Meningkatnya permintaan produk olahan kelapa sawit di pasar global mendorong perluasan kebun kelapa sawit di Indonesia. Indonesia saat ini menduduki peringkat teratas berdasarkan luas perkebunan dan menjadi produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia, disusul Malaysia.
Perluasan kebun kelapa sawit di tanah air berlangsung sangat cepat dalam beberapa dekade terakhir. Dari yang hanya 295 ribu hektare pada 1980, luas lahan kebun sawit bertambah berlipat-lipat menjadi 16,3 juta hektare pada 2019.
Dari pendataan luas lahan yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian, Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) pada 2018, izin lokasi yang terekam sudah ada sekitar 20 juta hektare.
Berdasarkan pantauan citra satelit, 16,3 juta hektare sudah tertutup oleh tanaman kelapa sawit. Padahal izin perkebunan kelapa sawit di data milik Kementerian Pertanian (Kementan) hanya 14,31 juta hektare. Artinya ada ‘izin’ perkebunan sawit tak tercatat seluas 1,99 juta hektare.
Data Kementan juga mencatat luas perkebunan sawit rakyat sebesar 5,81 juta hektare atau 40,59 persen dari luas lahan sawit yang berizin. Kebun yang dikelola perusahaan besar swasta 7,79 juta hektare atau 54,43 persen dan perkebunan besar negara seluas 713,12 ribu hektare atau 4,98 persen.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merekam tata kelola kebun sawit masih belum baik. Ada kebun sawit di dalam kawasan hutan lindung dan ada pembukaan lahan di dalam kawasan high conservation value seperti kubah gambut dengan kedalaman 3 meter.
Tak cuma perkebunan di dalam kawasan hutan, ada banyak izin tumpang tindih dalam satu area. Bukan satu dua kali terjadi, ada lahan perkebunan diklaim kepemilikannya oleh lebih dari satu perusahaan. Belum lagi masih banyaknya pembukaan lahan dengan pembakaran, padahal cara itu jelas dilarang undang-undang.
“Itu sangat berbahaya. Jadi memang perlu moratorium untuk memperbaiki tata kelola sawit. Kelapa sawit memang menjadi perhatian dunia, apakah tata kelolanya baik atau tidak,” ujar Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif kepada tim Katadata, 11 September 2019.
Regulasi yang tidak konsisten juga menjadi pekerjaan rumah yang harus dibereskan karena jadi sumber ketidakpastian di dunia usaha. Hal itu juga dikeluhkan Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Pusat Mukti Sardjono.
Dia mencontohkan, dalam Peraturan Presiden nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, masalah perkebunan di kawasan hutan bisa diselesaikan melalui perhutanan sosial. Padahal menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, perhutanan sosial tidak boleh untuk perkebunan kelapa sawit.
Kasus lainnya, tak sedikit perusahaan perkebunan yang sudah mendapat HGU, tiba-tiba kebunnya dinyatakan sebagai kawasan hutan. Padahal untuk dapat mengantongi HGU, prosesnya melibatkan sejumlah institusi, seperti KLHK, Kementerian Pertanian, dan ATR/BPN.
“HGU adalah hak tertinggi yang dimiliki perusahaan. Untuk mendapatkan hak ini pun sudah ada pelepasan kawasan hutan, jadi aneh kalau tiba-tiba dinyatakan masuk dalam kawasan hutan. Pemerintah perlu merapikan kembali regulasi-regulasi seperti itu,” kata Mukti Sardjono.
Perselisihan Ruang
Tumpang tindih lahan terjadi tak lain karena UU Tata Ruang baru ada pada tahun 2007, sedangkan UU Kehutanan sudah ada sejak 1999 sehingga ada dispute ruang. Saat itu belum ada yang mensinkronisasi batas kawasan hutan dan bukan hutan (menjadi hak pengelolaan – HPL). Walau pemerintah daerah berwenang memberi izin perkebunan di dalam kawasan hutan, tapi masalah tak terhindarkan jika tak ada sinkronisasi peraturan daerah tentang tata ruang.
Kasubdit Perubahan Peruntukan Fungsi Kawasan Hutan KLHK Sigit Nugroho memberi contoh Riau dan Kalimantan Tengah sebagai dua wilayah dengan perkebunan sawit paling luas dan banyak perizinan diberikan saat belum punya perda tata ruang. “Kami sudah menyatakan itu adalah kawasan hutan, sedangkan menurut Perda Tata Ruang, bukan kawasan hutan. Sehingga terjadilah dispute.”
Untuk menyelesaikan “ketelanjuran pemberian izin” dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah (PP) No. 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. PP 60/2012 kemudian dicabut, diganti dengan PP Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
“Sekarang kami sedang mengkaji kawasan yang sudah dilepaskan dari kawasan hutan untuk perkebunan sawit, apakah benar digunakan untuk sawit atau tidak. Kami menggunakan citra satelit dengan resolusi tinggi untuk mengumpulkan data itu,” kata Sigit.
Dampak Sosial dan Lingkungan
Pembukaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan serampangan bisa jadi ancaman terhadap hutan Indonesia, juga menimbulkan dampak lingkungan dan dampak sosial. Terjadinya perubahan bentang alam, relokasi tanah dan sumber daya alam, masyarakat adat terpinggirkan dan tercabut haknya, serta pola nafkah masyarakat sekitar kawasan hutan berubah menjadi cenderung homogen dengan satu sumber nafkah yaitu perkebunan sawit.
Perubahan bentang alam memunculkan masalah keberlangsungan fungsi kawasan tersebut dari yang awalnya sebagai perlindungan keanekaragaman hayati dan satwa langka. Belum lagi terjadinya bencana susulan, seperti asap, banjir, dan kekeringan.
Tak kurang pentingnya adalah konflik agraria yang, menurut Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), paling banyak terjadi di sektor perkebunan selama tiga tahun berturut-turut. Dalam Catatan Akhir Tahun KPA, selama 2018 sedikitnya ada 410 konflik agraria yang mencakup wilayah seluas lebih dari 800 ribu hektare dan melibatkan 87.568 KK di berbagai provinsi.
Konflik agraria di sektor perkebunan sepanjang 2018 ada 144 kasus (35 persen) atau yang tertinggi, menyusul kemudian di sektor properti (137 konflik atau 33 persen), pertanian (53 konflik atau 13 persen), pertambangan (29 konflik atau 7 persen), kehutanan (19 konflik atau 5 persen), infrastruktur (16 konflik atau 4 persen), dan sektor pesisir (12 konflik atau 3 persen). Dari 144 konflik agraria di sektor perkebunan itu, 83 kasus atau 60 persen di antaranya terjadi di perkebunan kelapa sawit.
KPA mencatat ada 659 konflik agraria sepanjang 2017, meningkat dari tahun 2016 yang mencapai 450 konflik, dengan penyumbang utama dari sektor perkebunan, umumnya dipicu ekspansi lahan yang bersinggungan dengan tanah milik masyarakat.
Sementara itu, Sawit Watch mencatat, sejak 2005 hingga 2019 terdapat 822 komunitas yang berkonflik dengan perkebunan sawit. Ahmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch saat diwawancarai Katadata pada 10 Desember 2019 menyebutkan kebanyakan konflik tersebut merupakan konflik agraria.
“Kebanyakan konflik agraria atau konflik tanah. Biasanya konflik tersebut dijawab dengan ganti rugi atau plasma oleh perusahaan. Tapi kalau relasinya tidak bagus, konfliknya berubah menjadi konflik kemitraan.” ujar Rambo.
Rambo berharap, masa moratorium sawit digunakan untuk mempercepat usaha penyelesaian konflik. Ia menilai, belum ada perubahan signifikan yang dilakukan dalam setahun moratorium.
“Setahun ini masih penyesuaian data. Padahal yang dibutuhkan di lapangan bukan itu. Yang penting adalah berapa kasus yang diselesaikan. Selain itu peningkatan produktivitas sawit juga penting.” kata Rambo.