Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah meluncurkan laporan tahunan inisiatif transparansi dalam industri ekstraktif (Extractive Industries Transparency Initiative/EITI) tahun 2014. Hasilnya, data penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) dan pertambangan masih banyak berbeda dengan yang dicatatkan perusahaan.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lukita D. Tuwo mengatakan, laporan EITI ini dapat berguna untuk meningkatkan transparansi pengelolaan industri ekstraktif, khususnya di Indonesia. "Sehingga ini bisa jadi landasan pencegahan korupsi, meningkatkan akuntabilitas dan kinerja industri ekstraktif," katanya saat acara peluncuran laporan EITI ke-4 di Jakarta, Rabu (24/5).
Di sektor migas, penerimaan yang diperoleh pemerintah terdiri atas pajak penghasilan badan dan dividen, produksi siap jual (lifting) migas bagian pemerintah, bonus tanda tangan (signature bonus) dan bonus produksi. Sedangkan penerimaan di sektor pertambangan meliputi mineral dan batu bara, yaitu royalti, pajak penghasilan badan dan dividen, dan jasa transportasi BUMN yang diterima oleh BUMN.
Rekonsialisasi penerimaan sektor migas terhadap data 176 operator dan non-operator perusahaan di sektor itu terdiri atas penerimaan pajak sebesar US$ 7,3 miliar dan penerimaan non-pajak US$ 21,8 miliar. Hasil akhir ini disebabkan perbedaan antara data kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan SKK Migas.
Pertama, terkait Domestic Market Obligation (DMO) Fee sebesar US$ 85 ribu karena terdapat KKKS yang telah menagihkan DMO Fee kepada pemerintah namun tidak dibayarkan. Penyebabnya, belum ada kepastian Equity To Be Split (ETBS) untuk satu perusahaan.
Kedua, perbedaan antara KKKS dengan SKK Migas terkait lifting gas sebesar 93.212 MSCF. Ketiga, perbedaan lifting untuk negara sebesar 1.930 MSCF. Keempat, perbedaan total lifting sebesar 118.460.691 MSCF.
Kelima, perbedaan KKKS dengan Ditjen Anggaran sebesar US$ 21,151 juta pada pajak dividen. Keenam, perbedaan KKKS dengan Ditjen Anggaran sebesar US$ 538.706 pada over/under lifting migas.
Sedangkan untuk sektor pertambangan minerba pada tahun 2014 terhadap 75 perusahaan, rekonsiliasi penerimaan pajak sebesar Rp 2,46 triliun dan US$ 979 juta. Sedangkan penerimaan nonpajak termasuk dividen yang harus direkonsiliasi sebesar Rp 4,15 triliun dan US$ 2,2 miliar.
Berdasarkan analisa, selisih antara perusahaan minerba dengan Ditjen Minerba terkait dengan royalti sebesar US$ 6,86 juta dan Rp 186,09 miliar, serta pada Pendapatan Hasil Tambang (PHT) sebesar US$ 1.993 dan Rp 97,2 miliar.
Hal tersebut ditengarai karena kesalahan PNBP minerba atas 8 perusahaan, entitas pelapor belum memberikan konfirmasi atas perbedaan royalti dan PHT sebanyak 19 perusahaan, perbedaan waktu penyetoran, dan tidak tercatat dalam sistem Dirjen Minerba pada satu perusahaan yang telah memiliki bukti bayar.
Adapun, selisih antara perusahaan minerba dan Ditjen Pajak pada PPh Pasal 25 dan 29 sebesar US$ 23,84 juta dan Rp 221,18 miliar. Penyebabnya, perusahaan minerba belum menyampaikan bukti pembayaran PPh badan sebanyak satu perusahaan, dan lima perusahaan belum menyertakan pembayaran terkait sanksi perpajakan.
Sedangkan entitas pelapor belum memberikan konfirmasi atas perbedaan PPh Badan sebanyak 15 perusahaan. Selain itu, terdapat 7 perusahaan yang tidak menyertakan lembar otorisasi untuk pembukaan data pajak terkait setoran PPh Badan.
Di sisi lain, ada beberapa penerimaan negara yang tidak direkonsiliasi. Di sektor migas meliputi bonus tanda tangan untuk kontrak baru, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Daerah dan Restitusi Daerah, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan yang dilaporkan oleh KKKS, dan firm commitment.
Sedangkan pada sektor minerba adalah iuran tetap yang dilaporkan perusahaan, PBB, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pembayaran Langsung ke Pemerintah Daerah, Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, Penyediaan Infrastruktur, dan Iuran Penggunaan Kawasan Hutan - PNBP, dan DMO.