Pandemi virus corona atau Covid-19 memukul industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia. Permintaan tekstil yang menurun berdampak pada gangguan arus kas (cash flow) perusahaan serta berkurangnya tingkat utilisasi industri.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan, industri TPT mulai terkoreksi seiring imbas corona dan kebijakan social distancing.
(Baca: Pabrik di Tiongkok Mulai Operasi, Pengusaha Cemas Banjir Impor Tekstil)
"Permintaan menurun 10 hari terakhir. Kebijakan serentak memberi dampak tak menggembirakan terhadap utulisasi," kata Jemmy dalam telekonferensi, Senin (23/3).
Lesunya permintaan, menurutnya mulai terlihat dari sepinya pengunjung pasar tekstil Tanah Abang. Tak hanya itu, banyak pula pesanan produk tekstil yang ditunda atau dibatalkan pengiriman di pasar ekspor.
Bila kondisi ini terus berlarut dan dibiarkan, ditambah dengan nilai tukar rupiah yang terus melemah dan persaingan dengan produk impor, dikhawatirkan berimbas terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK).
"PHK merupakan keputusan yang dilematis. Kami menghindari PHK. Sampai hari ini industri masih jalan full . Tapi antisipasi kalo status emergency meningkat," katanya.
Sehingga, dia berharap ada intervensi pemerintah agar industri tekstil bisa melanjutkan operasi di tengah maraknya tantangan perekonomian saat ini. "Terus terang semua industri perlu nafas panjang, untuk menghindari PHK. Sehingga kami ingin meminta relaksasi," ujarnya.
(Baca: Permintaan Turun Terdampak Corona, Pengusaha Tingkatkan Efisiensi)
Relaksasi yang diminta industri di antaranya berupa perlindungan tarif melalui kebijakan safeguard untuk perlindungan industri hulu/hilir. Kemudian meminta adanya percepatan penurunan harga gas indusri US$ 6 per mmbtu, keringanan tarif listrik dan sebagainya.
Seperti diketahui, industri tekstil merupakan salah satu industri unggulan dalam negeri. Industri ini mencatat pertumbuhan paling tinggi pada triwulan III tahun 2019 sebesar 15,08%, tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi periode yang sama tahun lalu sebesar 5,02%.
Namun, industri tekstil juga kerap bersaing ketat dengan produk impor. Ikatan ahli tekstil seluruh Indonesia (Ikatsi) mengungkapkan, kinerja perdagangan luar negeri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada 2018 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah.
Hal tersebut dapat dilihat dari pertumbuhan ekspor yang jauh lebih rendah daripada impor. Tercatat ekspor TPT tumbuh sebesar 0,9%, sedangkan impor melesat jauh sebesar 13,9%.
Alhasil, pertumbuhan nilai neraca perdagangan TPT melambat 25,6% atau terendah sejak 2008. Detail mengenai impor tekstil digambarkan dalam databoks berikut.