Sistem Kesejahteraan dalam Mengelola Negara


Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang usia wakil presiden memantik keresahan akademisi dan tokoh masyarakat. Mereka menilai tonggak-tonggak penting keutuhan dan tujuan bernegara satu per satu digerus kepentingan politik. Hal ini terutama pada prinsip demokrasi, seperti penegakan hukum, pembuatan kebijakan yang berlandaskan kesejahteraan inklusif, partisipasi publik yang bermakna, serta kontrol terhadap kekuasaan.
Kekhawatiran rusaknya tonggak demokrasi ini dikaitkan dengan berbagai kasus kegagalan sistem akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara. Misalnya, jumlah kerugian negara akibat korupsi semakin menyesakkan. Sebagian besar kasus korupsi terkait pengelolaan sumber daya alam. Namun, ada juga yang terkait dengan perizinan, pengadaan barang di birokrasi, serta penegakan hukum.
Sakitnya sistem demokrasi juga ditunjukkan dengan munculnya berbagai (rancangan) undang-undang yang menimbulkan kontroversi. Situasi ini menunjukkan bahwa prosesnya tidak mendapat cukup legitimasi. Berbagai kasus di atas memunculkan apatisme dan kebingungan bagaimana memperbaiki kondisi kebangsaan. Mereka yang merasa prihatin itu sama sekali tidak memikirkan soal apakah Indonesia Emas 2045 akan tercapai.
Akademisi dan tokoh masyarakat menganggap tujuan itu terlalu banyak kontradiksi dan ketidakjelasan dalam basis pengorganisasian pembangunannya. Mereka lebih mengkhawatirkan apakah bangsa ini akan semakin mendalam jatuh dalam keterbelakangan, kemiskinan, dan akhirnya ketidakstabilan sosial.
Pandangan Atas Pokok Masalah
Sebagian pengeritik menilai pentingnya jaminan kebebasan ruang kritik dari berbagai organisasi nonpemerintah. Mereka melihat para pengambil kebijakan teralihkan pada kepentingan kelompok dan keselamatan posisi pribadi, bukan pada pertimbangan membangun sistem kesejahteraan. Termasuk tidak memercayai kebijakan bantuan sosial maupun yang dibungkus untuk penguatan ekonomi rakyat.
Hal ini semata karena kegiatan yang bersifat masif dilaksanakan secara kilat, tanpa melalui riset terstruktur dan akuntabel. Semua ini dinilai sebagai hilangnya teknokrasi dalam perencanaan pembangunan.
Teknokrasi adalah cara mengubah semua sistem kesejahteraan secara struktural. Ini artinya, bagi para pengeritik, ada keharusan meletakan pengambilan kebijakan berbasis bukti yang diberikan pihak-pihak yang kredibel seperti lembaga-lembaga riset dan universitas.
Singkatnya, kritik dari berbagai spektrum mulai selalu mengaitkan antara sistem demokratis dan pengelolaan kesejahteraan.
Demokrasi vs Akuntabilitas
Penulis menganggap bahwa bukan sistem demokrasi yang menjadi sentral pemikiran dalam suatu kehidupan berbangsa. Bagi penulis yang pokok adalah memahami bagaimana suatu sistem bekerja dengan baik untuk kesejahteraan.
Betul bahwa banyak prinsip dan mekanisme demokrasi yang bisa menjaga sistem dengan baik. Namun kita tidak harus memulainya dengan mencari kesempurnaan sistem demokrasi.
Penulis percaya, pemikiran tentang akuntabilitas bukan terletak pada model pemerintahan. Sebaliknya, akuntabilitas harus dibangun sejalan dengan modelnya. Intinya adalah bahwa akhir dari akuntabilitas adalah pertanggungjawaban (kesejahteraan) bagi pemimpin negara dan pejabat publik lainnya. Ada tiga pokok dari akuntabilitas, yakni:
- Bagaimana kredibilitas pemimpin politik? Baik dari segi mutu dan orientasinya.
- Apakah sistem akuntabilitas sejalan dengan risiko dari sumber daya yang akan diatur?
- Apakah rakyat memiliki ruang dan kemampuan menggunakan sistem akuntabilitas? Apakah mereka cukup memiliki independensi serta mampu menjadi pengelola sumber daya yang dimiliki suatu bangsa.?
Tiga Elemen Pokok
Pengambilan keputusan yang otoritatif dan absah
Pengambilan keputusan harus memiliki keduanya. Otoritatif menggambarkan soliditas negara berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Namun, otoritatif bukan segalanya. Hukum bisa dimanipulasi oleh kekuatan politik. Karena itu syarat legitimasi mutlak diperlukan.
Ini bukan semata prinsip demokrasi, artinya apakah prosesnya melalui partisipasi yang luas. Namun dalam banyak konteks, politisi dan pejabat publik tidak bisa diserahkan kewenangan sendirian dalam pengambil keputusan.
Struktur organisasi birokrasi pada umumnya mempunyai keterbatasan dalam merefleksikan persoalan-persoalan sistem, belum lagi masuknya kepentingan politik kelompok.
Keputusan yang absah adalah keputusan yang bisa diterima rasionalitasnya oleh publik. Sekali lagi ini soal rasionalitas, bukan karena sihir kebijakan populisme. Karena itu sangat penting bahwa pemerintah dan pejabat publik harus mengandalkan pada lembaga/organisasi yang memang fungsi dan cara kerjanya adalah menganalisa persoalan kemasyarakatan. Universitas dan lembaga riset arus diberi ruang dan sumber daya. Ini sebenarnya sudah kredo pembangunan di dunia internasional.
Lembaga fungsi korektif cepat
Jika kita bicara sistem, kita harus meletakkannya dalam kerangka ekosistem. Negara berada pada tingkat pengambilan keputusan yang membutuhkan deliberasi lebih panjang. Namun sistem membutuhkan mekanisme koreksi dengan lebih cepat. Bentuk yang penting adalah komisi-komisi negara yang tidak di bawah pemerintah. Komisi-komisi ini menangani persoalan spesifik seperti korupsi, hak asasi manusia, dan pelanggaran administrasi.
Fungsi komisi-komisi ini bukan hanya mengoreksi agar sistem tidak menjadi rusak. Komisi ini juga menjadi wilayah deliberasi untuk mengusulkan bagaimana perbaikan sistem kenegaraaan. Selain itu fungsinya adalah menjaga legitimasi dari publik terhadap pemerintah dan pejabat publik.
Tidak perlu dikatakan lagi, komisi-komisi ini harus diberi ruang luas dan sumber daya yang memadai. Dengan cara ini komisi-komisi mengembangkan kemampuannya, termasuk berinteraksi dengan masyarakat. Pemerintah maupun para politisi yang mengkerdilkan komisi-komisi ini patut dicurigai kredibilitas intelektual dan motif politiknya.
Kapasitas organisasi masyarakat
Menciptakan kesejahteraan jelas utamanya tugas negara. Namun jika ini diartikan sebagai negara menjadi mesin besar kesejahteraan, ini sangat keliru karena tidak mungkin sistem bekerja demikian. Apalagi negara kompleks dan beragam seperti Indonesia. Maka kekuatan perubahan harus dibangun di tingkat organisasi masyarakat.
Dari sisi negara, pemerintah harus melindungi organisasi ini bekerja secara sehat. Dan menjalankan politik warga negara yang diukur dari seberapa jauh organisasi masyarakat diperkuat oleh kebijakan negara. Pemerintah harus mampu memahami keragaman kemampuan mereka, bukan malah mencekiknya dengan tuntutan-tuntutan administratif tanpa rasional.
Organisasi masyarakat harus punya ruang dan kemampuan reflektif juga. Ini juga merupakan tanggung jawab organisasi kemasyarakatan untuk terus memperbaiki diri sesuai dengan kapasitasnya. Merekalah yang secara spesifik menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan.
Lebih dari itu, fungsi organisasi nonpemerintah menghasilkan norma-norma baru yang lebih relevan. Sebagian, bagi yang mempunyai kapasitas, akan mengkomunikasikannya pada lembaga publik, atau yang ada di publik seperti komunitas bisnis.
Singkatnya, mengelola negara adalah persoalan pembangun nilai publik (public value) dan kapasitas pengorganisasiannya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.