Siam Cement Public Company Ltd (SCC) atau lebih dikenal sebagai Siam Cement Group (SCG), konglomerasi bisnis asal Thailand, ekspansi ke bisnis kertas kemasan dengan mengakuisisi 55% saham PT Fajar Surya Wisesa Tbk (FASW) senilai Rp 9,6 triliun. SCG membidik pasar kertas kemasan di Indonesia yang memiliki pertumbuhan tiga kali lipat dibandingkan pasar Thailand.
Akuisisi ini merupakan salah satu yang terbesar tahun ini setelah PT Semen Indonesia Tbk merampungkan akuisisi 80,6% saham PT Holcim Indonesia Tbk senilai Rp 13,57 triliun pada Januari 2019. SCG diperkirakan merogoh kocek lebih dalam untuk melaksanakan kewajiban penawaran tender kepada pemegang saham Fajar yang lain. Transaksi ini ditargetkan tuntas pada kuartal III 2019.
Presiden dan CEO SCG Roongrote Rangsiyopash mengatakan, akuisisi ini memungkinkan SCG meningkatkan platform pertumbuhannya di Asean, khususnya di Indonesia. Indonesia memiliki populasi 270 juta penduduk dengan konsumsi kertas kemasan per kapita sebesar 32,6 kg/orang.
Tahun lalu, Fajar membukukan penjualan kertas kemasan sebesar 1,38 juta ton dengan nilai Rp 9,94 triliun dan laba bersih Rp 1,4 triliun. Total aset Fajar mencapai Rp 10,97 triliun per 31 Desember 2018.
SCG masuk ke Fajar melalui anak usahanya, SCG Packaging Public Company Ltd. "Selama beberapa tahun terakhir, SCG Packaging menunjukkan kemampuannya untuk menumbuhkan bisnisnya di Asean melalui pertumbuhan organik maupun akuisisi," kata Roongrote, dalam keterangan resmi perusahaan, Jumat (10/5).
(Baca: Siam Cement Bakal Caplok 55% Saham Fajar Surya Wisesa Senilai Rp 9,6 T)
Presiden Direktur SCG Packaging Tanawong Areeratchakul dalam wawancara dengan The Nation menyatakan, ekspansi basis produksi di Asean menjadi kunci perusahaan untuk mendorong pertumbuhan. Pasar kertas kemasan di Asean pada 2018 mencapai US$ 50,5 miliar atau sekitar Rp 697 triliun.
Pertumbuhan penjualan kertas kemasan di Asean mencapai 5% sedangkan di Thailand lebih rendah dari rata-rata Asean, yakni 3%. Meski kompetisi di industri kemasan ini semakin ketat, perusahaan optimistis ada peluang-peluang baru yang bisa diraih untuk mengembangkan bisnisnya.
Tahun lalu, pendapatan SCC dari penjualan kertas kemasan mencapai 87,25 miliar baht atau sekitar Rp 39,96 triliun, naik 20% dibandingkan 2017. Pendapatan bisnis kemasan ini berkontribusi sebesar 18% terhadap total pendapatan konsolidasi SCC sebesar 478,44 miliar baht atau sekitar Rp 219 triliun.
Bisnis petrokimia memberikan kontribusi terbesar, yakni 46% atau Rp 100,79 triliun terhadap pendapatan SCC pada 2018. Sementara itu, bisnis semen dan bahan bangunan menyumbang 36% atau Rp 78,84 triliun dari pendapatan perusahaan.
(Baca: Penjualan Industri Semen April 2019 Turun 6,69%)
SCC Gencar Melakukan Diversifikasi Bisnis
Ini bukan pertama kali SCC melakukan diversifikasi bisnis di Indonesia. Perusahaan yang masuk ke Indonesia sejak 1995 itu pada awalnya hanya memiliki kantor pemasaran. Saat ini SCC telah memiliki lebih dari 20 perusahaan yang bergerak di berbagai bidang, yakni semen, bahan bangunan, petrokimia, retail bahan bangunan, hingga distribusi.
Pada Juli 2018, SCC melalui anak usahanya SCG Retail Holding Co Ltd, membeli 29% saham PT Catur Sentosa Adiprana Tbk (CSAP) senilai Rp 324,24 miliar. Catur Sentosa adalah perusahaan yang mengoperasikan gerai peritel bahan bangunan Mitra 10. Catur Sentosa melalui anak-anak usahanya memiliki sekitar 40 prinsipal dan jaringan 35 ribu retailer modern maupun toko tradisional.
SCC melalui anak usahanya Siam Chemicals Co Ltd juga memiliki 30% saham di PT Chandra Asri Tbk, produsen petrokimia sejak 2011. Berdasarkan data RTI, setidaknya ada lima emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang sahamnya dimiliki oleh SCG. Nilai kapitalisasi pasarnya mencapai Rp 113,43 triliun per 31 Maret 2019.
Kepemilikan SCG di Sejumlah Perusahaan Publik
Nama Perusahaan | Pemegang Saham | Kepemilikan | Market Cap |
---|---|---|---|
PT Chandra Asri Petrochemical Tbk | SCG Chemicals Company Ltd | 30.57% | Rp 88.99 T |
PT Catur Sentosa Adiprana Tbk | SCG Retail Holding Company Ltd | 29% | Rp 2.27 T |
PT Keramika Indonesia Asosiasi Tbk | SCG Building Materials Co Ltd | 96.31% | Rp 1.49 T |
PT Kokoh Inti Arebama Tbk | SCG Distribution Company Ltd | 90.62% | Rp 239.33 M |
PT Fajar Surya Wisesa Tbk | SCG Packaging Public Company Ltd | 55% | Rp 20.44 T |
Sumber: RTI, SCG.com
SCG yang didirikan berdasarkan perintah Raja Vajiravudh pada 1913 tersebut berevolusi dari produsen semen hingga menjadi konglomerasi industri. Dalam wawancara dengan Bangkok Post, Roongrote berkomitmen menjadikan SCG sebagai perusahaan terkuat di Asean.
Untuk itu, SCG memiliki dua strategi utama. Pertama, mendorong ekspansi bisnis di Asia Tenggara. Kedua, meningkatkan daya saing melalui produk-produk yang memberikan nilai tambah lebih tinggi.
SCG mengalokasikan dana 42 miliar baht atau Rp 19,24 triliun untuk mendanai ekspansinya di Asia Tenggara tahun ini. Dana tersebut setara dengan 70% dari total belanja investasi yang disiapkan perusahaan. Sebesar 30% dari alokasi belanja investasi itu akan digunakan untuk mengembangkan proyek-proyek di Thailand.
Di luar angka tersebut, perseroan juga menyisihkan dana 30 miliar baht atau sekitar Rp 13,74 triliun untuk pembangunan Komplek Kilang Petrokimia Long Son di Vietnam. Dengan strategi tersebut, SCG menargetkan kontribusi pendapatan dari pasar luar negeri akan meningkat dari 45-55% menjadi 60% dari total pendapatan perusahaan.
Pemain Lama Perlu Berinovasi
Ekspansi SCG yang agresif di Indonesia maupun di Asean menyalakan lampu kuning bagi para pelaku industri semen dan bahan bangunan. Pangsa pasar SCG di industri semen Indonesia tahun lalu memang hanya sebesar 1,9% atau sekitar 2,05 juta metrik ton. Pangsa pasar tersebut jauh di bawah PT Semen Indonesia Tbk yang sebesar 39,4%, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk 25,5%, PT Holcim Indonesia Tbk 15,4%, PT Semen Conch 4,8%, PT Semen Bosowa 3,5%, maupun PT Semen Baturaja Tbk sebesar 3,1%. Setelah Holcim diakuisisi Semen Indonesia, pangsa pasar Semen Indonesia Grup mencapai 54,8%.
Jika dilihat secara grup, SCG memiliki lini bisnis yang lengkap. Semen Indonesia dan Indocement sebagai dua pemain utama di industri semen saat ini, memiliki anak-anak usaha yang bergerak di bisnis bahan bangunan, pengemasan semen, hingga distribusi. Namun, kedua perusahaan tersebut tidak memiliki lini bisnis petrokimia sebagaimana SCG. Padahal, beberapa produk bahan bangunan yang dikembangkan SCG dan beberapa perusahaan di dunia kini mulai menggunakan bahan baku alternatif, seperti bijih plastik. Oleh karena itu, mereka perlu memikirkan inovasi baru agar bisa meningkatkan daya saingnya.
Sejak awal bulan ini, saham-saham emiten semen tertekan oleh aksi jual. Saham Semen Baturaja turun paling dalam -33,16% menjadi Rp 655, PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (dulu Holcim) -24,16% menjadi Rp 1.350, Semen Indonesia -21,85% menjadi Rp 10.550, sedangkan Indocement -19,09% menjadi Rp 17.800.
Menurut analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Mimi Halimin, tekanan tersebut disebabkan oleh kinerja perusahaan semen pada kuartal I 2019 yang di bawah ekspektasi. Selain itu, ada sentimen negatif dari perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I 2019 yang lebih rendah, dan prospek volume penjualan semen yang lemah pada kuartal II 2019.
"Penjualan semen yang lemah akan berlanjut pada kuartal II 2019," kata Mimi dalam risetnya. Pada April, konsumsi semen domestik hanya mencapai 4,8 juta ton. Selain Pemilu, di kuartal II 2019 juga banyak hari libur sehingga harga saham emiten semen bakal tertekan. Ia memperkirakan pasar semen akan pulih pada semester II 2019 seiring membaiknya sektor properti dan penurunan suku bunga acuan.
(Baca: Bank Mandiri Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Tahun ini Bisa Capai 5,22%)