Obsesi Transisi Energi dan Banalitas Neoekstraktivisme di Pomalaa

Image title
Oleh B. Mario Yosryandi Sara
25 Juli 2025, 07:05
B. Mario Yosryandi Sara
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Sebagai salah satu episentrum industri nikel di Indonesia, Pomalaa (terletak di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara) yang luas wilayahnya 264,51 km2, berdiri di simpang jalan transisi energi global yang diklaim “berkelanjutan” dan “ramah lingkungan” tetapi terlihat krusial di kawasan ekstraksi. Inilah salah satu kontroversi dari ambisi neoliberalism yang diistilahkan “neoekstraktivisme”, di mana wilayah-wilayah yang kaya akan mineral seperti di Pomalaa, dipaksa mengeruk habis sumber dayanya demi memenuhi logika “dekarbonisasi” di pusat-pusat industri. 

Seperti dikemukakan Gudynas (2010) dan Svampa (2019), bahwa negara-negara di Dunia Selatan tidak benar-benar beranjak dari praktik penjarahan sumber daya, karena sekadar dikamuflase dengan terminologi dan logika “pembangunan berkelanjutan” (sustainability). Negara dan korporasi nasional hingga transnasional selalu mengklaim, apabila industri minerba; termasuk nikel, yaitu jembatan kemakmuran, solusi lapangan kerja, sekaligus katalisator pertumbuhan ekonomi lokal dan nasional. Namun, fakta di lapangan menegasikan, jika masyarakat Pomalaa kian terjebak konflik agraria, polusi udara, kelangkaan air bersih, hilangnya sumber penghidupan dan biodiversitas lokal, serta kesenjangan sosial yang akut.

Jeratan Neo-ekstraktivisme

Di Pomalaa, neoekstraktivisme mengamplifikasi secara nyata. Di sana terdapat pembangunan proyek fasilitas pengolahan bijih nikel (smelter) berteknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) milik PT Kolaka Nickel Indonesia (PT KNI). Perusahaan tersebut dikelola secara patungan (joint venture) antara mitra perusahaan asing seperti PT Vale Indonesia (INCO), konsorsium asal Tiongkok bernama Huayou Cobalt, serta produsen mobil asal Amerika Serikat; Ford Motors. Fasilitas smelter tersebut memiliki peran sentral mengamankan pasokan nikel untuk kebutuhan bahan baku kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dengan nilai investasi mencapai US$8,6-9 miliar atau sekitar Rp143 triliun.

Laju kerusakan lingkungan di Pomalaa meluas, terlebih pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberi izin usaha pertambangan (IUP) kepada swasta untuk beroperasi. Di balik keuntungan eksportir dan lonjakan saham perusahaan, alibi kesejahteraan yang digaungkan justru tidak sebanding dengan kerugian ekologis. Gudynas (2010) mengingatkan, model seperti ini bukan semata-semata akumulasi kapital raw materials, sebaliknya arsitektur hegemoni yang memadatkan klientelistik. Artinya, negara secara sadar melindungi izin operasi, menjamin keamanan investasi, dan pada saat bersamaan melemahkan konflik dan aksi-protes masyarakat dengan cara dibungkam oleh mekanisme konsesi lahan yang tidak transparan dan akuntabel.

Proyek smelter dan invasi pertambangan tersebut, sering dimaknai satu-satunya penyangga program hilirisasi dan downstream industry nasional. Meski realitas di kawasan produksinya, ambisi energi bersih manakala memperluas ruang perampasan sumber daya dengan dimensi degradasi ekologis yang dipikul sepenuhnya oleh masyarakat setempat. Sebagaimana dikemukakan Svampa (2019), neoekstraktivisme tidak lagi bergantung pada modal negara, tetapi turut didukung korporasi asing yang membentuk kontrol pada rantai pasok global. 

Nikel dari Pomalaa yang berakhir di pabrik baterai listrik di Tiongkok, Jepang, atau Korea Selatan; hingga menunjang kebutuhan produksi kendaraan listrik di Eropa dan Amerika Serikat, hanya meninggalkan jejak lumpur limbah di wilayah pesisir dan sungai-sungai, maupun cekungan galian di area perkebunan masyarakat setempat. Adapun aktivitas penambangan nyatanya mempercepat laju deforestasi di zona tangkapan air, memicu erosi yang parah, menurunkan kualitas air irigasi area persawahan dan perkebunan warga serta penurunan debit air bersih. Alhasil memaksa masyarakat membeli air atau mengandalkan sumur dangkal yang kualitasnya kian terancam limbah tailing.

Di kondisi yang berbeda, hasil investigasi Satya Bumi (2025) hakikatnya memperlihatkan sebuah paradoks penyerapan tenaga kerja lokal di proyek industri pertambangan di Pomalaa, malahan tidak berkelindan dengan hilangnya sumber produksi masyarakat. Mereka yang tadinya subsisten dengan hasil pertanian dan hasil laut, kini terdesak menjadi buruh tambang upahan yang rentan didiskriminasi, bergaji tidak layak, tanpa mendapat jaminan kerja yang layak dan jangka panjang. 

Dramaturgi tersebut mengkonfirmasi pandangan Bebbington (2012) yang menerangkan, konflik demikian tatakala lahir dari ketimpangan struktural di mana negara memiliki peran multifungsi sekaligus regulator dan promotor ekstraksi. Begitu juga dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), lembaga yang menilai stabilitas dan pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota dan mitra, bahkan meralat proyeksi pertumbuhan Indonesia menjadi 5,1% pada 2024 dan 5,2% pada 2025. Angka ini memang terdengar meyakinkan di ranah birokrasi, walaupun sebenarnya pertumbuhan tersebut berdiri di atas fondasi yang rapuh. 

Pertanyaannya kemudian, bukan berapa persen pertumbuhan PDB belaka, tetapi siapa yang diuntungkan, dan siapa yang akan memikul dosa ekologis dan disparitas sosial-ekonominya? Dari banyak kasus, klaim “hilirisasi nikel” sebaliknya melanggengkan ketergantungan pada surplus value tetap berpusat di rantai industri. Sementara risiko kerusakan lingkungan sepenuhnya dilimpahkan ke komunitas lokal. 

Dengan itu, perjuangan yang dibawa ke forum OECD, mesti dibaca sebagai gugatan politik atas relasi kuasa global. Sejatinya percepatan transisi energi tanpa pembongkaran logika ekstraksi kolonial, hanya akan menempatkan Indonesia pada situasi kelam; eksportir bahan mentah yang murah tidak proporsional dengan dimensi kerusakan alam.

Mengingat, secara regional hingga tahun 2024 di Kabupaten Kolaka, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 11,67% atau sekitar 33.200 jiwa. Meskipun Kolaka memiliki kelimpahan SDA, angka kemiskinan nyatanya masih menjadi tantangan. Jika ditarik dalam paradigma akumulasi kapital, dapat dijelaskan hak atas kepemilikan berubah seiring dengan proses akumulasi menjadi pengambilalihan terhadap hak milik orang lain, bagaimana pertukaran komoditas berubah menjadi eksploitasi, dan kesetaraan berubah menjadi kekuasaan kelas. 

Kerusakan yang Disubsidi Rakyat

Degradasi ekologis di Pomalaa tidak berhenti secara fisik, tapi berkelindan penuh ketegangan sosial yang intens. Ketika tanah masyarakat alih fungsikan menjadi kawasan pertambangan, relasi sosial warga ikut berubah. Contohnya muncul konflik horizontal akibat perebutan kompensasi lahan, saling curiga antarkeluarga, hingga kriminalisasi terhadap warga yang menolak menyerahkan tanahnya. Konflik-konflik seperti itu merupakan gejala khas ekstraktivisme di negara-negara selatan. 

Industrialisasi nikel tersebut diibaratkan lingkaran setan ketergantungan sekaligus mencerminkan kritikan Gudynas (2010), yang menyebutnya neoekstraktivisme sebagai bentuk “ketergantungan terbarukan”; mengganti satu krisis dengan krisis baru yang dikendalikan logika pasar. Dan yang perlu digaris bawahi, hakikatnya wujud transisi energi dan hilirisasi nikel tak lain merupakan keuntungan ekonomi yang hanya disuplai ke segelintir oligarki energi, sedangkan konjungtur keretakan ruang hidup dan kesenjangan didistribusikan untuk petani, nelayan, perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat. 

Kisah Pomalaa tak lain merupakan pengingat, sejatinya transisi energi yang diklaim berkelanjutan hari ini terlalu mudah dibajak menjadi “narasi kosong” jika hanya dijalankan dengan proyeksi ekspansi dan hilirisasi tiada batas. Selain itu, memperlihatkan bagaimana ambisi kendaraan listrik bebas emisi justru lahir dari jejak karbon, lumpur limbah, dan debu industri yang melekat di tengah penindasan. Agenda pembangunan berkelanjutan tidak cukup dimotori teknologi rendah karbon, melainkan harus disertai perlindungan atas lahan, jaminan hak masyarakat (adat), dan kontrol publik terhadap arah kebijakan transisi energi.

Pomalaa bukan hanya lokasi di peta industri pertambangan di Sulawesi Tenggara, lebih dari itu adalah wujud ketelanjangan dari banalitas transisi energi yang mengulangi dan kian mereproduksi “kejahatan struktural”, yakni mengorbankan dan mengekstraksi wilayah frontier demi menjamin rantai pasok bahan baku EV dan memperluas sirkulasi kapital di sektor industri ekstraktif. Di tengah sorak sorai “energi bersih”, dengung suara minor dari pinggiran ini justru dibungkam, diasingkan, atau dikerdilkan menjadi statistik pertumbuhan ekonomi yang semu.

Oleh karenanya, jika tidak ada pergeseran paradigma dari hasrat ekstraktif menuju model pembangunan berbasis lokalitas dan restorasi ekologis, maka transisi energi hanya akan mengganti sumber bahan baku dengan memperluas jurang kemiskinan dan kerusakan. Dengan demikian, tanpa ada deradikalisasi penguasaan sumber daya, perlindungan hak atas tanah, dan penguatan posisi hak masyarakat, produksi kendaraan listrik akan selalu menorehkan catatan merah di wilayah yang seharusnya diwariskan untuk lestari.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
B. Mario Yosryandi Sara
B. Mario Yosryandi Sara
Peneliti TIKAR Institute

Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo ini didukung oleh:

Logo Edisi Khusus Sumitro Djojohadikusumo

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...