Pengusaha Tunggu Pelaksanaan Aturan Tata Niaga Nikel Domestik

PT Antam Tbk
Ilustrasi, petugas menunjukkan produk feronikel shot setelah melalui proses peleburan. Pengusaha nikel menyambut baik aturan tata niaga nikel yang diterbitkan Kementerian ESDM.
Penulis: Ratna Iskana
24/4/2020, 19.54 WIB

Pengusaha pertambangan nikel menyambut baik aturan Kementerian ESDM tentang tata cara niaga mineral logam batu bara. Dalam aturan tersebut, pemerintah mengatur batas bawah harga nikel dengan selisih paling tinggi 3%.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia atau APNI Meidy Katrin Lengkey mengatakan aturan tersebut sudah sesuai dengan keinginan pengusaha. Namun, pihaknya masih menunggu pelaksanaan aturan tersebut. 

Dia pun mempertanyakan hukuman bagi pihak yang tak melaksanakan tata niaga nikel sesuai aturan pemerintah. "Tinggal pelaksanaannya saja, apakah smelter akan menerima? Apakah jika smelter tidak menerima, akan dikenakan sanksi?" ujar Meidy ke Katadata.co.id pada Jumat (24/4).

Pemerintah memang mengatur tata niaga nikel dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 07 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral Logam Batubara.

Beleid itu menyatakan Pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam yang memproduksi bijih nikel wajib mengacu pada Harga Patokan Mineral (HPM) Logam. Kewajiban tersebut juga berlaku untuk penjualan bijih nikel yang diproduksi kepada afiliasinya.

Segala ketentuan dan peraturan yang tertuang di dalam Permen ini mulai berlaku tiga puluh hari sejak diundangkan. "Melalui Permen ini, kami ingin mendorong tumbuhnya pasar nikel domestik serta memastikan penjualan bijih nikel bisa sesuai dengan harga pasar. Sehingga pemilik IUP Operasi Produksi, khususnya nikel, terlindungi harga jualnya," ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi dalam siaran pers pada Jumat (24/4)

(Baca: Kementerian ESDM Terbitkan Aturan Harga Patokan Penjualan Nikel)

HPM Logam merupakan harga batas bawah dalam perhitungan kewajiban pembayaran iuran produksi bagi pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam. HPM juga sebagai acuan harga penjualan bagi pemegang IUP Operasi Produksi Mineral Logam dan IUPK Operasi Produksi Mineral Logam untuk penjualan bijih nikel.

HPM dihitung berdasarkan formula HPM dan mengacu kepada Harga Mineral Acuan (HMA) yang diterbitkan oleh menteri setiap bulannya. Jika terdapat perbedaan periode kutipan Harga Mineral Logam Acuan pada perhitungan HPM Logam dengan periode kutipan transaksi, penalti atas mineral pengotor (impurities), atau bonus atas mineral tertentu untuk penjualan bijih nikel, maka ditetapkan beberapa ketentutan. 

Salah satu ketentuannya, yaitu apabila harga transaksi lebih rendah dari HPM Logam pada periode kutipan sesuai Harga Mineral Logam Acuan, atau terdapat penalti atas mineral pengotor (impurities), penjualan dapat dilakukan di bawah HPM Logam dengan selisih paling tinggi 3%.

Selain itu, apabila harga transaksi lebih tinggi dari HPM Logam pada periode kutipan sesuai Harga Mineral Logam Acuan, atau terdapat bonus atas mineral tertentu, penjualan wajib mengikuti harga transaksi di atas HPM Logam.

Penetapan HPM Logam itu didasarkan pada formula yang terdiri dari nilai/kadar Mineral Logam; konstanta; HMA; corrective factor; biaya treatment cost dan refining charges; dan/atau payable metal yang ditetapkan oleh Menteri ESDM.

"Kami akan tinjau secara berkala setiap enam bulan sekali, atau dapat juga sewaktu-waktu apabila dibutuhkan," kata Agung.

(Baca: Kementerian ESDM Sebut Ekspor Bijih Nikel 2019 Naik 50%)