Kerja Sama Ekonomi RI – Uni Eropa Lebih Besar Daripada Sekadar CPO

Yura Syahrul
5 Agustus 2018, 05:00
Iman Pambagyo
Ilustrator: Betaria Sarulina

Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa masih dalam proses perundingan perjanjian kerja sama ekonomi komprehensif atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (I-EU CEPA). Sesuai dengan keinginan Presiden Joko Widodo, kerja sama ini diharapkan nantinya dapat meningkatkan perekonomian, khususnya ekspor Indonesia.

Bahkan, menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo, perundingan itu tidak hanya akan meningkatkan kerja sama dagang, tapi juga investasi dan aktivitas ekonomi yang lebih luas.

“CEPA Indonesia – Uni Eropa ini akan menjadi perjanjian perdagangan yang paling modern,” katanya kepada wartawan Katadata.co.id, Yura Syahrul, dalam wawancara khusus usai menghadiri penutupan perundingan ke-5 CEPA RI – Uni Eropa di Brussels, Belgia, 13 Juli lalu.

Meski masih ada banyak isu yang dibahas, termasuk soal larangan penggunaan minyak sawit (crude palm oil /CPO) Indonesia di Eropa, Iman optimistis perundingan kerja sama ekonomi ini akan rampung pada paruh pertama tahun depan. Berikut petikan wawancaranya.

Apa prinsip dasar dari kerja sama ekonomi Indonesia – Uni Eropa ini?

Prinsip dasar perundingan ini, Indonesia dan Uni Eropa ingin membangun kemitraan. Karena itu disebut partnership, bersifat komprehensif. Artinya, tidak cuma untuk perdagangan barang, tapi lebih luas dari itu. Karena kita melihat, kalau Indonesia ingin maju maka bermitralah dengan negara-negara yang maju.

Saya bisa katakan, perundingan dengan Uni Eropa ini mungkin akan melahirkan perjanjian perdagangan yang paling modern dan FTA (Free Trade Agreement) paling modern yang pernah kita lakukan, karena mencakup beberapa isu yang selama belum pernah kita negosiasikan. Area-area baru itu antara lain, government procurement, ada peranan state owned enterprises (BUMN), kemudian fokus khusus pada ERM (Energy and Raw Materials), remanufacture, repairs goods, dan beberapa yang lain.

Artinya, kami melihat perjanjian ini akan mengarah ke modern agreement, komprehensif, dan harus dipastikan mutual beneficial. Karena, kalau melihat hanya perdagangan, selama ini Indonesia surplus dengan Uni Eropa. Tapi tujuan dari perundingan ini bukan hanya untuk mempertahankan atau meningkatkan, tapi lebih dalam lagi, yaitu kemitraan. Jadi kami melihat perlunya menegosiasikan chapter mengenai jasa, investasi, bidang rules lainnya, seperti kompetisi, dan lain-lain.

Bagaimana gambaran peran Indonesia dalam kerja sama ini nantinya?

Jadi kita ingin agar bisnis Indonesia untuk lebih bisa berkembang masuk ke Uni Eropa, tidak cuma barang, juga jasa, investasi. Tapi, sebaliknya kita juga ingin Uni Eropa melihat Indonesia tidak hanya sebagai pasar, melainkan sebagai regional hub-nya Uni Eropa. Karena, kalau kita bicara Uni Eropa di Kawasan ASEAN maka Indonesia itu critical mass-nya. Tanpa Indonesia, tidak ada ASEAN-nya, karena kita mewakili 60-70% ekonomi yang ada di ASEAN. Jadi, kita berharap Uni Eropa melihat kesepakatan yang mudah-mudahan akan tercapai awal tahun depan nanti, Indonesia sebagai mitra dan regional hub mereka untuk masuk ke kawasan sekitar kita.

Perlu dicatat, sementara itu Indonesia dan ASEAN masih merundingkan RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), yang mencakup 16 negara, terdiri atas 10 negara ASEAN dan 6 negara partner. 16 negara ini kalau digabung maka kita berbicara pasar sebanyak 3,5 miliar orang. Jadi pasarnya sangat potensial, middle class-nya sedang tumbuh, Jadi, potensi ekonomi kawasan ini sangat besar, dan kita harapkan bisa dilihat Uni Eropa untuk masuk ke Indonesia serta menjadikannya sebagai basis regional untuk masuk ke kawasan ini.

Pelabuhan Ekspor
(Agung Samosir|KATADATA)

Sejauh ini, bagaimana jalannya perundingan?

Patut disyukuri dalam putaran perundingan kali ini (perundingan ke-5), sebagian besar delegasi yang hadir menunjukkan kedekatan yang konstruktif. Biasanya di perundingan-perundingan lain, yang sering saya amati kalau berunding itu seperti bertahan dari serangan orang. Kita mau berunding tapi kita takut diserang, dan itu sulit berkembang dan menutup mata kita, bahwa sebetulnya ada benefit yang bisa dicari.

Jadi kita tidak bisa bilang, “oh ini sensitif, jadi tidak boleh dinegosiasikan”. Kita harus lihat lebih detail lagi, ada manfaatnya tidak. Karena di beberapa diskusi yang saya ikuti seperti Repairs Goods, itu setelah diskusi panjang hingga hari ketiga barulah delegasi kita mengetahui adanya kesempatan untuk Indonesia. Misalnya, Uni Eropa fokus pada transportasi laut dan udara. Artinya, kalau kita mau mengembangkan, misalnya Garuda Maintanance Facility bisa kita bangun itu dan dapatkan referensi. Kalau pesawat-pesawat dari Uni Eropa melakukan perawatan di Indonesia, jadi suku cadang yang diganti itu tidak dikenakan tarif.

Jadi, ada peluang-peluang yang kalau kita identifikasi secara detail. Pengalaman saya sebelumnya, karena kita tidak mau repot maka kita langsung bilang tidak, sehingga benefitnya malah tidak dapat sama sekali.

Bagaimana dengan topik khusus ERM?

Terus terang saya masih sedikit pemahaman saya, kenapa dia (Uni Eropa) mengincar itu. Tapi yang bisa saya tangkap, hal ini terkait dengan paradigma supply chain. Jadi negara-negara Uni Eropa ingin mengamankan akses terhadap berbagai energi dan sumber daya mineral Indonesia agar input-nya tidak terganggu. Kalau dikenakan export duties, barangkali jadi tidak kompetitif sumber mereka dari Indonesia. Mereka ingin mengamankan supply.

Tapi juga ke Indonesia-nya, Uni Eropa ingin ada kesamaan perlakuan. Misalnya energi, khususnya tenaga listrik. Transmisinya bagaimana? Mereka bangun fasilitas pembangkit, apakah penyalurannya bisa ikut menggunakan transmisi PLN atau tidak, atau harus sewa dari PLN? Kita butuh energi, mereka juga bahkan lebih dari itu. Jadi apa yang bisa dinegosiasikan dalam kerangka ini.

Hal itu juga menjadi peluang investasi di Indonesia?

Ya, bagian dari peluang investasi. Dalam beberapa kasus dengan negara-negara Uni Eropa, mereka urung investasi di Indonesia karena tidak ada kepastian bahwa produk A, B, C, yang dibuat di Indonesia itu akan mendapatkan tarif nol persen. Padahal barang itu dibutuhkan kalau mereka investasi di Indonesia. Jadi, perlu dilihat secara detail, adakah manfaatnya untuk kita. Jadi, pendekatannya win-win.

Bagaimana dengan isu Government Procurement?

Sudah waktunya bagi Indonesia untuk melihat value for money. Kita tentunya akan mengutamakan kebijakan yang mengutamakan produk dan pemasok dalam negeri. Tapi supaya supplier kompetitif maka harus dihadapkan pada kompetisi. Tentunya akan ada batasan-batasan untuk bidding, sampai berapa nilainya itu terbuka untuk perusahaan-perusahaan Eropa. Tapi di bawah itu (nilainya), khusus untuk supplier di dalam negeri.

Kalau lihat website-nya LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah), itu sebetulnya sudah banyak yang dibuka, asalkan produknya masuk e-katalog dulu. Jadi, pemasok dari Jerman, Pakistan, sudah bisa ikut bidding di Indonesia untuk government procurement.

Bagaimana respons Uni Eropa?

Kita jelaskan mengenai penggunaan e-procurrement, yang ternyata di Eropa belum (diterapkan). Baru Oktober diluncurkan. Jadi, secara sistem kita lebih bagus. Tinggal kita mau buka seberapa besar untuk masuknya supplier dari Uni Eropa. Sekali lagi, ini value for money supaya kebutuhan kita didapatkan semaksimal mungkin dengan biaya seminimal mungkin karena melalui proses bidding.

Tapi ini juga jangan sampai mengganggu usaha di dalam negeri ya?

Ini bagian dari upaya kita membuat bisnis di Indonesia lebih efisien dan kompetitif. Tapi tentu ada batasan-batasannya, untuk nilai tertentu tidak dibuka. Juga masih perlu dibahas, apakah government procurement di tingkat pusat saja, atau di daerah. Atau seperti di Vietnam yang dengan Uni Eropa, untuk tingkat pusat dan dua kota saja. Daerah lain masih jangka panjang akan dibukanya.

Berapa banyak item topik dan Kementerian dan Lembaga yang terlibat dalam perundingan ini?

Banyak sekali. Misalnya untuk jasa, awalnya melibatkan 8-9 kementerian, tapi ternyata juga terkait OJK (Otoritas Jasa Keuangan), ada BI (bank Indonesia). Misalnya, ada soal subsidi yang juga perlu melibatkan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha). Buat saya ini bagus untuk dibahas.

Tahun 2015, Presiden bilang kita akan join TPP (Trans Pacific Partnership), itu lebih dalam lagi. Lebih berat. Apalagi perjanjian itu sudah selesai, kita tinggal aksesi. Kita tidak punya ruang untuk menegosiasikan rules-nya. Cuma bisa negosiasikan jadwal perjanjiannya.

Berbeda dengan perjanjian dengan Uni Eropa. Jadi, ini bisa jadi stepping stone bila Indonesia mau gabung. Tapi sekali lagi ini perjanjian yang lebih modern.

Apa saja poin krusial yang masih perlu dibahas setelah perundingan ke-5 ini?

Ada dua isu yang bisa dikelompokkan. Pertama, karena isu-isu itu belum pernah dinegosiasikan sehingga kita perlu banyak konsultasi di dalam negeri. Ini tantangan kita karena sebagian orang mengatakan ini isu politik. Betul, tapi jangan ‘sapu ranjau’ seperti itu. Diskusi tetap harus dibuka, karena ada peluang yang perlu kita ambil manfaatnya. Seperti bea ekspor, ada yang bilang bahwa ini tetap diperlukan. Tapi kita harus lihat ke depan, blue print sektor itu apa. Apakah selamanya akan dikenakan bea ekspor. Procurement juga harus dilihat, melibatkan pusat dan daerah atau pusat dulu?

Kedua, isu yang terkait antara Indonesia dan Uni Eropa. Saya sudah lihat, tapi tidak mau sebutkan sekarang mengenai adanya red line di Uni Eropa. Mereka tidak bisa kurang dari ini (batasan), karena FTA dia dengan 40 mitranya selalu ada. Buat Indonesia, ini beyond our red line. Kita tidak bisa sampai ke sana karena UU kita menyatakan begitu. Itu barangkali yang harus diselesaikan di level politik.

Batasan mengenai apa itu?

Terlalu awal untuk diketahui publik sekarang. Ini red line, ini red line, nanti publik melihatnya negatif saja. Tapi bahwa dalam setiap perundingan akan sampai pada tahap kita ketemu red line, itu wajar menurut saya. Tapi publik mungkin melihat sepotong-sepotong saja, tidak komprehensif. Sangat keliru jika kita ke sini dibilang untuk menjual Indonesia. Tidak sama sekali.

Untuk beberapa isu kita malah lebih agresif. Misalnya,isu trade and sustainability development yang baru pertama kali dinegosiasikan. Isi yang diusulkan dari Uni Eropa adalah hak-hak pekerja dan isu lingkungan. Kalau kita lihat lebih dalam, yang diusulkan Uni Eropa itu sebatas kedua pihak akan melakukan aksesi ke konferensi-konferensi internasional menyangkut hajat hidup orang banyak dan lingkungan.

Indonesia mau lebih dari itu. Misalnya, illegal fishing, rasanya kita yang paling keras memerangi IUU (Illegal, Unreported, Unregulate) Fishing. Tapi kita punya concern, sementara kita memerangi IUU Fishing secara habis-habisan, bahkan negara kita harus banyak berkorban, tapi itu kurang dihargai. Sebab, Uni Eropa juga membeli ikan dari Vietnam dan Thailand, yang dugaan kita hasil curian dari perairan kita.

Jadi, kita ingin ada suatu mekanisme, kalau saya curigai salah satu negara anggota Uni Eropa membeli ikan kaleng yang kita tahu dari salah satu negara sekitar kita dan itu terlibat IUU Fishing, maka Uni Eropa harus ambil tindakan. Hal-hal ini yang perlu diluruskan.

Apakah perundingan ini juga jadi pintu masuk pembahasan masalah minyak sawit?

Perundingan ini lebih besar dari sekadar minyak sawit. Perundingan ini menyangkut perdagangan barang, jasa, investasi, dan lain-lain. Isu palm oil memang penting buat kita.tapi penyelesaiannya bukan melalui CEPA ini. Karena kalau bicara CEPA, bukan cuma palm oil, tapi juga ada makanan, garment, produk perikanan, chemicals, tropical woods, banyak lagi. Stakeholders-nya CEPA ini besar. Meskipun dalam perdagangan sehari-hari porsi palm oil memang besar, tapi kita justru mau membesarkan yang lain.

Saya selalu bilang, kita terus jalan negosisasi ini tapi tetap menyuarakan concern kita mengenai palm oil, karena buat kita ada perlakuan diskriminatif. Mereka punya vegetable oil sendiri, yang palm oil ini dihantam terus. Buat kita itu tidak fair.

Nanti, di ujung perundingan pada tahun depan, saya harapkan semua tim sudah menyelesaikan isu perundingannya. Jadi, masing-masing harus melakukan penilaian terhadap paket dari Uni Eropa maupun Indonesia. Kalau akhirnya dinilai bagus tapi palm oil-nya tidak benar, maka sudah tinggal sedikit. Itu di tingkat politik, tinggal bagaimana yang di atas menyelesaikannya.

Jadi, soal minyak sawit ini akan masuk CEPA atau tidak, ditentukan di akhir perundingan saja?

Iya. Cuma untuk sampai ke sana, masing-masing harus jalan dulu. Ini loh nilai perjanjiannya sangat besar, manfaatnya besar. Cuma ada masalah palm oil. Tapi kalau sekarang dipaksakan (membahas soal minyak sawit), tidak akan maju-maju perundingannya. Jadi, insentif untuk menyelesaikan masalah palm oil ini didorong dengan paket-paket dalam CEPA.

Kapan target perundingan CEPA Indonesia dan Uni Eropa ini selesai?

Target saya semester I tahun depan sudah selesai. Tapi setelah itu masih diperlukan legal study untuk dijadikan dokumen legal.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...