Pemerintah telah menyerahkan draf Omnibus Law tentang Cipta Kerja -sebelumnya bernama Cipta Lapangan Kerja- kepada DPR untuk dibahas. Dalam dokumen setebal 1.028 halaman itu, salah satu pasal yang jadi sorotan yaitu pemberian bonus hingga lima kali gaji.
Pemberian bonus tersebut diatur dalam Pasal 92 Bab IV tentang Ketenagakerjaan di draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa buruh akan diberikan penghargaan lain berdasarkan masa kerja.
Buruh yang memiliki masa kerja kurang dari tiga tahun akan diberikan penghargaan sebesar satu kali upah; masa kerja tiga hingga enam tahun sebanyak dua kali upah. Kemudian, masa kerja enam sampai sembilan tahun sebesar tiga kali upah; masa kerja sembilan hingga 12 tahun sebesar empat kali upah. Terakhir, masa kerja 12 tahun atau lebih sebesar lima kali gaji.
“Pemberian penghargaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan untuk satu kali dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku,” demikian tertulis pada Pasal 92 ayat 3.
Bagaimanapun, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melihat ketentuan tersebut hanya untuk menutupi pasal-pasal lain dalam Omnibus Law yang merugikan mereka.
"Yang dijual soal kompensasi. Seolah itu yang dibesarkan, tapi hal lain tertutupi. Itu semacam kampanye terselubung bahwa (Omnibus Law Cipta Kerja) itu baik, padahal esensinya sudah hilang," ujar Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI Kahar Cahyono ketika dihubungi Katadata.co.id, Jumat (14/2).
(Baca: Serikat Pekerja Media Sebut Omnibus Law Cipta Kerja Perbudak Buruh)
Kahar pun menyebut beberapa pasal yang dianggap merugikan buruh, salah satunya mengenai perubahan atas formula upah minimum. Yang mana, dalam draf RUU Cipta Kerja pasal 88C hanya dijelaskan soal penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP).
Padahal pada Pasal 89 Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada dua macam upah minimum yang ditetapkan, yakni UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Kahar mengatakan, besaran UMK biasanya lebih besar ketimbang UMP. Hal ini seperti terlihat di Jawa Barat dan beberapa kabupaten/kotanya, seperti Kabupaten Karawang, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi.
UMP di Jawa Barat pada 2020 hanya sebesar Rp 1,81 juta. Sedangkan UMK di Karawang sebesar Rp 4,59 juta, UMK di Kota Bekasi sebesar 4,58 juta, dan UMK di Kabupaten Bekasi sebesar Rp 4,49 juta. Berikut tabelnya:
Selain itu, formula yang dipakai untuk perhitungan upah minimum dalam Pasal 88D ayat (1) di Omnibus Law Cipta Kerja hanya berdasarkan kepada pertumbuhan ekonomi. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan, formula yang dipakai untuk menghitung upah minimum berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. "Karena hanya pertumbuhan ekonomi, kenaikan upah akan semakin kecil," kata Kahar.
Kahar pun menyoroti perubahan formula pesangon yang didapatkan buruh ketika terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam Pasal 156, dijelaskan bahwa buruh hanya mendapatkan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Sementara, uang penggantian hak diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Sedangkan, dalam pasal serupa di UU Nomor 13 Tahun 2003, buruh yang terkena PHK wajib mendapatkan ketiganya secara bersamaan. "Dulu (uang penggantian hak) melekat, jadi wajib. Ia sekarang diberikan berdasarkan peraturan perusahaan sehingga opsional," ujarnya.
(Baca: Hapus Upah Minimum Kota, Buruh Minta DPR Tak Loloskan Omnibus Law)
Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos juga menyatakan hal senada. Menurut Nining, pemberian bonus hingga lima kali gaji kepada buruh hanyalah janji manis pemerintah agar buruh mau menyepakati Omnibus Law Cipta Kerja.
Padahal, Nining menilai banyak pasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang merugikan buruh. Salah satu yang disoroti Nining terkait dihapuskannya persyaratan tentang perjanjian kerja untuk waktu tertentu dalam Pasal 59.
Menurut Nining, dihapuskannya pasal tersebut dapat membuat para pekerja outsourcing semakin rentan. "Kalau kemarin dibatasi oleh jenis pekerjaan dan lain-lain, sekarang tidak ada pembatasan itu," kata Nining.
Merugikan Pengusaha
Di pihak lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira merasa ketentuan pemberian bonus hingga lima kali gaji kepada buruh akan merugikan para pengusaha.
Tak semua pengusaha memiliki kemampuan yang sama untuk memberikan bonus tersebut, apalagi hingga lima kali gaji. "Pasal ini juga dinilai membuat ketidakpastian bagi pengusaha," kata dia.
Pengusaha pun menyampaikan langsung keluhan atas adanya ketentuan pemberian bonus hingga lima kali gaji kepada buruh. Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan pada semua sektor industri, terutama perhotelan.
Menurut Yusran, sektor perhotelan kerap menggantungkan bisnisnya secara musiman, terutama saat masa liburan. “Tidak bisa seperti ini dong, kami kan perusahaan musiman tidak bisa disamakan dengan industri. Itu yang sedang kami usulkan pemerintah harusnya memisahkan," kata Yusran di Jakarta, Rabu (12/2).
(Baca: Aturan Pesangon dalam Omnibus Law hingga 9 Bulan Gaji, Ini Hitungannya)
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan, tidak ada perlakuan khusus bagi sektor usaha tertentu dalam pemberian bonus. Namun, ia memastikan bahwa pemberian bonus hanya diberlakukan bagi perusahaan besar.
"Memang tidak berlaku bagi perusahaan kecil, mikro, dan menengah. Hanya berlaku untuk perusahaan besar," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (12/2) seperti dikutip Kompas.
Ida pun memastikan bahwa bonus yang akan diberikan nantinya berbeda dari tunjangan kinerja. " Ini manfaat baru yang diperkenalkan dari omnibus law," kata dia.
Menurutnya, bonus merupakan salah satu bentuk dari kompensasi yang diberikan terhadap perubahan skema besaran pembayaran pesangon pekerja. Nantinya pesangon tidak lagi dihitung maksimal 32 kali gaji.
"Pesangonnya tidak seperti UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tapi ada formula yang kita atur dengan jaminan kehilangan pekerjaan. Ada uang saku, ada vokasi, kemudian ada akses penempatan, kemudian nanti ada sweetener (bonus)," ujarnya.
Minim Keterlibatan Akademisi-Buruh
Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada Tadjudin Nur Effendi menilai banyaknya kritik terhadap ketentuan pemberian bonus dalam Omnibus Law Cipta Kerja membuktikan pemerintah tak memiliki pertimbangan matang ketika menyusunnya.
Menurut Tadjudin, hal itu terjadi karena penyusunan Omnibus Law Cipta Kerja tidak melibatkan banyak akademisi, khususnya di bidang ketenagakerjaan. Menurut Tadjudin, tim penyusun Omnibus Law Cipta Kerja itu lebih banyak didominasi unsur pemerintah dan pengusaha.
“Yang jadi penyusun tidak ada orang akademisi (di isu ketenagakerjaan). Seharusnya ada pertimbangan akademis. Jadi asumsi itu bukan dibangun berdasarkan intuisi semata,” kata Tadjudin.
(Baca: Lima Aturan Kontroversial dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja)
Tak hanya akademisi, serikat buruh pun mengaku tak banyak dilibatkan dalam proses penyusunan draf Omnibus Law Cipta Kerja. Kahar mengatakan, KSPI baru diminta untuk ikut terlibat dalam tim sinkronisasi Omnibus Law Cipta Kerja pada tahapan akhir penyusunan draf.
Tawaran itu pun ditolak karena dianggap sekadar formalitas untuk mendapatkan persetujuan dari elemen serikat buruh. “Sikap KSPI menolak. Ini harusnya (dilibatkan) dari awal penyusunan draf Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Kahar.
Nining pun menyebut KASBI tak pernah diajak ikut serta menyusun draf Omnibus Law Cipta Kerja. KASBI baru diajak terlibat saat draf Omnibus Law sudah diserahkan dan akan dibahas DPR.
Nining menilai sulit mengubah substansi dari rancangan Omnibus Law Cipta Kerja ketika pembahasannya sudah sampai di parlemen. Sebab, serikat buruh hanya akan dimintai pendapatnya lewat Rapat Dengar Pendapat Umum. “Jadi lebih baik hentikan saja pembahasannya di DPR,” kata Nining.