Tanggung Jawab Industri Tidak Sekadar Sampah


Pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2025, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol menyatakan pemerintah akan mewajibkan seluruh industri menerapkan Extended Producer Responsibility (EPR). Ini adalah langkah penting, karena EPR merupakan kebijakan yang mewajibkan produsen bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah produk mereka setelah produk itu dibuang oleh konsumen.
Namun, kita perlu bertanya lebih jauh: Apakah EPR cukup? Apakah EPR bisa menjadi jawaban tunggal atas krisis sampah yang kita hadapi, terutama ketika industri penyumbang limbah terbesar seperti industri rokok belum menunjukkan komitmen nyata?
Sampah Plastik dan EPR
Data BPS menunjukkan, 14% sampah yang dihasilkan Indonesia adalah plastik. Ada 182,7 miliar kantong plastik yang digunakan di Indonesia setiap tahunnya.
Barang yang merupakan olahan minyak bumi ini merupakan sampah yang tidak dapat menyatu kembali dengan lingkungan. Plastik hanya terurai menjadi partikel plastik kecil atau yang biasa dikenal sebagai mikroplastik.
Keberadaannya telah terbukti dapat menyebabkan kanker dan berbagai penyakit bagi manusia. Hal itu disebabkan karena mikroplastik ditemukan pada tumbuhan dengan tanah tercemar; ikan dengan lautan yang tercemar plastik, yang kemudian dikonsumsi oleh manusia.
Berbagai inisiatif masyarakat telah muncul sebagai respons, seperti #GerakanGunaUlangJakarta yang mendorong penggunaan wadah pakai ulang, atau aksi-aksi pemungutan sampah oleh warga di Sungai Ciliwung, Brantas, Musi, hingga pantai-pantai di Bali. Salah satunya, Sungai Watch, mencatat telah mengumpulkan 1.300 ton sampah plastik sejak 2022. Tapi kerja keras masyarakat ini tak sebanding dengan daya rusak industri yang terus-menerus memproduksi plastik sekali pakai tanpa kendali.
Kita tak bisa terus mengepel lantai jika kerannya bocor. Akan sia-sia jika sumber masalahnya tidak ditutup. Sebagus apapun aksi masyarakat sipil, tidak akan cukup jika produsen dan pemerintah tidak turut memikul tanggung jawabnya.
Rokok: Masalah Lingkungan yang Sering Diabaikan
Ironisnya, jenis sampah yang paling banyak ditemukan dalam aksi bersih-bersih global, menurut International Coastal Cleanup, adalah puntung rokok. Dalam satu tahun, hampir 2 juta puntung ditemukan secara global.
Di Indonesia, produksi rokok mencapai 318 miliar batang per tahun. Hampir seluruhnya menggunakan filter berbahan plastik (selulosa asetat) yang tidak mudah terurai, serta mengandung logam berat yang mencemari air dan tanah. Filter rokok mengandung plastik dan bahan toksik yang tidak hanya sulit diurai, tapi juga berpotensi mencemari lingkungan secara luas. Pengelolaan sampahnya tidak cukup hanya mengandalkan program pembersihan dan daur ulang.
Indonesia mewujudkan EPR dalam bentuk Permen LHK No 75/2019 (P.75) yang mewajibkan produsen termasuk industri rokok untuk menyusun peta jalan pengurangan sampah. Di Prancis dan Spanyol, skema EPR mewajibkan industri rokok membayar hingga 80 juta euro untuk mendanai pembersihan puntung, pengadaan tempat sampah khusus, dan kampanye edukasi. Apakah Indonesia siap menuntut komitmen serupa?
EPR Tidak Boleh Menjadi Alat Cuci Tangan
Konsep EPR sudah ada sejak lama. Pertama kali dikemukakan di Eropa akibat jumlah sampah yang semakin banyak, dan dibumikan pertama kali oleh Swedia pada 1990. Awalnya, hanya produsen limbah kemasan, elektronik, dan baterai yang bertanggung jawab atas produk yang mereka jual dari produksi hingga menjadi sampah. Seiring perkembangannya, Uni Eropa mengatur industri otomotif, kemasan plastik sekali pakai, hingga industri rokok untuk bertanggung jawab.
Dalam konteks rokok, ada bahaya besar ketika kita hanya berfokus pada limbahnya. Rokok adalah produk yang sejak awal memang membahayakan. Bukan hanya karena sampahnya, tetapi karena substansi dan tujuannya: membuat orang kecanduan, sakit, bahkan meninggal.
Industri rokok bisa saja patuh pada EPR, membangun fasilitas pengelolaan puntung, atau mendanai kampanye bersih-bersih. Tapi itu tidak cukup selama mereka tetap memproduksi dan memasarkan produk berbahaya ini secara masif, terutama ke anak-anak dan orang muda. Maka tanggung jawab mereka tidak berhenti di tempat sampah.
Upaya Preventif Bukanlah Solusi Semu
Masalah lingkungan tidak bisa hanya ditangani secara kuratif. EPR idealnya adalah solusi hulu ke hilir. Peta jalan yang di maksud oleh P.75 mencakup bagaimana industri dapat mengurangi produksi sampahnya.
Beralihnya industri rokok konvensional kepada rokok elektronik seyogyanya adalah cara mengurangi sampah puntung. Tapi ironinya, hal tersebut justru lebih membahayakan karena sampah rokok elektronik sudah jelas membahayakan lingkungan dan tentunya kesehatan. Kepentingan EPR untuk mengatur dan menggeser pola konsumsi tidak dapat diterapkan oleh industri rokok yang menjual kesakitan dikemas candu.
Pengendalian konsumsi merupakan agenda kesehatan masyarakat yang mutlak. Upaya mendorong regulasi larangan iklan, promosi, sponsor (TAPS) yang kuat, implementasi kawasan tanpa rokok yang menyeluruh, larangan penjualan rokok batangan, dan membuat harga rokok semakin mahal, utamanya bagi anak-anak dan orang muda, sudah terbukti dapat menurunkan konsumsi rokok.
Gerakan pengendalian produk tembakau secara global telah memperlihatkan bahwa pendekatan preventif, seperti pelabelan peringatan kesehatan, standardisasi kemasan rokok, larangan rasa dalam rokok, dan regulasi rokok elektronik, jauh lebih hemat biaya dan efektif menyelamatkan nyawa.
Konferensi Dunia tentang Pengendalian Produk Tembakau atau World Conference on Tobacco Control (WCTC) 2025 yang akan diselenggarakan di Dublin pada 23–25 Juni mendatang adalah momentum penting untuk mengingatkan dunia, termasuk Indonesia, bahwa pengendalian produk tembakau adalah kebijakan kesehatan yang akan menguntungkan lingkungan sekaligus.
WCTC 2025 juga menjadi panggung kolaborasi global untuk memperkuat advokasi preventif, yang menempatkan pengurangan konsumsi sebagai prioritas utama agar tidak hanya memperbaiki dampak lingkungan, tapi juga menyelamatkan jutaan nyawa dari penyakit yang bisa dicegah. Industri rokok bisa saja memoles citra mereka melalui kepatuhan pada EPR, namun publik harus tetap waspada.
Tanggung jawab lingkungan bukan sekadar urusan pengelolaan puntung, tetapi juga soal menghentikan produk zat adiktif yang beracun itu sendiri. Maka dorongan kebijakan pemerintah perlu diperkuat agar tidak berhenti di EPR, tetapi menegakkan kebijakan pengendalian konsumsi rokok secara menyeluruh.
Di tengah krisis iklim dan kesehatan global, langkah paling bijak adalah mengevaluasi dan mengurangi konsumsi produk yang berlebihan termasuk rokok. Jadi, sebelum kita terbuai dengan janji-janji manis industri rokok terkait pengelolaan sampah, mari kita dorong kebijakan yang benar-benar menyasar akar masalah: pengendalian konsumsi produk berbahaya ini.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.