Pembangunan Tanpa Pengendalian: Reposisi Peran Bappenas

Badrul Arifin
Oleh Badrul Arifin
15 Juli 2025, 06:05
Badrul Arifin
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Saya pernah bekerja selama setahun sebagai tenaga kontrak di Kementerian PPN/Bappenas. Pengalaman itu membuka mata saya: Bappenas adalah institusi yang dipenuhi SDM brilian, namun sering tak bertaji dalam mengawal rencana besar pembangunan nasional. Di tengah rapat antar-kementerian, bahkan dalam forum strategis sekalipun, suara Bappenas kerap kalah nyaring dibanding K/L sektoral yang memiliki kuasa fiskal atau pengaruh politik lebih besar. 

Saya menyaksikan sendiri bagaimana fungsi pengendalian yang seharusnya menjadi senjata utama Bappenas justru sering tak mampu menahan deviasi program dari kementerian lain. Masalah ini bukan karena kurangnya kapasitas, tetapi karena lemahnya posisi struktural dan dukungan politik.

Mengapa Hal Ini Terjadi?

Dalam sistem pembangunan nasional kita, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memegang peran strategis sebagai arsitek pembangunan. Lewat UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), Bappenas diberi mandat bukan hanya untuk merancang, tetapi juga mengendalikan dan mengevaluasi pelaksanaan pembangunan agar tetap berada dalam koridor visi dan misi Presiden. Namun dalam praktiknya, fungsi pengendalian ini kerap tidak efektif, bahkan kehilangan daya paksa terhadap kementerian/lembaga (K/L).

Setiap kali presiden terpilih, Bappenas menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebagai penjabaran teknokratik dari visi dan misinya. Dokumen ini seharusnya menjadi rujukan utama semua K/L dalam menyusun rencana strategis dan rencana kerja tahunan. Tapi faktanya, banyak program yang dijalankan K/L justru tidak linear dengan prioritas nasional.

Fragmentasi kelembagaan dan minimnya insentif untuk patuh terhadap RPJMN membuat kementerian cenderung menjalankan agenda sektoralnya masing-masing. Dalam proses penyusunan anggaran, misalnya, K/L sering kali lebih responsif terhadap Kementerian Keuangan—yang memegang dompet negara—ketimbang terhadap Bappenas yang dianggap hanya sebagai “pengarah teknis”.

Akibatnya, kita menyaksikan pembangunan nasional berjalan seperti orkestra tanpa konduktor. Ada yang terlalu cepat, ada yang lambat, dan banyak yang tak mengikuti partitur.

Masalah efektivitas pengendalian pembangunan tidak semata menyangkut ketidakpatuhan K/L, tetapi juga berkaitan dengan ketimpangan struktur kewenangan dan kelemahan daya dukung kelembagaan Bappenas itu sendiri. UU No 25 Tahun 2004 memang memberikan mandat pengendalian pembangunan, namun mandat ini seperti pedang tumpul tanpa sarung, karena Bappenas tidak dilengkapi dengan instrumen koersif untuk memastikan arah pembangunan berjalan sesuai rencana.

Bappenas tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada K/L yang menyimpang dari RPJMN, tidak bisa menahan program yang tidak inline dengan prioritas nasional, dan tidak memiliki otoritas akhir dalam penetapan alokasi anggaran. Evaluasi pembangunan yang dilakukan pun acap kali tidak mengarah pada koreksi nyata, tetapi sekadar menjadi laporan administratif tahunan.

Kondisi ini sangat kontras dengan posisi Bappenas di masa Orde Baru. Saat itu, Bappenas merupakan pusat kendali pembangunan nasional yang sangat kuat, baik secara kelembagaan maupun politik. Presiden Soeharto menjabat langsung sebagai Ketua Bappenas (secara ex officio), dan Menteri/Kepala Bappenas menjadi tokoh sentral dalam mengendalikan seluruh perencanaan, pelaksanaan, dan penganggaran pembangunan. 

Tidak hanya menyusun, Bappenas juga memegang kuasa untuk menyaring dan mengarahkan project pipeline, termasuk proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Kementerian tidak bisa menjalankan program besar tanpa persetujuan dari Bappenas.

Sebaliknya, Bappenas hari ini lebih menyerupai think tank pemerintah—menyusun rencana teknokratis, tetapi tidak memiliki daya paksa dalam implementasi. Bahkan secara politik anggaran, daya tawar Bappenas kian melemah. Indikator paling nyata adalah drastisnya penurunan pagu indikatif anggaran Bappenas dalam Pembicaraan Pendahuluan RAPBN Tahun 2026 yang hanya dialokasikan sebesar Rp764,48 miliar, turun drastis dari kisaran Rp1,5 hingga Rp2 triliun pada tahun-tahun sebelumnya.

Penurunan drastis ini bukan sekadar soal nominal anggaran, tetapi mencerminkan melemahnya komitmen fiskal dan politik terhadap fungsi perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional. Bagaimana mungkin Bappenas bisa menjalankan fungsi koordinasi, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi lintas sektor dengan anggaran yang begitu terbatas? Sementara target RPJMN kian ambisius dan tantangan pembangunan makin kompleks.

Dari posisi sebagai “arsitek sekaligus mandor pembangunan”, Bappenas hari ini makin terpinggirkan menjadi “arsitek tanpa tukang”—membuat desain, tetapi tak punya kuasa memastikan bangunan berdiri sesuai rencana.

Waktunya Memperkuat Peran Bappenas

Salah satu ruang strategis yang belum dioptimalkan adalah Trilateral Meeting—forum tahunan antara Bappenas, Kemenkeu, dan K/L dalam menyusun program dan anggaran. Selama ini, trilateral hanya menjadi forum teknis untuk menyinkronkan kegiatan dan anggaran. Padahal, forum ini bisa dikembangkan menjadi mekanisme pengendalian kinerja pembangunan yang lebih konkret.

Trilateral seharusnya menjadi ruang untuk menguji sejauh mana program K/L selaras dengan RPJMN, mengaitkan indikator kinerja dengan alokasi anggaran, dan menyepakati target pembangunan yang terukur. Bahkan, hasil trilateral bisa dijadikan dokumen pengikat yang mengatur akuntabilitas K/L terhadap pelaksanaan program prioritas nasional. Jika target tidak tercapai, maka konsekuensinya dapat berupa pengurangan anggaran tahun berikutnya.

Jika pemerintah sungguh ingin memastikan bahwa pembangunan nasional berjalan sesuai arah strategis yang telah ditetapkan, maka sudah saatnya peran Bappenas diperkuat secara kelembagaan, fungsional, dan politik. Tidak cukup menjadikan Bappenas sebagai perancang rencana teknokratis, ia harus diberi kuasa nyata untuk mengawal implementasinya.

Pertama, Bappenas perlu diberi otoritas formal untuk menolak program kementerian/lembaga yang terbukti menyimpang dari RPJMN. Tanpa kuasa menegakkan disiplin rencana, Bappenas hanya akan jadi penonton dari parade ego sektoral. Kedua, perlu dikembangkan sistem monitoring dan evaluasi digital secara real-time yang tidak hanya mengukur serapan anggaran, tetapi juga capaian kinerja dan dampaknya terhadap target pembangunan nasional.

Ketiga, mekanisme insentif dan sanksi anggaran bagi K/L harus diberlakukan berdasarkan capaian target prioritas. Ini akan menciptakan ekosistem kerja pemerintah yang berbasis kinerja, bukan sekadar rutinitas birokrasi. Keempat—yang paling menentukan—adalah dukungan politik langsung dari Presiden. Tanpa sinyal tegas dari kepala negara, Bappenas akan tetap dipandang sebelah mata oleh kementerian sektoral yang lebih dulu menjalin hubungan transaksional dengan pengelola fiskal atau legislatif.

Indonesia tidak kekurangan rencana. Setiap lima tahun kita memiliki RPJMN, lengkap dengan indikator, prioritas, dan peta jalan. Namun rencana tanpa pengendali yang berkuasa hanyalah dokumen tanpa nyawa. Yang kita butuhkan hari ini adalah pengarah pembangunan yang bukan hanya tahu ke mana harus pergi, tetapi juga mampu memastikan seluruh mesin negara bergerak ke arah yang sama. 

Tanpa pengendali yang kuat, pembangunan hanya akan jadi irama gaduh tanpa melodi—bergerak ke segala arah, tapi tak pernah sampai ke tujuan. Dan visi Presiden, alih-alih menjadi kenyataan, akan tinggal sebagai janji yang terjebak di lembar rencana.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Badrul Arifin
Badrul Arifin
Tenaga Ahli di DPR RI

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...