Standardisasi Efisiensi Bahan Bakar Transportasi Logistik

Reananda Hidayat Permono
Oleh Reananda Hidayat Permono
26 Mei 2025, 06:05
Reananda Hidayat Permono
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Laporan Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan sektor transportasi Indonesia menghasilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 160 juta ton CO2 pada 2023. Sebanyak 27,4% di antaranya atau sekitar 45 juta ton CO2 dihasilkan dari transportasi logistik darat. 

Besarnya emisi tersebut menandakan dekarbonisasi transportasi logistik darat penting dilakukan untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebanyak 912 juta ton CO2 pada 2030, sesuai yang tertera dalam dokumen Enhanced-Nationally Determined Contribution (E-NDC) Indonesia.

Indonesia diprediksi menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050. Untuk mengakomodasi pertumbuhan ekonomi tersebut, kebutuhan transportasi logistik akan terus meningkat seiring perkembangan industri, perdagangan, dan pertanian. Studi IEA memperkirakan penggunaan truk logistik di Indonesia akan meningkat hingga tiga kali lipat pada 2060.

Penerapan regulasi fuel economy standard atau standar efisiensi bahan bakar bisa menjadi solusi jangka pendek-menengah bagi usaha dekarbonisasi transportasi logistik. Pemerintah sebenarnya telah memasukkan strategi ini ke dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dengan target penerapan sebelum 2020. Sayangnya, target tersebut tidak tercapai.

Implementasi standar efisiensi bahan bakar menjadi penting karena belum ada teknologi elektrifikasi yang cukup matang untuk diterapkan di kendaraan logistik. Titik keekonomian belum bisa dicapai karena tingginya harga dan beratnya bobot baterai untuk bisa menggerakkan truk bertonase besar.

Truk logistik umumnya butuh baterai berukuran 400 KWh dengan perkiraan biaya sebesar Rp 960 juta. Dengan berat baterai sekitar 5-7 kilogram per KWh, maka truk akan membawa beban baterai seberat 2-2,8 ton. Kondisi ini tentu kurang menguntungkan bagi bisnis logistik karena akan mengurangi daya angkut truk.

Penerapan standar ini juga akan mengurangi konsumsi BBM nasional. Pada 2019, truk-truk di Indonesia mengonsumsi 17,7 juta liter BBM atau sekitar seperempat dari total konsumsi BBM di sektor transportasi (ITDP, 2022). 

Studi IEA menunjukkan penerapan fuel economy standard untuk mobil dan truk, dilengkapi dengan adopsi kendaraan listrik, akan memangkas konsumsi BBM Indonesia hingga 70 juta barel pada tahun 2030. Regulasi fuel economy standard yang semakin ketat diharapkan bisa mendorong produsen untuk menemukan teknologi mutakhir dalam menciptakan kendaraan listrik yang ekonomis di sektor logistik.

Alih-alih menerapkan fuel economy standard, pemerintah lebih mengutamakan pengembangan biofuel, terbukti dengan peluncuran biodiesel B40 di awal tahun ini dan akan berlanjut dengan target biodiesel B50 pada 2026. 

Dengan kapasitas produksi CPO (Crude Palm Oil) saat ini sebesar 15,8 juta kililoter, Kementerian ESDM memprediksi perlu ada tambahan tujuh hingga sembilan pabrik CPO baru untuk bisa menambah produksi empat juta kiloliter CPO tambahan demi mengejar target biodiesel B50. 

Implementasi biofuel yang semakin masif perlu menjadi perhatian dari sisi lingkungan, apalagi jika penambahan produksi CPO harus dilakukan dengan pembukaan lahan baru dan deforestasi.

Presiden Prabowo sendiri menggalakkan penggunaan biofuel demi mengurangi impor BBM dan menciptakan kondisi swasembada energi. Padahal, fuel economy standard juga akan mencapai hal tersebut tanpa perlu mengorbankan 20 juta hektare hutan, salah satunya sebagai sumber lahan energi, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni.

Langkah Implementasi 

Penerapan fuel economy standard di sektor transportasi logistik butuh kolaborasi dari berbagai stakeholder kunci, dari sisi pemerintah khususnya Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, Kementerian Industri, dan Kementerian Lingkungan Hidup. Pemerintah bisa melibatkan lembaga penelitian dan CSO untuk menajamkan studi standar efisiensi bahan bakar.

Langkah pertama untuk mewujudkan penerapan standar ini di Indonesia adalah mengumpulkan data ekonomi bahan bakar seluruh kendaraan logistik untuk dijadikan sebagai data dasar. Dengan menggunakan pemodelan, studi IEA tahun 2022 menunjukkan rata-rata nilai ekonomi bahan bakar kendaraan truk di Indonesia sebesar 35 L/100 km. 

Angka tersebut masih sebatas asumsi dan perlu ditajamkan dengan data lapangan. Data ini akan menunjukkan gambaran status quo, lalu digunakan sebagai patokan dalam menentukan target pengetatan fuel economy standard di masa depan.

Produsen kendaraan perlu diwajibkan untuk mencantumkan informasi nilai keekonomian bahan bakar pada kendaraan yang dijual. Langkahnya adalah dengan merevisi Permen LHK No. 20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017, di mana saat ini regulasi tersebut “baru” mewajibkan produsen kendaraan untuk merilis informasi terkait angka emisi gas buang berupa CO, HC, NOx, dan PM.

Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan peta jalan kebijakan implementasi standar keekonomian bahan bakar lintas kementerian. Peta kebijakan tersebut memuat daftar regulasi pendukung dan kementerian mana saja yang bertanggung jawab terhadap setiap daftar aksi. 

Dokumen roadmap harus dilengkapi dengan lini masa dan target, sehingga bisa menjadi landasan bagi semua stakeholder yang akan membantu perwujudan standar keekonomian bahan bakar. Target tersebut diperbarui secara reguler untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi kendaraan dan kondisi pasar.

Peta jalan kebijakan perlu memuat rencana implementasi insentif fiskal untuk memperkuat posisi standar keekonomian bahan bakar di mata konsumen. Skema insentif dapat berupa pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), seperti PP No 73/2019 yang telah diaplikasikan ke kendaraan penumpang sejak 2021. 

Regulasi tersebut menghitung PPnBM kendaraan baru berdasarkan kapasitas mesin (cc), emisi CO2 (g/km), dan konsumsi BBM (km/liter). Komponen fuel economy (L/100km) perlu dimasukkan ke dalam kalkulasi pajak penjualan kendaraan logistik mengikuti skema tersebut.

Ketiga, implementasi regulasi fuel economy standard perlu dilengkapi dengan program scraping untuk memusnahkan truk-truk tua beremisi tinggi. Sesuai Permenhub No. 60/2019, batas maksimal umur kendaraan angkutan barang yang diizinkan untuk beroperasi adalah 20 tahun. Sayangnya, belum ada ketegasan terhadap peraturan tersebut, terlebih lagi saat mengganti armada, ada pengusaha yang justru menjual truk lamanya ke operator lain.

Pemerintah bisa mendorong operator untuk menjalani program scraping dengan meluncurkan dorongan seperti insentif fiskal program tukar-tambah, tetapi khusus untuk truk yang masih aktif beroperasi. Dukungan yang lebih besar dibutuhkan oleh operator-operator kecil yang jumlahnya lebih dari satu juta operator di Indonesia, dengan karakteristik kepemilikan hanya satu hingga lima truk per operator sehingga memiliki kemampuan fiskal yang rendah untuk berinvestasi (GIZ, 2019).

Tiga rekomendasi di atas akan mempercepat penerapan fuel economy standard di Indonesia, terlebih lagi jika ada government champion yang bisa memimpin inisiatif dan melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reananda Hidayat Permono
Reananda Hidayat Permono
Program Officer of Energy Transformation, Institute for Essential Services Reform

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...