Menagih Janji Iklim Melalui Litigasi


Sejak Perjanjian Paris 2015, Indonesia terus memperbarui komitmen iklim melalui dokumen Nationally Determined Contributions. Target terbarunya adalah mengurangi emisi sebesar 31,89% secara mandiri dan 43,20% dengan bantuan internasional pada 2030.
Di sektor energi, pemerintah menargetkan 23% bauran energi berasal dari renewable resources. Pemerintah telah juga berkomitmen mencapai net zero emission pada 2060. Salah satu strategi utamanya adalah beralih dari energi fosil ke energi terbarukan.
Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap bencana, menghadapi ancaman nyata dari kenaikan suhu bumi.
Janji Hijau: Iya Tapi Tidak, Sudah Tapi Belum?
Namun laporan Climate Action Tracker menilai target dan kebijakan Indonesia pada 2024 sebagai “critically insufficient”, tingkat keparahan yang paling tinggi. Padahal, pada 2022 masih “highly insufficient”. Artinya kebijakan dan komitmen iklim Indonesia saat ini mencerminkan aksi yang sangat minim dan sama sekali tidak selaras dengan target batas suhu 1,5°C yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris.
Kebijakan bersifat kontradiktif, kemajuan menuju ekonomi rendah karbon masih terbatas, sementara sektor energi dan industri tetap didominasi batu bara, dan permintaan kelapa sawit terus mendorong deforestasi besar-besaran(CAT, nd.). Jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menjaga reputasi internasional dalam agenda iklim, maka kebijakan harus sejalan antara pernyataan dan perbuatan. Tanpa konsistensi, komitmen iklim hanya akan jadi greenwashing.
Arah Kebijakan yang Membingungkan
Batu bara dengan PLTU-nya merupakan salah satu penyumbang sumber emisi terbesar. Presiden Prabowo, yang mulai menjabat pada akhir 2024 seperti membawa optimisme dengan mengumumkan rencana untuk menutup semua (phase-out) pembangkit listrik berbahan bakar fosil dalam 15 tahun ke depan, yakni pada 2040, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Brasil pada November 2024.
Namun, pernyataannya kemudian dibantah langsung oleh utusan iklim sekaligus adiknya, Hashim Djojohadikusumo dalam dalam ESG Sustainability Forum 31 Januari 2025. Ia menyatakan merupakan bunuh diri secara ekonomi kalau kita tutup pusat tenaga listrik tenaga batu bara serta menyatakan bahwa pernyataan kakaknya telah dikutip secara keliru.
Pemerintah tampaknya ingin menutup semua PLTU batu bara pada 2040—iya, tapi tidak, karena baru melangkah ke podium dunia sudah dibantah sendiri dari rumah.
Perjalanan menuju transisi energi Indonesia seolah menemukan cahaya di ujung terowongan saat penurunan kapasitas PLTU batu bara dan mulai mematikan perlahan unit. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengungkapkan PLTU Cirebon 1 dan Pelabuhan Ratu direncanakan dipensiun dini. Bahlil menyatakan PLTU Cirebon 1 akan dipensiunkan pada 2035 mendatang atau tujuh tahun lebih cepat dari rencana awal 2042.
Kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang diusulkan di Indonesia telah menurun sebesar 90% dalam satu dekade dari 49,7 gigawatt pada 2015 menjadi 4,9 GW pada 2024. Hal ini tampak seperti langkah kaki besar menuju lanskap energi yang lebih bersih. Namun di balik kemajuan itu, tumbuh bayangan panjang dari PLTU captive, pembangkit yang dibangun diam-diam untuk menopang industri berat seperti nikel dan aluminium. Mereka bukan bagian dari jaringan utama, tapi beroperasi di jalur samping yang tak kalah rakus mengisap bara.
PLTU captive tidak wajib mengikuti skema perdagangan emisi di sektor pembangkitan dan tidak ada kewajiban untuk melaporkan emisi. Pemerintah, dalam menyusun kebijakan transisi energi tidak memasukan PLTU captive sebagai komponennya. Apakah ini terlupa atau disengaja, hanya nurani dan waktu yang bisa menjawab. Jalan menuju net zero yang dibentangkan terasa belum utuh, seperti jembatan yang sudah dibangun megah dari satu sisi, tapi belum menjangkau seberangnya.
Kemudian dalam tataran regulasi, alih-alih memperkuat energi bersih, regulasi yang ada justru menunjukkan dominasi kepentingan industri raja karbon. Undang-Undang Minerba 2020 mempermudah perpanjangan izin tambang tanpa proses lelang dan memusatkan kewenangan di pemerintah pusat. Bahkan dalam revisi UU Minerba 2025 memberikan konsesi batu bara kepada lembaga swadaya masyarakat yang kemampuannya diragukan. Pasal kontroversi (p. 162) dalam UU Minerba 2020 yang mempermudah mengkriminalisasi aktivis lingkungan juga tidak dicabut.
Kemudian Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan, yang sejak 2018 belum juga disahkan, justru masih memasukkan batu bara dalam kategori “energi baru” melalui teknologi gasifikasi. Ini menimbulkan kekhawatiran akan tercampurnya energi fosil dan energi terbarukan dalam satu payung hukum yang sama.
Menggugat Demi Udara Bersih
Mengapa kebijakan energi begitu berat berubah? Karena demokrasi dan politik hukum kita terjebak dalam dua hal: oligarki politik dan biaya politik tinggi. Banyak elit politik memiliki afiliasi langsung atau tidak langsung dengan bisnis tambang.
Politikus PDIP, Pramono Anung dalam bukunya “Mahalnya Demokrasi Memudarnya Ideologi”, mengatakan, akibat mahalnya ongkos politik membuat kandidat bergantung pada sponsor dari sektor industri, termasuk batu bara. Akibatnya, regulasi sulit berpihak pada kepentingan publik atau lingkungan hidup, kecuali ada tekanan publik yang luar biasa kuat.
Dalam konfigurasi politik hukum seperti ini, adalah sulit mengandalkan elite mengeluarkan regulasi pro-lingkungan. Sambil menengadah pada sesuatu yang nyaris tidak mungkin, masih ada jalan yang bisa publik lakukan, yaitu advokasi dan litigasi perubahan iklim.
Gugatan publik atas polusi udara di Jakarta yang dikabulkan pengadilan pada 2021 adalah contoh penting. Meskipun belum dieksekusi sepenuhnya, putusan tersebut telah mendorong diskursus publik dan memberi tekanan hukum kepada pemerintah. Di Bali, meski gugatan terhadap PLTU Ciletuk Bawang ditolak, kasus tersebut mendorong lahirnya Peraturan Gubernur Bali tentang Energi Bersih tahun 2019.
Pada 2023, aktivis lingkungan menggugat Bank Dunia melalui Ombudsman kepatuhan Bank Dunia karena terus memberikan dukungan keuangan untuk pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia. Kemudian pada 2024, para aktivis juga mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Publik (KIP) terkait akses informasi terhadap data emisi pembangkit listrik tenaga batu bara dari PLN. Walaupun memerlukan proses hukum yang cukup panjang, akhirnya KIP memutuskan bahwa data emisi dan limbah PLTU Ombilin dan Suralaya harus terbuka untuk publik.
Litigasi dan advokasi iklim dapat menjadi alat penting untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas pemerintah dan korporasi, mengubah norma sosial dan praktik bisnis, memaksa perubahan kebijakan yang mandek di parlemen. Ia mungkin tampak seperti kepingan puzzle yang tersebar dan tak beraturan—kecil, terpisah, dan seolah tak berarti. Namun, tiap keping membawa potongan kebenaran, tekanan, dan harapan.
Bila disusun bersama secara konsisten dan masif, ia perlahan membentuk gambaran utuh: wajah baru kebijakan iklim Indonesia yang lebih adil, transparan, dan berpihak pada keberlanjutan. Publik perlu memanfaatkan jalur litigasi sebagai sarana tekanan legal. Karena perubahan kadang tidak dimulai dari meja kekuasaan, tapi dari ruang sidang.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.