

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Ilustrasi tenaga kerja. Pemerintah menetapkan kenaikan upah minimum tahun depan sebesar 8,51%.
Penulis: Agustiyanti
2/12/2019, 13.12 WIB

Nadia merasa beruntung. Lulus dari sekolah menengah kejuruan atau SMK, ia diterima bekerja di salah satu pabrik yang terletak di Bekasi. Upah yang dikantongi mencapai Rp 4,6 juta, setara dengan upah minimum kota/kabupaten atau UMK Bekasi tahun depan.

"Dapat ijazah September kemarin, Alhamdulillah langsung disalurkan lewat Bursa Kerja Khusus di sekolah," ujar Nadia kepada Katadata.co.id.

Upah tersebut dinilai cukup untuk membiayai kebutuhan sehari-hari dan menabung. Apalagi, perempuan berusia 18 tahun ini masih melajang  dan menumpang tinggal di rumah orang tua yang tak jauh dari lokasi pabrik.

"Gajinya cukup, tapi hanya kontrak tiga bulan. Sepertinya tidak diperpanjang karena kebiasaan di pabrik saya dengar memang cuma kontrak tiga bulan," kata dia.

Ia menuturkan, rata-rata karyawan di pabrik makanan tempatnya bekerja memberlakukan sistem kontrak pada karyawan baru. Adapun rata-rata pegawai tetap sudah memiliki masa kerja di atas lima tahun.

"Kebanyakan pabrik di Bekasi sistemnya kontrak. Awalnya tiga bulan atau enam bulan, lalu diperpanjang paling lama satu tahun," kata dia.

(Baca: Upah Minimum Naik, 8 Pabrik Plastik di Jabar dan Banten Akan Pindah )

Selain itu, hampir seluruh karyawan di pabrik tersebut menerima upah yang sama dengan Nadia. Masa kerja tak berpengaruh pada upah yang diterima mereka. Nadia juga tak menerima jaminan lain seperti asuransi kesehatan.

Beda dari Nadia, Arief yang sudah bekerja tiga tahun di salah satu perusahaan media di Yogyakarta masih mengantongi gaji Rp 2,5 juta. Gaji sebesar itu, masih dapat membiayai kehidupan pria lajang di Kota Pelajar yang terkenal berbiaya rendah itu.

"Sejauh ini cukup, bahkan masih bisa disisihkan untuk ditabung," ujar Arief.

Ia juga belum tertarik mencari pekerjaan baru di kota lain untuk memperoleh pendapatan lebih tinggi. Apalagi ke Jakarta, tempatnya mengambil gelar sarjana.

"Masih betah dan enggak ada keinginan kerja di Jakarta. Tapi kalau ada peluang di Cirebon mungkin pindah supaya dekat dengan orang tua," kata dia.

Meski mengantongi penghasilan lebih kecil dari Nadia, Arief lebih beruntung dari sisi jaminan karena memperoleh fasilitas asuransi kesehatan.

(Baca: Protes Kebijakan Upah Ridwan Kamil, Buruh Ancam Mogok Kerja)

Nadia dan Arief adalah potret nyata kasenjangan upah di Tanah Air. Bekasi saat ini merupakan salah satu kota dengan upah tertinggi.

UMK Bekasi tahun depan ditetapkan sebesar Rp 4,6 juta, naik dibanding tahun lalu Rp 4,23 juta. Sementara itu, UMK Yogyakarta tahun depan ditetapkan tak sampai setengah Bekasi yakni sebesar Rp 2 juta, naik dibanding 2019 sebesar Rp 1,84 juta.

Adapun kesenjangan upah sebenarnya tak hanya terjadi di antara kota/kabupaten yang berbeda provinsi, melainkan juga pada satu provinsi. Hal ini bisa terlihat dari daftar UMK Jawa Barat seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.



Ekonom INDEF Rusli Abdullah menjelaskan, masalah kesenjangan upah antardaerah pasti terjadi lantaran perbedaan komponen hidup laik atau KHL. KHL menjadi salah satu komponen dalam menentukan upah minimum.

Sebelum terdapat PP pengupahan, penentuan upah minimum lebih banyak menggunakan perhitungan harga kebutuhan barang dan jasa buruh yang masuk dalam kriteria KHL. Penentuannya dilakukan secara tripartit, antara pengusaha, buruh, dan pemerintah.

"Sejumlah kota di Jawa Tengah KHL-nya lebih rendah dari Bekasi atau kota lain di Jawa Barat. KHL ini mencakup harga makanan, transportasi dan sebagainya," jelas dia.

Menurut dia, kota yang memiliki kawasan industri yang terbangun masif akan mengalami permintaan tinggi. Akibatnya, berbagai harga kebutuhan juga meningkat. Belum lagi, masalah konsurisme.

"Ketimpangan upah pasti terjadi, tapi tantangan pemerintah bagaimana agar tidak melebar," jelas dia.

(Baca: UMK Naik, 10 Perusahaan Alas Kaki Banten Akan Relokasi Pabrik)

Rusli menilai, kesenjangan upah tak terlepas dari kelalaian pemerintah membangun kawasan industri. Padahal, kawasan industri merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan di daerah dan mendorong peningkatan upah minimum.

"Kawasan industri baru tidak terbangun. Pemerintah pada 2014 berjanji membangun 14 kawasan industri, tapi sampai saat ini tidak terlihat hasilnya," kata dia.

Meski demikian, kesenjangan upah dapat mendorong relokasi industri yang diharapkan mendorong pemerataan ekonomi. Namun, di sisi lain, hal ini dapat mendorong urbanisasi yang menimbulkan kekurangan pekerja di daerah hingga masalah sosial.

Pemerintah sebelumnya menetapkan kenaikan upah minimum sebesar 8,51%. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan upah minimum atau UMP tertinggi sebesar Rp 4,23 juta, sedang terendah yakni Jateng Rp 1,74 juta.