Pertumbuhan ekonomi Tiongkok sepanjang tahun lalu sebesar 6,6% merupakan angka terendah dalam 28 tahun terakhir. Biang masalahnya adalah tekanan perang dagang dengan Amerika Serikat (AS). Kondisi tersebut turut memukul ekonomi Indonesia sehingga defisit neraca perdagangan pada tahun lalu menyentuh level terburuk sepanjang sejarah yaitu sebesar US$ 1,1 miliar.

Pelemahan ekonomi Tiongkok diperkirakan akan berlanjut tahun ini dan berdampak negatif pada kinerja ekspor nonmigas Indonesia. Sebab, Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor nonmigas terbesar Indonesia selama bertahun-tahun. Pada periode Januari–Desember 2018, nilai ekspor ke Tiongkok sebesar US$ 24,39 miliar. Jumlah ini 15% dari total ekspor RI.

Nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Tiongkok sepanjang 2018 memang masih tumbuh 14,25% dibanding tahun sebelumnya. Namun, di sisi lain, nilai impor nonmigas dari Tiongkok tumbuh 27,41% menjadi US$ 45,24 miliar. Alhasil, defisit neraca perdagangan nonmigas Indonesia dengan Tiongkok melonjak 47,24% menjadi US$ 20,85 miliar.

Penurunan permintaan ekspor dari Negeri Tirai Bambu itu sudah diprediksi sejak awal perang dagang AS-Tiongkok. "Pada dasarnya perlambatan ini dikarenakan keterpaksaan Tiongkok untuk memperlambat laju ekspornya ke AS yg merupakan mitra dagang terbesarnya," kata Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang Indonesia, Shinta Kamdani, dihubungi Senin (28/1).

(Baca juga: Investor Khawatir Perlambatan Ekonomi Tiongkok, IHSG Turun 0,37%)

Pelemahan ekonomi Tiongkok diperkirakan berlanjut di 2019. Survei Reuters terhadap 85 ekonom dunia menyebutkan pertumbuhan Tiongkok akan melambat ke level 6,3%. Bank Dunia pun memperkirakan laju ekonomi Tiongkok tahun ini akan turun 0,1 basis poin dari tahun 2018. “Pertumbuhan ekonomi Tiongkok diproyeksikan melambat menjadi 6,2 persen tahun ini, di bawah proyeksi sebelumnya akibat ekspor yang lemah,” bunyi laporan Bank Dunia.

Penurunan permintaan ekspor dari Tiongkok diperkirakan berdampak langsung terhadap penurunan harga komoditas. Bank Indonesia dalam Tinjauan Kebijakan Moneter edisi Januari 2019 memperkirakan harga komoditas global menurun. "Harga komoditas ekspor Indonesia yang pada 2018 tumbuh melambat diperkirakan berlanjut pada 2019," tulis Bank Indonesia dalam Tinjauan Kebijakan Moneter edisi Januari 2019.

Komoditas ekspor andalan RI selama ini batu bara dan minyak kelapa sawit (CPO). Selama perang dagang Amerika-Tiongkok masih terus berlanjut, permintaan dari Tiongkok akan tetap lambat yang akan mempengaruhi harga. "Ini berarti persaingan Indonesia dengan negara pemasok Tiongkok lainnya semakin ketat," kata dia.

Masih Melemahnya Harga Batu Bara

Ekspor batu bara sepanjang 2018 mengalami peningkatan. Selama Januari–Desember 2018, ekspor nonmigas berupa produk pertambangan dan lainnya mencapai US$ 29,28 miliar atau meningkat 20,47% disumbang oleh meningkatnya ekspor batu bara. Nilai ekspor dari Kalimantan Timur, daerah utama asal pengiriman batu bara ke luar negeri, tercatat sebanyak US$ 18,56 miliar.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), total produksi batu bara selama 2018 sebanyak 528 juta metrik ton dengan jumlah ekspor sebanyak 78,2% atau 413 juta metrik ton. Sementara pada 2017, produksi yang dihasilkan sebanyak 461 juta metrik ton dengan jumlah ekspor sebesar 78,9% atau 364 juta metrik ton.

Harga batu bara energi mencapai level tertinggi sepanjang 2018 pada US$ 115,45 per metrik ton di 3 Oktober. Sedangkan harga terendah batubara adalah US$ 84,35 per metrik ton pada 26 Maret 2018.

Harga batubara acuan (HBA) pun mengalami penurunan sejak pertengahan 2018. Pada Agustus 2018 nilai HBA sebesar US$ 107,83 per ton, kemudian turun pada Oktober menjadi US$ 100,89 per ton. Pada November turun menjadi US$ 97,90 per ton, dan Desember US$ 92,51 per ton. Pada Januari 2019 kembali turun tipis menjadi US$ 92,41 per ton.

Analis Asia Tradepoint Futures, Deddy Yusuf Siregar memperkirakan pada 2019 tren harga batubara diperkirakan berada di rentang US$ 90–US$ 100 per metrik ton. Dia menyampaikan, harga batu bara dipengaruhi oleh Tiongkok yang sejak tahun lalu mengerem penggunaan batu bara dan hendak menerapkan kebijakan energi bersih.

Namun, dia menilai langkah Tiongkok mengubah kebijakannya tak akan berjalan dalam waktu singkat. "Walaupun nantinya pembangkit listrik di Tiongkok akan beralih ke gas alam, masih banyak dibutuhkan eksplorasi dan dana," kata Deddy saat dihubungi.

Deddy mengatakan meski permintaan dari Tiongkok berkurang, kemungkinan permintaan batu bara terus bertambah dari Asia Tenggara, seperti Vietnam. Negara tersebut masih membutuhkan batu bara dalam jumlah besar untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Perkiraan hingga 2030, Vietnam membutuhkan batu bara sebanyak 80 juta metrik ton.

Laporan BI dalam Tinjauan Kebijakan Moneter edisi Januari 2019 juga menyebutkan penurunan harga komoditas batu bara dan logam akan terus berlanjut. Selain dipengaruhi penurunan permintaan dari Tiongkok, penurunan harga batu bara disebabkan melambatnya permintaan global serta meningkatnya pasokan batu bara dari AS.

Harga CPO Lebih Stabil

Harga CPO pada 2019 diperkirakan masih di bawah harga pada 2017 yang menyentuh level RM 2.530. Namun, tren 2019 diperkirakan membaik dibandingkan 2018. Saat ini untuk kontrak pengiriman Februari 2019 di Malaysia Derivative Exchange berada di level RM 2,121 per metrik ton atau mengalami penurunan 16,16% dibanding harga tertinggi tahun 2017.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mencatat volume ekspor CPO dan turunannya sepanjang tahun 2018 mencapai 32,02 juta ton, naik tipis 3,1% dari realisasi 2017 sebesar 31,05 juta ton. Namun, meski mengalami kenaikan volume karena terjadi penurunan harga sawit menjadikan penjualan sawit secara nominal merosot.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, nilai ekspor CPO tahun lalu sebesar US$ 17,89 miliar, turun 12,02% dibandingkan capaian pada 2017 sebesar US$ 20,34 miliar. "Harga sangat mempengaruhi penjualan karena nilainya turun," kata Sekretaris Jenderal Gapki Kanya Lakhsmi Sidarta.

Nilai ekspor dari CPO sebelum perang dagang menghadang terus mengalami kenaikan. Pada 2016, menurut data Gapki, volume ekspor CPO sebanyak 25,11 juta ton atau senilai US$ 18,2 miliar. Kemudian pada 2017, jumlah ekspor sebanyak 31,05 juta ton atau senilai US$ 22,96 miliar.

Deddy mengatakan untuk kuartal pertama 2019 harga CPO berpotensi menguat sekitar RM 2300. Dia mengatakan setiap kuartal pertama (Januari-Maret) setiap tahunnya produksi CPO dari Malaysia dan Indonesia mengalami penurunan. “Sehingga membuat harga sedikit naik,” kata dia.

BI menyebutkan harga komoditas pertanian seperti CPO dan karet diperkirakan membaik dibandingkan tahun 2018. Harga CPO diperkirakan mulai membaik seiring meningkatnya permintaan sebagai dampak penurunan pajak impor CPO di India dan kenaikan harga kedelai.

Gapki pun memproyeksikan kondisi harga bakal membaik pada tahun ini. Hal ini antara lain dipicu oleh musim kemarau panjang sehingga berpotensi menyebabkan pasokan dan produksi minyak kelapa sawit berkurang. Alhasil, harga mulai meningkat, meskipun kenaikannya mungkin tak signifikan.

Menyiasati Produk Baru

Shinta mengatakan ekspor RI tak hanya bisa mengandalkan komoditas yang harganya sedang tidak menarik. Dia mengusulkan beberapa opsi yang dapat dilakukan menyiasati pelemahan ekonomi Tiongkok. Pertama meningkatkan daya saing ekspor ke Tiongkok dengan efisiensi, peningkatan produktifitas dan pemotongan waktu dan biaya ekspor.

Untuk poin tersebut, Shinta menyebutkan, pemerintah dapat melakukan banyak hal mulai dari pemberian kredit lunak untuk industri yang perlu memperbarui mesin produksi, kredit ekspor untuk UKM, menghilangkan pajak atau kuota ekspor.

"Untuk mengefisiensikan cost and time to export, pemerintah juga bisa mengevaluasi prosedur ekspor, izin ekspor, lartas ekspor dan lainnya supaya lebih sederhana dan murah bagi pelaku usaha, khususnya UKM dan industri kreatif," kata dia.

 (Baca juga: Pemerintah Kaji Pelonggaran Izin untuk Kemudahan Ekspor)

Shinta juga menyarankan pemerintah membentuk task force untuk mengidentifikasi kendala yang dihadapi pelaku usaha Indonesia dalam ekspor ke Tiongkok. Setelah itu pemerintah membuka jalur komunikasi dengan pemerintah Tiongkok untuk memperlancar arus ekspor. "Sepengetahuan kami, ekspor Indonesia ke Tiongkok masih belum maksimal karena beberapa kebijakan non-tarif di negera tersebut," kata Shinta.

Kedua mengintensifkan perdagangan dengan pasar-pasar yang baru dibuka. Untuk itu, pemerintah perlu mengkomunikasikan dengan lebih intens kepada pelaku usaha pasar-pasar mana saja yang baru dibuka atau menyediakan preferensi dagang untuk Indonesia.

Lakshmi juga mengungkapkan dalam meningkatkan penetrasi ekspor sawit, pengusaha masih menemui beberapa kendala seperti masalah kepercayaan dan sistem pembayaran, khususnya di pasar nontradisional. "Penjualan bisa tetap dijual ke wilayah lain, tetapi mendekati pasar baru tidak gampang," ujarnya.

Ketiga memperbanyak pelaku ekspor dengan lebih serius memberdayakan UMKM Indonesia agar memahami aturan ekspor dan ketentuan produk di pasar asing. "Perlu juga ada fasilitasi khusus dengan meniadakan izin ekspor yang mahal untuk UMKM, memberikan sarana kredit ekspor kepada UMKM dengan bunga yang terjangkau," kata Shinta.

Reporter: Michael Reily

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami