Kinerja impor pada Februari menurun dibanding dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, penurunan impor tersebut dinilai justru mengindikasikan Indonesia kekurangan pasokan bahan baku atau bahan penolong sehingga mempengaruhi aktivitas industri .
"Disrupsi pasokan di Tiongkok sudah berpengaruh pada kelancaran impor ke Indonesia sehingga memvalidasi kondisi shortage of supply (kekurangan pasokan) di Indonesia," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Kamdani kepada katadata.co.id, Senin (16/3).
Meski begitu, ia menyebut kondisi tersebut belum berpengaruh terhadap kinerja ekspor secara signifikan. Sebab, industri masih mampu memproduksi dan mengekspor dengan ketersediaan stok bahan baku pada Februari lalu.
(Baca: Impor Mesin hingga Plastik dari Tiongkok Anjlok akibat Pandemi Corona)
Sehingga, ekspor masih dapat meningkat, sehingga neraca perdagangan dapat terangkat dan mencatatkan surplus yang tinggi. "Namun, ini kondisi sementara," ujar dia.
Sedangkan pada Maret, Shinta memproyeksikan kinerja industri manufaktur akan turun signifikan lantaran stok produksi dalam negeri mulai menipis. Jika hal ini berlangsung hingga April, maka diramal kinerja ekspor akan ikut tertekan karena tidak ada bahan baku dan bahan penolong yang digunakan untuk memproduksi barang ekspor manufaktur nasional.
Apalagi, sektor industri akan memasuki periode konsumsi yang tinggi pada April mendatang seiring dengan masuknya bulan Ramadan. Sehingga, apabila pasokan ini tidak segera dipersiapkan dengan baik, dia khawatir proses produksi industri manufaktur dalam negeri bisa terhenti.
"Dan pasar kita bisa shock karena income turun secara drastis, pasokan kurang, dan tingginya potensi spekulasi pasar," ujar dia.
(Baca: Impor dari Tiongkok Anjlok, Neraca Dagang Februari Surplus US$ 2,34 M)
Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan pada Februari 2020 surplus US$ 2,6 miliar. Hal ini berbanding terbalik dibanding bulan lalu yang defisit US$ 860 juta. Surplus Februari terjadi seiring dengan penurunan impor yang cukup tajam.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti menjelaskan impor Februari turun 18,69% dibanding Januari 2020 menjadi US$ 11,6 miliar. Sementara ekspor naik tipis 2,24% menajadi US$ 13,94 miliar.
"Neraca perdagangan kita surplus US$ 2,34 miliar. Cukup besar surplusnya karena impor turun cukup signifikan dan ekspor naik", kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Yunita Rusanti di Jakarta, Senin (16/3).
Impor pada Februari, menurut dia, turun 5,11% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Penurunan impor terutama terjadi pada barang nonmigas mencapai 7,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu ataU 19,77% dibanding bulan lalu menjadi US$ 9,85 miliar.
Sementara itu, impor migas turun 12,5% dibanding bulan lalu, tetapi naik 10,33% dibanding Februari 2019 menjadi US% 1,75 miliar. "Impor pada penggunaan barang, baik konsumsi, bahan baku, maupun barang modal turun baik secara bulanan maupun tahun," jelas dia.
BPS mencatat, penurunan paling tajam terjadi pada impor barang konsumsi yang mencapai 39,91% atau 12,81% secara tahunan menjadi US$ 0,88 miliar. Sedangkan impor bahan baku atau penolong turun 15,89% secara bulanan atau 1,5% secara tahunan menjadi US$ 8,89 miliar dan barang modal turun 18,03% secara bulanan atau 16,44% secara tahunan menjadi US$ 1,83 miliar.
"Penurunan impor nonmigas terbesar terjadi dari Tiongkok mencapai US$ 1,94 miliar," jelas dia.