Ikhtiar Menghapus Jerat Tengkulak dari Kehidupan Petani Kopi

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Para petani bergegas menuju kebun kopi di kawasan Malabar, Bandung, Jawa Barat (15/11/2019).
Penulis: Yuliawati
15/12/2019, 10.00 WIB

Kehidupan para petani kopi tak seharum aroma minuman tersebut. Mayoritas para petani tak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga jual kopi, yang membuat kehidupan mereka melarat meski bisnis minuman pahit tersebut terus menggeliat.

Ratusan para petani kopi di desa Loa, kecamatan Paseh, Bandung, Jawa Barat tercatat sebagai kaum miskin yang mengandalkan subsidi pangan dari pemerintah. Mereka secara rutin menerima bantuan beras rakyat miskin (raskin) yang kini berubah nama menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Desa Loa merupakan salah satu daerah penghasil kopi arabika jenis premium Java Preanger dengan jumlah produksi 1000 ton per tahun. Melaratnya para petani kopi karena transaksi kopi tak adil yang diterapkan tengkulak.

Salah satu petani di desa Loa, Acu Sujana (67) menyebut harga jual buah kopi hasil panen berwarna merah yang disebut cherry (ceri) dihargai Rp 8 ribu per kilogram. Pendapatan tersebut pun masih dipotong biaya angkut Rp 2 ribu per kg.

Petani membayar para kuli angkut yang membawa ceri dalam karung dari perkebunan yang berada di kawasan pegunungan hingga ke pinggir jalan yang dapat diakses kendaraan. Para tengkulak menemui petani di pinggir jalan, membayar ceri dalam karung dan mendistribusikan ke banyak tempat.

(Baca: Dari Gunung Malabar, Kopi Indonesia Mendunia)

Bila dihitung kasar, pendapatan Acu sekali panen sekitar Rp 36 juta untuk produksi sekitar 6 ton per tahun dari lahan seluas satu hektare. Pendapatan tersebut untuk membiayai kehidupan selama setahun karena panen kopi hanya setahun sekali, biasanya pada Mei-Juli.

Para petani kopi ini kerap berupaya memberikan harga yang lebih baik kepada para penjual lainnya. Namun, rupanya para penjual tersebut saling bekerja sama membentuk harga yang merugikan petani.

Acu menyebut sekitar 12 penjual atau tengkulak yang beroperasi di Desa Loa ini menguasai pasar penjualan dan distribusi kopi. “Mereka kompak menawarkan harga yang sama,” kata Acu.

(Baca: Budaya Nongkrong dan Menjamurnya Kedai Kopi di Mataram)

Selama belasan tahun proses jual beli ini berlangsung. Tidak ada pilihan lain bagi Acu dan petani lainnya. Mereka tak mengetahui jalur penjualan alternatif, selain itu hanya tengkulak yang dapat memberikan bayaran dengan cepat.
Dengan menjual kepada tengkulak, petani hanya perlu menjalani proses pemetikan ceri kopi. Para tengkulak pun bersedia menerima ceri kopi dalam kualitas apa pun, baik bagus dan jelek.

Petani kopi Acu Sujana (67). (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Padahal apabila petani melakukan penyortiran dan pengolahan, harga jual yang diterima dapat mencapai 10 kali lipat. Pendiri Koperasi Kopi Mitra Malabar Dhanny Rhismayaddi menyebut kopi jenis Java Preanger – seperti yang dihasilkan dari desa Loa- bila diolah dengan baik dapat menghasilkan roasted bean dengan harga sekitar Rp 70-75 ribu tiap kilogram.

Untuk mendapatkan roasted bean berkualitas, petani memang harus melalui berbagai proses dimulai dari menyortir, mengupas hingga menyanggrai (roasting) ceri. Tiap empat kilogram ceri menghasilkan satu kilogram roasted bean.

Ketiadaan alat membuat petani bekerja secara manual yang memakan waktu 2-3 bulan. Waktu tersebut terlalu lama buat petani yang harus menanggung biaya kebutuhan sehari-hari buat keluarganya. “Kami tidak punya alat untuk memprosesnya. Kami hanya bisa menjemur mengandalkan matahari dan proses manual untuk menyortir dan mengupas,” kata Acu.

(Baca: Gandeng Airy, Fore Coffee Ekspansi Seribu Gerai Baru)

Dhanny menyatakan koperasi dapat menjadi alternatif buat para petani kopi untuk meningkatkan pendapatannya. Dengan bergabung bersama koperasi, para petani akan mendapatkan banyak pengetahuan baru mengolah kopi, mendapatkan pinjaman serta menjual dengan harga lebih baik.

Sebanyak 95% petani kopi di pegunungan Malabar di Jawa Barat belum tergabung dalam dalam koperasi. "Dengan bergabung di koperasi petani sangat diuntungkan. Tanpa koperasi, petani pasti dikerjain tengkulak," kata Dhanny.
Mayoritas petani kopi yang tak tergabung dalam koperasi ini hidup dalam kemiskinan karena terjerat dalam jebakan tengkulak. “Sedangkan sisanya yang berhasil ini, mereka adalah anggota koperasi kopi,” ujar Dhanny.

Bukan hanya di Malabar, nasib petani kopi di daerah  lain pun serupa. Padahal menurut Coffee Development Report 2019, jumlah petani kopi tidaklah sedikit sebanyak 1,3 juta. Berikut Databoks: 

Sistem Perdagangan yang Adil 

Selain koperasi, tawaran untuk meningkatkan harga jual dengan memanfaatkan platform e-commerce, salah satunya KopiTani. CEO KopiTani Arif mengungkapkan ide menggagas platform yang mempertemukan petani kopi langsung dengan para pembelinya ia dapat setelah dari tempatnya bekerja dahulu yakni di perusahaan eksportir kopi.

Ia melihat adanya kesenjangan antara hasil yang didapat perusahaan dengan yang dibayarkan kepada petani.“Perusahaan membeli kopi dari petani dengan harga yang sangat murah. Saya melihat ada ketimpangan,” ujar Arif.

Arif menjelaskan, harga yang timpang tersebut salah satunya dikarenakan keberadaan tengkulak yang memperpanjang rantai pembelian. Terdapat rangkaian panjang operasi tengkulak dalam transaksi kopi. Semakin panjang rantai pasokannya, semakin sedikit pula harga yang dibayarkan oleh petani.

Melalui website KopiTani, para pembeli dapat langsung memilih dan memesan langsung biji kopi green bean (belum diroasting). Petani kemudian mengirimkan biji kopi yang dipesan yang didominasi oleh pemesanan dari pulau Jawa dengan harga yang lebih baik bila menjual kepada tengkulak.

(Baca: Konsumsi Kopi Naik Tajam, Produksinya Stagnan)

Selain KopiTani, platform Scopi (suistainable Coffee Platform of Indonesia) yang tergabung dalam perkumpulan kopi dunia atau Global Coffee Platform (GCP) memberikan penyuluhan kepada para petani kopi dalam untuk memproses penanaman kopi yang baik atau Good Agriculture Practices (GAP) serta proses pengolahan setelah dipanen (post-harvest).

Bisnis kopi menggeliat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Scopi memberikan edukasi kepada petani dengan para pengajar yang disebut Master Trainers dibekali dengan National Sustainable Curriculum atau buku modul pelatihan untuk petani. Hingga saat ini Scopi melatih 7.757 petani kopi Robusta dan 8.482 petani Arabika dari seluruh Indonesia.

Master trainers ini sendiri merupakan para ahli tanaman yang berasal dari organisasi keanggotaan yang berada di bawah Scopi yang berjumlah lebih dari 40 perusahaan. Penyuluhan dan edukasi yang diberikan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan budidaya tanaman kopi oleh petani.

Ketua Dewan Pengurus SCOPI Moenardji Soedargo menyatakan potensi kopi nasional beberapa tahun terakhir belum maksimal. "Ini sangat mengkhawatirkan karena produksi kopi nasional tidak bisa mengimbangi kebutuhan konsumsi nasional," kata Moenardji beberapa waktu lalu. 

Sistem perdagangan yang adil atau fair trade merupakan kunci bagi kesejahteraan petani. Sistem fair trade yang diberlakukan di beberapa negara Eropa memberikan perhatian pada kesejahteraan produsen melalui keadilan dalam pembayaran, kondisi tempat kerja yang layak, kesetaraan, serta transparansi.

Menurut komunitas Fairtrade Indonesia, perdagangan dalam sistem fair trade ini menyediakan pilihan yang lebih baik untuk para produsen kopi. Produk perdagangan dibawah ketentuan fair trade biasanya diberi tanda di setiap kemasan produknya. Harga produk yang dipasarkan lewat fair trade ini juga biasanya cenderung lebih tinggi, karena ada jaminan untuk menyejahterakan petaninya.

Sayangnya di Indonesia, sistem fair trade ini belum berjalan optimal. Hingga saat ini, komunitas Fairtrade baru menaungi 23 koperasi di daerah Gayo, dan sebuah koperasi daerah di Situbondo.

Reporter: Dorothea Putri