Menperin Harap Skema Upah Pekerja per Jam untuk Tingkatkan Investasi

ANTARA FOTO/Risky Andrianto
ilustrasi Pekerja menyelesaikan produksi kipas angin di pabrik peralatan elektronik rumah tangga di Cileungsi, Jawa Barat, Kamis (10/10/2019). Pemerintah berencana menerapkan aturan upah per jam bagi pekerja.
Editor: Ekarina
6/1/2020, 16.30 WIB

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan rencana penerapan upah pekerja per jam akan meningkatkan produktivitas dan memberi kepastian investasi sektor industri. Hal itu juga dinilai bakal menciptakan keadlilan bagi pekerja. 

Agus menyatakan, penerapan upah per jam bisa menjadi tolak ukur produktivitas  pekerja yang digunakan perusahaan. Sehingga perusahaan dapat menghasilkan produk yang kompetitif.

"Cara paling gampang mengukur produktivitasnya itu, tentu dari pengupahan yang berdasarkan jam," kata dia.

(Baca: Jokowi Bakal Ubah Gaji Bulanan Menjadi Upah Per Jam)

Dia pun menegaskan, penetapan upah berdasarkan jam tidak menyebabkan penurunan daya beli masyarakat. Sebab, pemerintah telah memperhitungkan secara matang besaran upah yang akan diberikan disesuaikan dengan nilai tukar rupiah yang berlaku.

"Saya sampaikan upah per  jamnya ditentukan supaya tidak merugikan pekerja, nilai rupiahnya itu dipertimbangkan. Jadi bagaimana bisa mengurangi daya beli?," kata Agus saat menggelar konferensi pers di Jakarta, Senin (6/1).

 Lebih lanjut, Agus menjelaskan pengupahan berdasarkan jam kerja bukanlah hal baru. Skema itu telah lebih dulu digunakan di negara industri seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Upaya itu juga dinilai tepat untuk mengurangi ketidakadilan yang dirasakan para pekerja lantaran perbedaan waktu bekerja. 

(Baca: Ekonom Nilai Aturan Upah per Jam akan Picu Penurunan Daya Beli)

Meski demikian, penerapan upah per jam memang diakuinya tidaklah mudah. Perlu persiapan matang berupa landasan hukum yang tepat dan penghitungan upah agar tak merugikan pekerja dan pengusaha.

"Kalau dari kacamata industri sekali lagi, dia harus efisien dan efektif. Untuk itu, harus tercapai bagaimana dia harus bisa merumuskan, harus bisa menghitung produktivitas dari tenaga kerjanya itu sendiri," ujar Agus.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira sebelumnya menyatakan rencana pemerintah mengubah skema gaji bulanan menjadi upahan per jam berpotensi melemahkan daya beli masyarakat. Penghasilan pekerja yang tidak tetap akan mengurangi kemampuan konsumsi.

Bhima menyebut aturan tersebut memang dicanangkan untuk melindungi pengusaha dari ancaman resesi global. Namun, dia menilai para pengusaha telah dimanjakan dengan berbagai macam insentif fiskal seperti pengurangan pajak. Sehingga dia menilai aturan tersebut tidak cocok untuk diterapkan lantaran merugikan pekerja.

"Akibatnya akan menyebabkan kegaduhan baru dan berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi, saya melihatnya ini lebih merugikan pada pekerja," kata Bhima saat dihubungi Katadata.co.id, Jumat (27/12).

(Baca: Buruh Khawatir Kebijakan Upah Per Jam Hilangkan Hak Cuti)

Sistem pengupahan per jam bakal diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Akan ada perhitungan khusus untuk menerapkan skema kerja tersebut.

Rencananya, pekerja yang bekerja delapan jam sehari atau 40 jam per minggu akan mendapatkan upah bulanan, seperti yang berlaku saat ini. Sedangkan jam kerja di bawah 35 jam per minggu akan menerapkan aturan pengupahan per jam.

Pekerja yang mendapat upah per jam pun dapat bekerja di lebih dari satu perusahaan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memastikan, para pengusaha dan serikat pekerja telah menerima usulan tersebut.

"Mereka memahami pentingnya fleksibilitas jam kerja," ujar dia.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto