Dedi Mulyadi dan Demokrasi Kita


Dedi Mulyadi menjadi sosok pemimpin masyhur belakangan ini. Gubernur Jawa Barat (Jabar) tersebut kerap dipanggil “Demul” oleh awak media dan diberi gelar “Bapak Aing” (baca: Bapak Saya) oleh masyarakat Jawa Barat. Demul merupakan akronim namanya: Dedi dan Mulyadi. Sementara lakab Bapak Aing sebagai kedekatannya dengan masyarakat Jabar berkultur sunda. Konon, Egi, salah satu anak angkat Demul, menjadi orang pertama yang mempopulerkan lakab tersebut.
Munculnya Demul dalam banyak pemberitaan nasional memang tidak terlepas dari kebiasaannya mengunggah segala aktivitas kepemimpinannya di akun YouTube yang dibuat sejak 17 November 2017. Popularitas Demul terbantu lewat berbagai video viral di YouTube hingga membantunya memenangi kontestasi Pilgub Jabar tahun lalu.
Terlepas dari berbagai pro-kontra atas kebijakan yang diambilnya, gaya kepemimpinan Demul yang kerap menayangkan video aktivitas keseharian saat memimpin Jabar, patut diapresiasi. Paling tidak, meski tersirat dugaan bahwa Demul mengkapitalisasi simpati rakyat lewat platform digital tersebut, video-video Demul telah berhasil menarik minat masyarakat untuk terlibat dalam diskursus kebijakan publik. Kini, masyarakat kelas bawah sekali pun ramai-ramai ikut dan berani membicarakan huru hara politik secara terbuka, yang biasanya hanya menjadi perbincangan eksklusif para elite. Bahkan, tak sedikit di antara mereka terlibat adu-debat langsung dengan Demul atas kebijakan tertentu.
Riuh pro-kontra akibat wacana yang diproduksi melalui diseminasi video Demul faktanya baik bagi perkembangan demokrasi kita. Sebab, lewat video yang ditonton, masyarakat dapat menilai secara langsung langkah yang diambil oleh pemimpinnya di tengah gempuran apatisme mereka terhadap politik yang dipandang kotor dan tak pernah memihak. Toh, Demul, tidak segan-segan untuk menayangkan perdebatannya yang sengit dengan siapa pun. Termasuk dengan seorang pelajar soal penghapusan kebijakan perpisahan sekolah. Langkah ini penting sebagai proses pematangan cara berdemokrasi kita yang biasanya terhenti pasca pesta seremonial pemilu.
Demul sebagai Pembanding
Dengan melihat berbagai aksi politik yang Demul suguhkan, rakyat Jabar, bahkan di luar Jabar, setidaknya mendapatkan gambaran atas kebijakan yang ia inisiasi dan yang pernah diinisiasi oleh para pemimpin politik lintas waktu dan daerah. Dampaknya, tidak sedikit masyarakat Jabar yang mulai membandingkan kinerja Demul dengan Gubernur Jabar sebelumnya, Ridwan Kamil. Banyak juga masyarakat di luar Jabar yang mulai membandingkan sosok Demul dengan pemimpin mereka di daerah masing-masing.
Proses pembandingan antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lain begitu esensial di alam demokrasi. Sebab, selain memvisualisasikan sejauh mana kinerja yang ditampakkan, proses pembandingan juga memberikan tekanan terhadap pemimpin lainnya yang tidak bekerja sesuai ekspektasi masyarakat.
Pembandingan yang dilakukan publik akan menghasilkan semacam tekanan kompetisi yang sehat bagi para pemimpin daerah lainnya yang biasa bekerja dalam senyap. Senyap yang memang benar-benar senyap tanpa kebijakan berdampak apa pun bagi masyarakat. Pemimpin yang biasa muncul di masa pemilihan namun raib setelah pelantikan.
Riuh komentar yang memenuhi ruang pemberitaan dan komentar “yang membanding-bandingkan” itu akhirnya akan menjadi pemicu para pemimpin lainnya untuk bekerja dan berupaya mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat lewat standar minimal pemimpin ideal yang mereka tetapkan. Dan harus diakui, bahwa fenomena Demul saat ini, menjadi semacam ikon politik penting sebab ia menjadi standar minimal pemimpin acuan yang diharapkan oleh masyarakat kebanyakan.
Bahkan, dalam beberapa kasus, banyak masyarakat di daerah lain mendambakan sosok Demul untuk hadir di tengah-tengah mereka. Sikap tegas, cepat tanggap, dan kedekatannya terhadap masyarakat yang tanpa tedeng aling-aling merupakan imajinasi pemimpin merakyat yang rakyat dambakan. Banyak kalangan menunjuk kebangkitan politik Demul sebagai reinkarnasi sosok Jokowi di masa lalu.
Namun, popularitas Demul yang luar biasa itu bukan tanpa efek negatif sama sekali. Proses kebangkitan popularitas Demul, sebagaimana kemunculan pemimpin populer lainnya, pasti akan melahirkan fanatisme publik. Imbas ini harus diwaspadai sebab rasa fanatik berlebihan selain akan membawa dampak jumawa terhadap pemimpin yang diidolakan, juga akan mengikis kritisisme publik.
Publik harus dicerahkan untuk tidak mengidolakan figur. Namun, sebaliknya, mengapresiasi kebijakan yang diimplementasikan. Dalam demokrasi yang sehat, figur tidak lebih dari sekadar instrumen. Sementara esensi terpenting dari proses berdemokrasi terletak pada preferensi publik terhadap kebijakan yang diambil, bukan penyembahan atas sosok tertentu.
Apresiasi Demul Soal Lingkungan
Dari ragam hiruk pikuk yang mewarnai sepak terjang politik Demul sejauh ini, satu hal yang bagi saya perlu diapresiasi adalah soal kepeduliannya terhadap lingkungan. Pada awal jabatannya sebagai gubernur, banyak sekali terobosan yang ia lakukan guna mengembalikan fungsi alam ke tempat semestinya.
Pendekatannya yang holistik terhadap bencana banjir yang menimpa Jawa Barat pada musim penghujan beberapa waktu lalu menampakkan kecenderungannya yang pro terhadap fungsi hakiki lingkungan hidup. Demul tegas mengembalikan fungsi sungai di daerah Bekasi lewat revitalisasi dan pembongkaran bangunan yang menghalangi laju jalur air. Ia juga bersikeras untuk mengembalikan fungsi hutan di wilayah Puncak Bogor melalui proses reboisasi dan pembongkaran bangunan wisata. Terbaru, dirinya tak segan menghentikan izin pertambangan batu di wilayah Gunung Kuda, Cirebon.
Memperbaiki jalur sungai dan mengembalikan fungsi hutan dan gunung sebagai penampung air di bagian hulu merupakan solusi konkret untuk meminimalisir bencana banjir dan longsor.
Selain itu, Demul juga memberikan penghormatan yang besar terhadap cara hidup suku adat. Ia terang-terangan memberikan rasa salutnya terhadap Suku Baduy yang mampu mengimplementasikan ketahanan pangan melalui “Sistem Leuit.” Sistem ini sederhananya menaruh hasil panen beras di gudang-gudang penyimpanan dan menggunakannya sesuai kebutuhan hingga bisa diwariskan turun temurun. Cara ini penting untuk diimplementasikan sebab negara-negara yang mampu bertahan dalam pangan menurutnya adalah negara-negara yang memiliki sistem pengelolaan penyimpanan yang baik.
Di samping itu, Demul juga sukses mengubah rumah tinggal yang ia tempati, Lembur Pakuan, menjadi destinasi wisata baru yang mengkombinasikan unsur keasrian alam dan kebersihan lingkungan desa. Semuanya adalah bukti kecil kecintaannya terhadap lingkungan hidup.
Di tengah gempuran hilirisasi, kemunculan sosok pemimpin pro lingkungan seperti Demul memang amat dinantikan. Jangan sampai para pemimpin daerah hanya diam atau malah menjadi makelar proyek tak berkelanjutan para pengusaha besar yang seringkali memberikan dampak kerusakan luar biasa bagi masyarakat sekitar.
Namun, sekali lagi, dari seluruh dinamika yang mewarnai perjalanan politiknya, yang saya apresiasi dari Demul adalah kebijakannya soal lingkungan. Bukan sosok Demul secara personal.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.