Mato: Warisan Lokal bagi Reformasi Sistem Ketenagakerjaan Islami


Di tengah meningkatnya kesenjangan pendapatan dan menurunnya kualitas hubungan kerja, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun sistem ketenagakerjaan yang adil dan produktif. Ketergantungan pada pola kerja konvensional, yang berbasis upah tetap, relasi hierarkis, dan orientasi jangka pendek, semakin dipertanyakan efektivitasnya di tengah era disrupsi dan ketidakpastian. Dalam pencarian model yang lebih berkelanjutan, sistem “Mato” (praktik bagi hasil tradisional di rumah makan Padang) menawarkan inspirasi yang tidak hanya relevan, tetapi juga sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Mato adalah sistem pembagian laba berdasarkan skor kontribusi kerja (mato) yang diterapkan secara turun-temurun oleh perantau Minangkabau. Dalam sistem ini, keuntungan usaha dibagi setiap tiga bulan kepada para pekerja berdasarkan poin yang mencerminkan posisi, tanggung jawab, dan kinerja mereka. Tidak ada gaji tetap. Pekerja memperoleh bagian laba berdasarkan hasil kerja, bukan lamanya jam kerja.
Konteks Ketimpangan dan Pasar Kerja Informal
Menurut data ILO (2025), lebih dari 60% tenaga kerja Indonesia berada dalam sektor informal, tanpa jaminan sosial dan kepastian penghasilan. Ketimpangan upah antara manajer dan pekerja kasar semakin lebar. Dalam sistem ketenagakerjaan seperti ini, produktivitas tidak selalu berbanding lurus dengan imbalan kerja, sehingga menimbulkan frustasi dan rendahnya loyalitas.
Di sinilah Mato menjadi alternatif segar. Ia menempatkan pekerja sebagai mitra usaha, bukan buruh upahan. Relasi antara pemilik modal dan pekerja lebih bersifat kolegial ketimbang instruksional. Semua orang mendapat bagian sesuai kontribusinya, tanpa diskriminasi status. Bahkan, dalam praktiknya, jika usaha rugi, pemodal menanggung porsi kerugian lebih besar, mirip prinsip mudarabah dalam ekonomi Islam.
Lebih dari Bagi Hasil: Etika Kerja Islami dalam Praktik Nyata
Sistem Mato mencerminkan etika kerja Islami secara nyata. Nilai amanah (kepercayaan), musyawarah (kesepakatan bersama), dan keadilan distributif hadir dalam mekanisme sehari-hari. Tidak ada kontrak kerja tertulis, tetapi ada kepastian: setiap pekerja tahu berapa skor kerjanya dan kapan keuntungan akan dibagi.
Model ini mendorong etos kerja yang tinggi. Karena penghasilan langsung bergantung pada performa usaha, para pekerja terdorong untuk bekerja lebih giat, disiplin, dan efisien. Bahkan, banyak di antara mereka yang kemudian dipercaya membuka cabang baru bersama pemodal. Hal ini berbuah terjadinya regenerasi wirausaha secara organik, berbasis kontribusi dan rekam jejak, bukan sekadar modal finansial.
Sistem ini juga mengandung aspek barakah: usaha dijalankan secara halal, zakat 2,5% dari laba kotor dibayarkan sebelum pembagian, dan tidak ada unsur eksploitasi. Dalam beberapa kasus, pemilik usaha menanggung makan harian pekerja dan kebutuhan dasar lainnya, inilah suatu bentuk tanggung jawab sosial yang sering hilang dalam model kapitalistik.
Keselarasan dengan Prinsip Mudarabah dan Musyarakah
Secara substantif, Mato menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam akad mudarabah dan musyarakah dalam Islam. Dalam mudarabah, pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib) berbagi keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati. Kerugian ditanggung pemodal, selama tidak ada kelalaian dari pengelola. Dalam musyarakah, dua pihak menyumbang modal dan tenaga, dan menanggung untung-rugi bersama.
Mato memiliki ciri yang unik: meski tidak menggunakan istilah syariah, praktiknya sangat dekat dengan akad tersebut. Semua pekerja menyumbang tenaga, dan pemilik modal menyumbang dana. Laba dibagi berdasarkan kesepakatan dan kontribusi. Risiko ditanggung proporsional. Bahkan, tidak ada unsur riba, spekulasi, atau ketidakjelasan (gharar). Ini menjadikan Mato sebagai bentuk aplikasi ekonomi Islam berbasis kearifan lokal.
Potensi Replikasi dan Penerapan Skala Luas
Pertanyaannya, bisakah sistem ini diterapkan di luar konteks rumah makan Padang?
Jawabannya: sangat mungkin. Prinsip-prinsip Mato bersifat universal, dimana transparansi, kontribusi kinerja, bagi hasil, dan kemitraan menjadi nafas dari prinsip Mato. Model serupa dapat diadopsi dalam berbagai sektor, seperti sektor FnB mikro, pertanian, manufaktur mikro, atau usaha ritel komunitas. Bahkan koperasi pekerja dapat menggunakan sistem poin seperti Mato untuk membagi laba secara adil. Ini adalah sistem meritokrasi yang berakar pada nilai Islam dan budaya.
Tentu, penyesuaian diperlukan. Dalam skala industri besar, kontrak kerja dan jaminan sosial tetap penting. Namun, skema insentif berbasis bagi hasil seperti Mato dapat disisipkan dalam sistem penggajian sebagai performance bonus. Kombinasi upah dasar dan komponen variabel yang transparan akan meningkatkan motivasi tanpa menabrak regulasi ketenagakerjaan formal.
Menutup dengan Refleksi: Membangun dari Akar Sendiri
Mato adalah bukti bahwa keadilan ekonomi tidak harus lahir dari teori besar atau kebijakan pusat. Ia bisa tumbuh dari dapur sederhana, dari budaya berbagi di antara para perantau, dari etos kerja Islam yang dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Dalam masa ketika banyak orang merasa kehilangan makna dalam bekerja, sistem seperti Mato menawarkan harapan: bahwa pekerjaan bukan hanya soal upah, tapi soal kontribusi, martabat, dan kebersamaan.
Daripada terus meniru sistem manajemen asing, mungkin sudah waktunya kita kembali melihat apa yang dimiliki sendiri. Dari rumah makan sederhana, lahirlah gagasan besar tentang keadilan, produktivitas, dan keberkahan. Itulah kekuatan sistem Mato dan saatnya kita mengangkatnya menjadi model nasional.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.