Moratorium Sawit Perbaiki Tata Kelola dan Genjot Produktivitas

ANTARA FOTO/YULIUS SATRIA WIJAYA
Penulis: Tim Publikasi Katadata - Tim Publikasi Katadata
5/12/2019, 15.48 WIB

Masalah produktivitas yang masih rendah merupakan tantangan dalam industri kelapa sawit Indonesia. Itu sebab Inpres moratorium sawit yang diteken pada 19 September 2018 lalu, berfokus pada mengoptimalkan produksi sawit melalui peningkatan produktivitas dan bukan pada penambahan luas lahan kebun sawit.

Pada kurun 2008 hingga 2017, pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit bertambah 6 persen setiap tahun, tapi produktivitas kelapa sawit hanya naik 3 persen dengan yield 11 ton tandan buah segar (TBS) setiap tahun.

Saat ini, produktivitas perkebunan kelapa sawit Indonesia baru 2-4 ton per hektare per tahun, kalah jauh dari kebun kelapa sawit Malaysia yang bisa menghasilkan 10 ton per hektare per tahun. Melalui Inpres 8/2018, diharapkan produktivitas sawit bisa didorong hingga 8 ton per hektare per tahun, walau masih jauh dari potensi produktivitasnya yang seharusnya bisa mencapai 25 ton per hektare per tahun.

Inpres 8/2018 juga mendukung upaya pelestarian dengan mengembalikan kawasan hutan yang telanjur menjadi perkebunan sawit. Segala permohonan izin pelepasan hutan untuk kebun sawit kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ditolak sejak sehari sesudah Inpres diteken.

“Kami telah mendata ada beberapa perusahaan yang mengajukan permohonan baru sesudah moratorium. Data ini akan kami serahkan ke Kementerian Koordinator Perekonomian,” ujar Kasubdit Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan KLHK Sigit Nugroho kepada tim Katadata, 13 September 2019.

Soal perizinan juga sedang dievaluasi KLHK. Sebab, menurut ketentuan, untuk kawasan hutan tidak berhutan, jika berada di hutan produksi yang bisa dikonversi, maka bisa dilepas statusnya. Tetapi jika masih berhutan, akan ditetapkan sebagai hutan dengan nilai konservasi tinggi (NKT – high conservation value forest).

Upaya lain datang dari Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian. Pihaknya membenahi tata kelola perizinan dan sistem perkebunan adalah dengan mengembangkan Sistem Informasi Perkebunan (Sisbun). Sistem ini mewujudkan satu data satu pintu untuk pengambil kebijakan, perencanaan, monitoring evaluasi, dan perizinan perkebunan.  Sehingga masalah data di sektor perkebunan seperti kelapa sawit dapat dibenahi.

Dari data itu Ditjenbun meminta KLHK menerbitkan izin pelepasan kawasan dan dilanjutkan dengan  legalisasi perizinan. Bagi kawasan hutan yang tidak dapat izin akan dikembalikan kepada fungsi konservasi. Karenanya penting adanya keterbukaan atas hasil penundaan dan evaluasi perizinan dalam Inpres ini.

Sejauh ini, jumlah perizinan yang dihimpun Ditjenbun mencapai 1.380 perizinan dengan jumlah pelaku usaha 2.121 perusahaan di 13 provinsi dan 97 kabupaten.

Kesejahteraan Petani dan Mengurangi Emisi

Moratorium sawit ini menjadi kesempatan petani swadaya meningkatkan kapasitas produksi demi kesejahteraan. Menurut data Kementerian Pertanian, luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dikelola petani skala kecil di Indonesia hampir 5 juta hektare. Umumnya, petani swadaya mengelola lahan sawit seluas empat hektare dengan tingkat produksi antara 12 ton –16 ton per hektare per tahun.

Pendampingan dan peningkatan kesejahteraan petani  dilakukan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), termasuk membina petani plasma dan petani swadaya. Kebun-kebun plasma di bawah GAPKI juga dibina agar bisa segera mendapat sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) sebagai bukti bahwa petani juga bisa mendapatkan sertifikat perkebunan berkelanjutan.

Tak hanya itu, biodiesel sawit diyakini menghasilkan emisi gas rumah kaca yang lebih kecil dibandingkan penggunaan solar, dan mengurangi polusi. Selain lebih ramah lingkungan, biodiesel menjadi harapan untuk mengurangi ketergantungan impor bahan bakar.

Sepanjang 2018 biodiesel sawit Indonesia telah berhasil mengurangi emisi dari minyak solar sebesar 27 persen atau setara dengan 10,58 juta ton CO2. Pengurangan emisi tersebut sejalan dengan komitmen Indonesia yang menargetkan pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions UNFCCC sebesar 26 persen pada tahun 2020 dan sekitar 29 persen pada 2030.

Moratorium Hutan Permanen

Ditekennya Inpres 8/2018 tidak semata-mata berdiri sendiri. Menurut Deputi I Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG)  Budi Satyawan Wardhana, inpres itu mengacu pada inpres-inpres sebelumnya termasuk inpres moratorium pembukaan hutan primer dan lahan gambut. Ditambah dengan moratorium yang permanen bagi hutan dan gambut lewat Inpres Nomor 5 tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.

Sebelumnya, moratorium itu diperbarui setiap dua tahun sejak 2011. Pemberlakuan moratorium secara permanen mempertimbangkan luasan lahan yang relatif stabil, berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Luas hutan primer menurut peta indikatif ini adalah 66 juta hektare.

Dengan tidak diberikannya izin-izin baru dan evaluasi terhadap perizinan yang berada di lahan gambut, inpres baru ini bisa dianggap mengurangi beban kerja Badan Restorasi Gambut (BRG).

“Kami sebenarnya mengambil manfaat dari adanya Inpres no. 5/2019 ini, mengurangi area yang BRG harus lakukan untuk memastikan percepatan restorasi bisa berjalan,” kata Budi saat ditemui tim Katadata, 18 September 2019. Menurut Budi, tidak semua lahan gambut mendukung sawit.

Setidaknya ada dua alasan mengapa gambut tak cocok bagi perkebunan kelapa sawit. Pertama, kelapa sawit secara alamiah tidak tumbuh di lahan basah seperti gambut Indonesia. Kedua, walau untuk hidup membutuhkan air yang cukup banyak, kandungan air di lahan gambut bukan untuk kondisi pertumbuhan sawit sebab tingginya tingkat keasaman dan rendahnya nutrisi air di lahan gambut.