IUCN: Tidak Ada Minyak Nabati Jahat, yang Ada Hanya Pengelolaan yang Buruk

Rezza Aji Pratama
3 Maret 2025, 15:32
Erik Meijaard, Co-Chair IUCN Oil Crops Task Force
Katadata
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pada tahun 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencekal lima peneliti asing setelah dianggap melanggar Undang-Undang No. 11/2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Salah satu peneliti tersebut adalah Erik Meijaard, Managing Director Borneo Futures sekaligus Co-Chair di International Union for Conservation of Nature (IUCN) Oil Crops Task Force. Meijaard yang sudah puluhan tahun berkecimpung di sektor konservasi di Indonesia dilarang memasuki kawasan hutan di bawah yurisdiksi KLHK.

Namun, pencekalan tersebut tidak menyudahi ketertarikan ekologis asal Belanda ini terhadap Indonesia. Tiga tahun setelah surat pencekalan itu terbit, Erik kembali hadir lewat riset terbarunya bertajuk ‘Menjelajahi Masa Depan Minyak Nabati yang diterbitkan oleh IUCN.

Katadata berkesempatan untuk berbincang dengan Erik pada satu sore di pertengahan Februari yang gerimis. Ditemani edamame rebus dan beberapa kue hasil olahan minyak kelapa sawit, kami berdiskusi soal pengelolaan sawit di Indonesia, pernyataan kontroversial Presiden Prabowo Subianto tentang apakah perkebunan sawit termasuk hutan, dan tentu saja cerita terkait pencekalan KLHK terhadap aktivitasnya di Indonesia. 

“Tidak ada minyak nabati yang buruk, yang ada adalah pengelolaan yang buruk,” katanya. 

Simak hasil wawancaranya berikut ini:

Anda sempat dicekal oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, bagaimana status Anda sekarang?

Sejujurnya saya tidak tahu. Sekarang Kementerian Kehutanan dipisah dengan Kementerian Lingkungan Hidup. Jadi saya tidak tahu apakah keputusan tersebut masih berlaku atau tidak. Saya belum pernah bertemu pejabat KLHK sejak surat itu diterbitkan. Surat itu tidak menyebutkan sampai kapan berlakunya. Jadi saya tetap datang ke Indonesia seperti biasa, walaupun saya tidak bisa pergi ke kawasan hutan yang menjadi yurisdiksi Kementerian Kehutanan.

Anda baru saja menerbitkan riset terbaru soal minyak nabati di bawah bendera IUCN, apa tujuan utama dari penelitian ini?

Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk melihat ke masa depan. Akan ada lebih banyak orang di planet bumi yang berarti lebih banyak mulut yang harus diberi makan. Minyak dan lemak adalah bagian dari pola makan. Itu berarti akan ada permintaan yang lebih besar terhadap minyak dan lemak.

Hampir bisa dipastikan bahwa akan ada permintaan yang lebih besar untuk minyak nabati. Sekarang, pertanyaan besarnya adalah, bagaimana kita akan memenuhi permintaan baru itu pada tahun 2050 dengan dampak negatif seminimal mungkin terhadap lingkungan dan manusia? Ini tidak bisa hanya menjadi diskusi tentang minyak sawit atau kedelai saja. Ini harus menjadi diskusi tentang semua minyak nabati.

Kita harus keluar dari pola pikir sempit yang menganggap satu tanaman itu buruk dan yang lain baik. Apa yang kami katakan dalam laporan ini adalah bahwa tidak ada tanaman minyak yang sepenuhnya baik atau buruk. Yang ada hanyalah pengelolaan yang baik dan pengelolaan yang buruk.

Ada banyak persepsi negatif soal sawit, bagaimana Anda melihatnya?

Saya selalu berkata kepada orang-orang, jika Anda tidak ingin mengkonsumsi minyak sawit, saya bilang, jangan mengkonsumsinya. Tapi, ketika Anda mengatakan ’Tidak’ kepada sawit, maka otomatis Anda mengatakan ‘Ya’ pada minyak lainnya, karena pada titik tertentu kita akan mengonsumsi minyak nabati. Anda perlu memahami konsekuensinya. 

Jadi menurut saya ada pertanyaan global yang sangat penting. Dengan meningkatnya permintaan di pasar global, minyak mana yang menurut Anda paling cocok? Dilihat dari sudut pandang ini, minyak sawit harus menjadi bagian dari solusi tersebut. Karena jika tidak, Anda akan membutuhkan jauh lebih banyak deforestasi, jauh lebih banyak lahan untuk tanaman lain.

Namun, minyak sawit itu harus baik. Itulah yang perlu kita fokuskan. Saya pikir kita perlu definisi tentang apa arti minyak sawit yang baik. Definisi-definisi itu sudah ada melalui sertifikasi. Apakah kita setuju dengan mereka atau tidak, itu masalah lain. Tetapi jika Anda mengatakan itu tidak cukup baik, kita membutuhkan kriteria yang lebih baik. Maka ubahlah kriteria itu.

Ketika kita berbicara tentang deforestasi, mengapa kita selalu merujuk pada minyak sawit dan bukan minyak zaitun, misalnya?

Saya pikir ini karena berbagai faktor. Pertama-tama, minyak sawit sangat terlihat. Perbedaan antara memiliki hutan hujan, menebangnya, lalu menanam area besar seluas 10.000 hingga 20.000 hektar dalam bentuk monokultur sangat mencolok. 

Saya ingat ketika saya berada di sini pada pertengahan atau akhir 1990-an, tiba-tiba muncul isu tentang minyak sawit dan orangutan yang kemudian melebur menjadi satu narasi. Tidak ada yang berbicara tentang minyak kedelai dan jaguar atau minyak rapeseed dan hewan lain. Tidak ada narasi seperti itu. Namun, isu minyak sawit dan orangutan menjadi besar dan berkembang.

Saya pikir ini didorong oleh banyak emosi dari masyarakat. Orang-orang menyukai orangutan, mereka menyukai hutan hujan tropis atau setidaknya idenya, dan ini melekat di benak mereka.

Secara global, kami telah memetakan perkebunan kelapa dan ternyata luasnya lebih besar dibandingkan dengan kelapa sawit. Tetapi mengapa kelapa memiliki citra yang indah—pantai tropis, petani kecil, sehat—sedangkan kelapa sawit yang menghasilkan produk hampir sama justru memiliki citra buruk di negara-negara Barat?



Apakah ini hanya masalah pencitraan? Atau ada dasar ilmiah di baliknya?

Saya rasa ini lebih pada visibilitas. Saya juga tidak mengerti mengapa orang bisa pergi ke Bali, melihat sawah, dan berkata, "Wow, indah," tetapi kemudian melihat perkebunan sawit dan berkata, "Eww."

Maksud saya, misalnya kacang tanah. Kacang tanah memiliki luas tanam yang lebih besar ketimbang sawit. Saya pikir ada sekitar 40 juta hektare kacang tanah di dunia. Apakah Anda tahu di mana? Saya tidak tahu. Apakah dari Tanzania? dari Senegal? dari Cina? dari Argentina? Bagaimana cara mereka diproduksi? Berapa banyak deforestasi yang terjadi? Tidak ada informasi. 

Kacang tanah adalah tanaman tropis dan subtropis. Saya bisa menjamin bahwa ada banyak deforestasi untuk kacang tanah.

Jika permintaan global akan terus meningkat, seperti yang akan terjadi dengan bertambahnya populasi, dan kita mencoba memenuhi itu hanya dengan kedelai atau hanya dengan kelapa sawit, maka kita akan membutuhkan 200 juta hektar lahan tambahan jika hanya menggunakan kedelai. 

Untuk saat ini, tidak ada alternatif lain untuk memproduksi minyak nabati dalam skala besar. Orang-orang berbicara tentang minyak mikroba dari algae, tetapi itu masih dalam skala kecil dan eksperimen. 

Jadi, dengan keterbatasan yang kita miliki saat ini dan meningkatnya permintaan, kita benar-benar perlu melihat bagaimana kita akan memenuhi permintaan itu. Dengan tanaman apa, dengan metode produksi apa, dan bagaimana kita bisa menghindari dampak negatif yang telah ditimbulkan oleh tanaman-tanaman ini terhadap manusia, kesehatan, hak asasi manusia, dan lingkungan. Lagi-lagi, ini bukan soal tanamannya, tetapi soal praktiknya. 

Apakah Anda berpikir bahwa ini juga terkait dengan fakta bahwa, misalnya, kelapa sawit relatif baru di Indonesia dibandingkan dengan perkebunan zaitun di Eropa?

Ya, dibandingkan dengan perkebunan zaitun. Tetapi jika Anda melihat kelapa sawit di Afrika Barat, ada bukti penggunaannya sejak 3.000 tahun yang lalu. Jadi di Afrika Barat dan Tengah, seluruh budaya kulinernya dibangun di atas kelapa sawit. Semua makanannya berbasis minyak sawit. 

Setiap rumah, ketika saya bekerja di Liberia dan kemudian di Gabon, memiliki tiga pohon kelapa sawit. Seseorang akan memanjat pohonnya di sore hari, mengambil tandan buah, lalu menumbuknya dan memasaknya. Jadi kelapa sawit memang tanaman baru di sini, tetapi bukan tanaman baru di dunia, terutama di Afrika.

Apakah menurut Anda Indonesia perlu memperluas perkebunan kelapa sawitnya?

Jika Anda ingin meningkatkan target biofuel, ada dua opsi. Meningkatkan hasil produksi di lahan yang sudah ada atau memperluas perkebunan. Jika Anda tidak dapat meningkatkan hasil produksi, maka perlu diperluas. 

Pertanyaannya adalah, di mana lahan yang bisa digunakan untuk memperluas lahan tanpa perlu menebang kawasan hutan atau ekosistem alami lainnya? Ya, saya pikir lahannya ada. 

Dengan target biofuel hingga B40, apakah ini akan mendorong deforestasi?

Saya tidak tahu apa saja dan berapa kebutuhannya. Yang perlu dilakukan adalah penilaian yang sangat baik terhadap lahan yang tersedia. Jika tidak, Anda hanya bermain-main dengan ide. Anda hanya perlu memahami realitas tentang apa artinya di lapangan. Buat saja berdasarkan fakta. Jangan membuatnya berdasarkan asumsi dan angan-angan.

Bagaimana pandangan Anda soal kebijakan EUDR?

Sejujurnya saya tidak berpikir itu membuat perbedaan besar. Saya pikir Indonesia hanya mengekspor sekitar 10% minyak kelapa sawitnya ke Uni Eropa. Sebagian besarnya sudah bersertifikat Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) yang sudah cukup baik dalam hal keterlacakan (traceability). Meskipun mungkin belum terlalu bagus di sektor petani kecil. Jadi, menurut saya dari sisi kepatuhan akan terpenuhi dalam tahun ini. Mungkin akan ada beberapa masalah di sana. Saya rasa itu tidak akan membuat perbedaan besar. Kecuali, tentu saja, ada perkebunan kelapa sawit baru yang masuk.

EUDR tampaknya mengatasi masalah yang menurut saya tidak ada. Mungkin itu hanya akan memindahkan masalah ke tempat lain, atau menjadikannya masalah Indonesia. Lalu apa sebenarnya yang telah kita selesaikan? Apa intinya? Dalam skala global, apa yang sebenarnya telah Anda ubah? 

Saya tidak benar-benar melihat apa kontribusinya. Transparansi dan akuntabilitas, menurut saya, diperlukan di mana-mana. Kembali ke apa yang saya katakan sebelumnya, ketika saya membeli selai kacang yang tidak mengandung minyak kelapa sawit, saya juga tidak tahu dari mana kacang tanah itu berasal.

Transparansi itu seharusnya ada di semua tanaman. Jadi mengapa jagung tidak ada di sana? Mengapa beras tidak ada di sana? Mengapa singkong tidak ada di sana? Singkong adalah tanaman yang terkait dengan deforestasi besar. Apa sebenarnya yang Anda capai dengan EUDR? Itulah pertanyaan saya.

Jadi, menurut Anda apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia selanjutnya dengan minyak kelapa sawitnya? 

Menurut saya mereka harus memperketat kriteria untuk perluasan kelapa sawit. Kawasan konservasi dan hutan alam seharusnya tidak boleh dimasuki kelapa sawit. Tidak masuk akal untuk menebang hutan hujan tropis dan menanam kelapa sawit sebagai gantinya. Saya pikir banyak peraturan dan ide-ide tersebut tercakup dalam ISPO. Itu hanya perlu ditegakkan.

Apakah menurut Anda standar RSPO dan ISPO sudah cukup? Atau harus lebih tinggi standarnya?

Saya pikir RSPO dan ISPO sudah cukup. Hanya perlu ditegakkan. Kalau saya melihat prinsip dan kriteria RSPO, tidak ada masalah dengan itu tetapi tidak selalu bisa diterapkan di lapangan. 

Jadi, ini lebih ke kontrol dan mekanisme checks and balances daripada prinsip dan kriterianya itu sendiri. Bagi perusahaan sebagian besar cukup baik walaupun tidak semuanya. Tapi ada tantangan dengan petani kecil terutama soal akses keuangan. Sektor petani kecil sangat penting di Indonesia, jadi perlu lebih banyak dukungan di sana.

Katakanlah Presiden Prabowo ingin memperluas kelapa sawit sekarang, berapa lama yang dibutuhkan untuk perizinan, pembersihan lahan, hingga masa panen?

Jika pemerintah menginginkannya, izin akan segera dikeluarkan. Mulai dari pembersihan lahan hingga panen setidaknya butuh waktu empat setengah tahun. Setelah ditanam, pohon kelapa sawit mulai bisa dipanen saat berusia 48 bulan. Jika Presiden Prabowo ingin meningkatkannya dengan cepat, dia perlu memilih lahan yang sudah dialokasikan untuk kelapa sawit, yang sudah memiliki izin, tetapi belum ditanam. Atau yang sudah ditanam tetapi gagal, di situlah Anda bisa memproduksi minyak sawit dengan cepat karena tidak perlu membersihkan lahan, tidak perlu melalui proses perizinan. Jadi itu di wilayah yang sudah ada dalam konsesi.

Presiden Prabowo sempat menyebut bahwa perkebunan sawit adalah kawasan hutan, apakah Anda sepakat dengan pernyataan tersebut?

Food Agriculture Organization (FAO) memiliki definisi tentang apa itu hutan. Ini memerlukan 10% tutupan kanopi dan ketinggian tertentu lebih dari 5 meter, sehingga satu kawasan bisa disebut hutan. Tentu ada pengecualian, termasuk kelapa sawit. Sebagai seorang ekologis, saya rasa tidak tepat menyebut perkebunan kelapa sawit sebagai hutan. Tapi kemudian saya berpikir tidak tepat juga menyebut hamparan pohon pinus di Eropa yang monokultur sebagai hutan. 

Memang ada banyak definisi, tetapi definisi FAO itulah yang paling banyak digunakan secara global. Jadi, sawit bukan hutan. Tetapi seharusnya perkebunan eukaliptus dan akasia untuk pulp dan kertas juga bukan hutan karena itu monokultur. 

Jadi, Anda menentang definisi dari FAO? 

Ya, itu tidak masuk akal. Tapi Anda harus berhati-hati sebelum meninggalkan definisi FAO sebelum Anda memiliki sesuatu yang lebih baik. Saya pikir ini diskusi yang menarik. Saya tidak berpikir itu tidak lantas menjadikan kelapa sawit sebagai hutan. Tetapi yang kami katakan dalam laporan ini, di antara berbagai tanaman minyak, saya lebih suka melihat tanaman permanen.

Pemerintah banyak mendorong agroforestri termasuk di perkebunan sawit, apakah ini langkah yang tepat?

Ada banyak eksperimen dengan agroforestri kelapa sawit untuk meninggalkan konsep monokultur. Saya tahu ada eksperimen yang bagus di Sabah di mana mereka menggabungkan kelapa sawit dengan pohon produktif lainnya dan hasilnya tetap sama.

Jadi, tidak ada penurunan hasil, tetapi ekosistemnya menjadi lebih kaya. Anda mendapatkan lebih banyak manfaat bagi satwa liar, lebih banyak manfaat bagi masyarakat lokal karena mereka bisa menanam hal lain, bukan hanya kelapa sawit. Jadi, ini memberi lebih banyak ketahanan pangan. Misalnya jika harga CPO turun, tetapi Anda juga memiliki rambutan di kebun, itu memberi petani lebih banyak fleksibilitas.

Apakah monokultur satu-satunya cara untuk menanam kelapa sawit secara efisien? Atau apakah ada sistem tumpangsari yang memberikan hasil yang sama atau bahkan lebih tinggi, tetapi memiliki manfaat ekologi dan sosial yang lebih baik? Ada banyak eksperimen. 

Saya tidak tahu apakah perusahaan besar ingin menuju ke arah itu. Apakah perusahaan besar seperti Sinar Mas atau Wilmar akan menerapkannya dalam skala industri? Bisakah mereka membuatnya berhasil dalam skala itu? Atau mungkin ini hanya cocok untuk petani kecil? Eksperimen agroforestri sawit ini berhasil, tetapi sekarang harus diperluas dalam skala besar.

Terkait tata kelola perkebunan sawit, klaim pemerintah menyebut ada 3 juta hektare kebun sawit ilegal, di mana 1 juta di antaranya sudah diputihkan. Bagaimana Anda melihatnya?

Dari apa yang saya pahami, itu berkaitan dengan ketidaksesuaian peta tata guna lahan di berbagai tingkat yurisdiksi. Jadi, ini soal menyelaraskan data tersebut. Menurut saya, status lahan itu kurang penting dibandingkan dengan tutupan lahannya. Saya tidak peduli apakah itu kawasan hutan atau area penggunaan lain (APL). Yang penting adalah apa yang ada di lahan tersebut. Saya tahu ini penting dari sudut pandang politik.

Tetapi sebagai seorang ekologis, saya melihatnya sebagai hutan. Tata guna lahan adalah masalah politik dan itu penting. Tetapi pada akhirnya, Anda harus melihat tutupan lahannya. Tetapi saya tahu itu bukan selalu cara berpikir para politisi.

Tapi hei, itu juga bukan prioritas di Belanda. Kami akan menembak serigala terakhir yang masih tersisa di negara kami. Jadi, Anda melindungi harimau Anda, kami menembak serigala kami. Begitulah cara kerjanya. Selalu mudah untuk peduli tentang sesuatu yang jauh di negara lain, tetapi tidak melakukan hal yang sama di negara sendiri.

Saya telah menghabiskan lebih banyak hidup saya di Asia Tenggara daripada di Belanda, jadi saya melihatnya dari kedua perspektif. Hal yang saya tidak suka dari orang-orang Eropa adalah mereka selalu menunjukkan kesalahan kalian. Saya tidak suka itu. 

Riset ini juga membahas soal India yang mulai masuk ke perkebunan sawit, apakah mereka akan jadi penantang serius dominasi Indonesia dan Malaysia?

Dari apa yang saya dengar, Pemerintah India ingin mengurangi ketergantungan terhadap minyak sawit Indonesia dan Malaysia. Jadi, mereka berusaha memperluas produksi kelapa sawit mereka sendiri. Tapi satu-satunya lokasi yang cocok berada di wilayah Assam yang wilayahnya masih berhutan dan secara etnis sangat beragam. 

Ada banyak masalah hak asasi manusia dan keanekaragaman hayati. Jadi, saya tidak tahu sejauh mana pemerintah India tertarik untuk menerapkan praktik yang baik di sana. Saya pikir Indonesia dan Malaysia akan selalu menjadi pemimpin.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rezza Aji Pratama

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...