Kepala BNN: Indonesia Pasar Terbesar Narkoba, Prabowo Tepat Fokus ke Intelijen


Malam sudah larut ketika ratusan petugas memindahkan puluhan kotak berisi sabu dari Kapal MT Dragon Sea Tarawa di Dermaga Bea Cukai, Batam, Rabu lalu (21/5). Sehari sebelumnya, operasi gabungan Badan Narkotika Nasional (BNN), Bea Cukai, dan TNI Angkatan Laut menangkap kapal tersebut di perairan Tanjung Balai Karimun, menyita 2 ton narkotika jenis sabu yang disembunyikan di palka, lambung, dan ruang mesin kapal hingga mengamankan enam orang awak kapal.
Kabar keberhasilan operasi itu segera tiba di Jakarta. Ini merupakan sabu terbanyak yang pernah diamankan dalam satu kali operasi dalam sejarah republik. Kepala BNN Komisaris Jenderal Polisi Marthinus Hukom segera terbang ke Batam ketika mendengar kabar itu. Ia tak mau melewatkan momen tersebut karena operasi rumit ini sudah dirancang sejak lima bulan sebelumnya.
Di tengah suasana riuh di Dermaga Bea Cukai, Marthinus mengawasi ratusan petugas yang sedang mengeluarkan puluhan kotak berisi barang haram itu. Ada 67 kotak totalnya, masing-masing seberat 30 kilogram. Lewat tengah malam dan berganti hari Kamis, puluhan kotak itu akhirnya berhasil dikeluarkan dari kapal, kemudian diangkut ke kantor BNN Provinsi Kepulauan Riau.
Di sela-sela kesibukannya mengawasi proses penegakan hukum tersebut, Marthinus berkenan diwawancarai khusus oleh Tim Katadata, Kamis sore (22/5),
Sesaat sebelum wawancara dimulai, salah seorang ajudan Marthinus mendekat. “Mohon izin 5 menit, Jenderal. Urgent,” katanya.
Marthinus segera bangkit kemudian berbicara dengan seorang petugas melalui sambungan telepon. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Dari hasil curi dengar, tim BNN yang sedang menjalankan operasi lain di lapangan menghadapi kendala tak terduga. Marthinus dituntut segera mengambil keputusan taktis operasi tersebut.
Tak lama berselang, wawancara akhirnya dimulai. Ia bercerita soal kerumitan operasi, aksi intelijen, jalur rawan penyelundupan, masalah laten narkoba di Indonesia, hingga soal judi online yang kini sedang mencuri atensi publik. Di balik pengalaman dan pangkatnya yang tinggi, Marthinus rupanya sosok yang ramah dan terbuka terhadap wartawan.
“Presiden Prabowo menyampaikan kalau ingin mengungkap narkoba, penyelundupan, dan korupsi, kuncinya adalah intelijen. Kami bekerja 24 jam karena intelijen itu bekerja sebelum, saat kejadian, hingga setelahnya,” kata Marthinus.
Sebagai perwira polisi yang sudah malang melintang di isu narkoba dan terorisme–ia pernah menjadi Kepala Detasemen Khusus 88–Marthinus tampak sangat menguasai persoalan ini.
Berikut petikan wawancaranya.
Operasi penangkapan 2 ton sabu di Tanjung Balai Karimun melibatkan Bea Cukai dan TNI Angkatan Laut. Ini tentu bukan operasi yang mudah?
Operasi yang kita lakukan kemarin malam adalah implementasi dari strategi kolaborasi BNN. Saya melibatkan Polri, TNI—khususnya Angkatan Laut—dan Bea Cukai karena BNN tidak memiliki kapasitas penuh untuk mengontrol laut. Maka, kerja sama itu penting agar kita bisa menutup celah-celah yang ada, melihat sisi-sisi yang tidak dapat dijangkau sendiri oleh BNN.
Operasi ini juga merupakan bentuk kerja sama internasional. Beberapa bulan lalu, misalnya, ada penangkapan di Thailand yang ternyata terkait dengan jaringan yang ada di sini. Kami mendapatkan informasi itu, melakukan analisis mendalam, dan menyusun puzzle dari potongan-potongan informasi lintas negara.
Dari situlah kami menemukan keterkaitan yang mengunci satu sama lain, sehingga kami bisa mengidentifikasi target dengan jelas. Operasi dilanjutkan dengan pemantauan laut menggunakan kapal-kapal kecil dan juga patroli antarpulau.
Petugas berhasil mengamankan 2 ton sabu dalam penangkapan tersebut. Kabarnya salah satu yang terbesar dalam sejarah Indonesia?
Ya, benar. Penangkapan ini kemungkinan merupakan yang terbesar dalam sejarah Indonesia untuk jenis sabu dalam satu kali operasi. Sebelumnya, narkoba yang masuk ke Indonesia biasanya berasal dari Afghanistan, dibawa menggunakan kapal nelayan tradisional lewat pantai Iran, lalu masuk ke Samudra Hindia, kemudian turun melalui pesisir barat Sumatera hingga selatan Jawa.
Saya sendiri sudah terlibat dalam operasi-operasi narkoba sejak tahun 2010, ketika menjadi Staf Ahli Intelijen di BNN, di bawah pimpinan Komjen Pol. Gories Mere. Banyak operasi besar yang saya ikuti, dan waktu itu kita biasa menangkap 1 ton, 1,3 ton, atau maksimal 1,5 ton.
Tapi yang kali ini, jumlahnya luar biasa. Dari hasil hitungan sementara berdasarkan jumlah kotak yang kami temukan, kita perkirakan mencapai 2 ton sabu. Belum lagi, rekan-rekan dari Angkatan Laut juga menyita sekitar 700 kilogram sabu dan ketamin.
Kalau dihitung secara ekonomi, harga pasar sabu saat ini sekitar Rp2,5 miliar per kilogram. Dengan jumlah 2.000 kilogram, itu berarti kami berhasil menggagalkan peredaran narkoba senilai kurang lebih Rp5 triliun. Itu bahkan dua kali lebih besar dari anggaran tahunan BNN.
Indonesia memiliki garis pantai yang sangat panjang, dengan banyak pelabuhan-pelabuhan kecil yang tersebar. Di mana saja zona merah penyelundupan narkoba?
Indonesia memiliki 17.504 pulau dan garis pantai yang sangat panjang. Pelabuhan-pelabuhan tradisional yang tersebar mulai dari ujung Pulau Weh hingga ke wilayah Lampung adalah titik-titik yang menjadi pintu masuk narkoba. Ini semua sulit kita kontrol dengan sistem keamanan konvensional, seperti patroli atau penjagaan biasa.
Myanmar, yang menjadi zona merah produksi narkoba adalah "halaman rumah kita", karena sangat dekat. Dari Myanmar ke Thailand, turun sedikit ke Malaysia, lalu Singapura, kemudian masuk ke wilayah Indonesia.
Jalur ini dibaca oleh para bandar narkoba sebagai peluang. Mereka memanfaatkan kedekatan geografis dan kesamaan budaya di wilayah perbatasan. Ini membuat mereka lebih mudah masuk dan membangun jaringan.
Banyak penangkapan terjadi di perairan Selat Malaka. Apakah ini salah satu wilayah rawan?
Pasti. Sebagian besar narkoba yang kami tangkap saat ini masuk lewat jalur tersebut.
Mengapa di Myanmar kini menjadi salah satu pusat produksi narkoba di Asia?
Ya, saya melihat begini. Di setiap negara, ketika stabilitas politik dan keamanannya terganggu, maka akan muncul isu-isu lain sebagai efek domino. Ketidakstabilan itu bisa menyebabkan berbagai kejahatan berkembang. Oleh karena itu, saya selalu bilang ke masyarakat: mari kita jaga stabilitas negara ini agar pembangunan bisa berjalan.
Nah, terkait Myanmar, kita tahu konflik horizontal dan vertikal terus terjadi di sana. Ada wilayah seperti Wa State yang akhirnya jadi tidak bertuan. Dalam konferensi International Drug Enforcement Conference (IDEC) Regional di Busan yang saya ikuti, disebutkan istilahnya “the compound of crime”. Di sana terjadi penumpukan kejahatan: judi online, narkoba, perdagangan orang dan organ tubuh, penipuan daring, dan sebagainya. Ini sangat dekat dengan Indonesia. Kalau kita tidak membangun sistem pertahanan dan penegakan hukum yang kuat, negara kita bisa dibanjiri kejahatan transnasional.
Ketika kapal melewati Selat Malaka dari Myanmar, apakah tujuannya selalu ke Indonesia? Atau bisa saja negara lain?
Banyak modus operandi. Selat Malaka itu jalur penting, jadi kapal bisa ke Laut Cina Selatan, naik ke Thailand, atau ke tempat lain. Tapi barang yang lewat seringkali ditujukan ke Indonesia. Dari hasil penyelidikan, kita tahu siapa pelakunya sejak awal. Kita analisa siapa di kapal itu, kita ikuti komunikasi mereka.
Barang bisa lewat laut, lalu masuk darat ke Kalimantan Utara, ke Pontianak, terus ke Jawa. Bahkan ada yang masuk Madura. Jadi kita lakukan intelijen untuk menganalisa jaringan ini. Bisa saja hari ini masuk ke Indonesia, besok masuk ke Filipina, lusa ke Brunei. Tapi intinya, kita cegah bukan cuma karena mereka masuk ke sini, tapi karena apa yang mereka rusak—yakni manusia.
Dalam konteks ini, BNN juga melakukan penindakan, tapi sekaligus juga menyelamatkan masyarakat negara lain?
Betul. Saya angkat isu kemanusiaan sebagai isu tertinggi. Penegakan hukum itu instrumen untuk menyelamatkan manusia. Itu prioritasnya.
Sejak menjadi Kepala BNN pada Desember 2023, apa prioritas Anda?
Ketika saya ditugaskan menjadi Kepala BNN Republik Indonesia, saya melihat ada beberapa hal yang menjadi fokus utama saya. Pertama, saya memandang dari sisi geografis, lalu aspek budaya, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ini semua saya gunakan sebagai dasar analisis untuk memahami bagaimana peredaran narkoba berkembang.
Dari analisis tersebut, saya merumuskan enam strategi BNN dalam menghadapi peredaran gelap dan penyelundupan narkoba. Pertama, kolaborasi lintas instansi.
Kedua, penguatan intelijen berbasis big data, termasuk peningkatan sumber daya manusia di bidang intelijen. Ketiga, ketahanan masyarakat di wilayah perbatasan, baik darat maupun laut. Indonesia punya 108 ribu kilometer garis pantai—sangat panjang dan sulit diawasi sepenuhnya. Maka, perlu dibangun sistem pencegahan berbasis masyarakat: ketahanan moral dan sosial masyarakat pesisir.
Keempat, kerja sama internasional, terutama dengan negara-negara penghasil narkoba seperti Myanmar, kawasan Amerika Latin, Afghanistan, dan lainnya. Kelima, pendekatan ikonik dan tematik, fokus langsung pada permasalahan nyata di wilayah rawan narkoba, dengan pendekatan budaya, agama, dan kearifan lokal.
Keenam, penguatan infrastruktur dan SDM BNN agar lebih profesional dan memiliki kapasitas unggul dalam menghadapi ancaman narkotika.
Semua ini sejalan dengan salah satu dari Asta Cita Presiden Prabowo, yaitu cita ke-7: reformasi hukum, pemberantasan korupsi, dan narkoba. Ini menjadi moral standing bagi kami dalam menangani isu narkotika.
Anda menyebut salah satu prioritas BNN adalah penguatan big data dalam operasi penangkapan narkoba. Bagaimana implementasinya?
Dasarnya ada di human intelligence. Operator intelijen mengumpulkan informasi dari lapangan, lalu kita masukkan ke database. Dari kasus-kasus yang ditangani, kita catat semuanya, termasuk yang masuk DPO [Daftar Pencarian Orang]. Kita lihat jaringan mereka, identitas mereka, afiliasi sosial, dan lain-lain. Intelijen bekerja dari sebelum kejadian, saat kejadian, sampai setelahnya.
Pak Presiden Prabowo juga menyampaikan: kalau ingin mengungkap narkoba, penyelundupan, dan korupsi, kuncinya adalah intelijen. Saya bilang, ini baru yang namanya pemimpin yang melihat ada urgensi. Ini pendekatan yang sedang kita lakukan sekarang.
Anda berpengalaman sebagai Kepala Densus 88, unit khusus anti-terorisme yang tentu sangat mengandalkan intelijen. Bagaimana pengalaman ini membantu Anda di BNN?
Prinsip intelijen di Densus 88 dan BNN itu punya kesamaan. Di Densus kita hadapi ideologi. Di narkoba, kita hadapi sistem ekonomi gelap. Tapi sama-sama organisasi kejahatan transnasional. Struktur, pola pergerakan, dan modusnya mirip. Yang beda cuma motivasinya.
Tapi metode pengungkapannya sama: potong semua jaringan penguatnya. Kita pakai intelijen pro-justisia, berbasis hukum. Bukan sembarangan.
Artinya kerja BNN bukan cuma soal penangkapan, tetapi ada kerja sunyi di belakang layar?
Betul. Anak buah saya kerja 1x24 jam. Kita harus rebut momen, karena kejahatan itu kan gabungan dari niat dan kesempatan. Waktunya acak. Jadi penyidik dan intelijen harus siap kapan saja. Kalau kita bisa hadir di momen yang tepat, kita bisa menang.
Narkoba saat ini menjadi salah satu masalah genting di Indonesia. Apa yang paling penting untuk dilakukan?
Pertama, saya menekankan pentingnya ketahanan masyarakat pesisir, agar tidak mudah tergoda oleh para bandar untuk menjadi kurir atau pengedar narkoba. Selain itu adalah membangun ketahanan masyarakat. Masyarakat harus memiliki kesadaran moral bahwa narkoba adalah ancaman kemanusiaan karena ia melemahkan sumber daya manusia Indonesia.Narkoba juga merupakan upaya pelemahan negara. Kita harus belajar dari sejarah, seperti perang candu di mana negara dilemahkan melalui ketergantungan masyarakatnya terhadap narkoba.
Meskipun hari ini bukan merupakan desain yang dibuat oleh negara atau aktor negara tertentu, kita sedang berada dalam proses pelemahan sumber daya manusia secara sistemik. Banyak orang mungkin melihat ini hanya sebagai bisnis, tapi dampaknya jauh lebih dalam.
Kalau kita lihat dari survei terbaru, prevalensi pengguna narkoba di Indonesia mencapai 3,3 juta orang. Seberapa mengkhawatirkan angka ini?
Angka 3,3 juta itu memang secara persentase terlihat kecil—sekitar 1,7% dari total penduduk Indonesia yang kini hampir 280 juta. Tapi kita tidak bisa hanya melihat dari angka mentah. Ini adalah pasar yang bisa berkembang jika tidak kita tangani serius.
Di sisi lain, Presiden Prabowo tengah menjalankan program untuk memperkuat sumber daya manusia melalui asupan gizi. Tujuannya adalah membentuk manusia Indonesia yang unggul. Ini artinya, beliau sadar bahwa sumber daya manusia adalah fondasi utama pembangunan negara.
Nah, masalahnya adalah ada elemen-elemen lain—seperti narkoba—yang justru melemahkan fondasi ini. Maka tidak heran bila narkoba dijadikan isu sentral dalam visi besar Presiden. Kita sebagai pembantu-pembantu beliau harus mendukungnya. Saya sebagai perwira polisi melihat bahwa ada aspek yang harus saya ambil dalam bingkai besar itu. Tugas kami adalah menghantam para bandar agar tidak menjadikan warga negara kita sebagai korban atau alat bisnis mereka.
Atensi publik saat ini sedang tinggi ke masalah judi online. Tapi sepertinya narkoba juga sama gentingnya?
Iya, judi online itu teman akrabnya narkoba. Kepala BNNP kami di Sumatera menemukan bahwa 75% anak-anak yang main game atau judi online di warnet, juga menggunakan narkoba. Mereka ingin stamina kuat, makanya pakai narkoba. Tapi ini keliru. Awalnya kuat, lama-lama rusak. Sarafnya terganggu, tubuhnya digerogoti pelan-pelan.
Salah satu tugas BNN juga di sisi rehabilitasi. Bagaimana Anda menjalankan tugas tersebut?
Rehabilitasi itu bagian dari mandat Undang-Undang. Ada dua pendekatan: medis dan sosial. Medis karena narkoba merusak sistem saraf. Sosial karena narkoba juga merusak hubungan keluarga dan masyarakat.
Yang penting, jangan sampai masyarakat menstigma korban. Pengguna narkoba itu butuh dukungan untuk pulih. Kalau dia dijauhi, dia kembali ke jaringan. Jadi ini butuh partisipasi semua pihak.
Bulan depan tanggal 26 Juni diperingati sebagai Hari Anti-Narkoba. Ada yang ingin Anda sampaikan?
Betul, tanggal 26 Juni adalah Hari Anti-Narkoba Internasional. Ini adalah hari keprihatinan, refleksi, dan perenungan. Saat ini ada lebih dari 100.000 orang terperangkap penyalahgunaan narkoba. Di Amerika, 300 orang mati per hari karena fentanyl. Di Indonesia, matinya pelan, kualitas manusianya turun. Mari, seluruh masyarakat Indonesia, katakan tidak pada narkoba, dan bantu negara selesaikan masalah ini. Jangan menunggu, mulai dari sekarang.
Terima kasih banyak, Pak Marthinus. Selamat atas operasinya kali ini. Sukses terus untuk BNN.
Terima kasih. Salam sehat, tanpa narkoba.