Pentingnya Melawan Proteksionisme Trump

Ahmad Nurcholis
Oleh Ahmad Nurcholis
28 Mei 2025, 07:05
Ahmad Nurcholis
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

‎Pernyataan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral negara-negara Asia Timur dan Tenggara dalam pertemuan Asian Development Bank (ADB) 4-7 Mei di Milan, menyiratkan penolakan terhadap kebijakan proteksionisme Donald Trump. Mereka menyatakan akan terus menegakkan kerja sama perdagangan yang adil dan bebas. 

Sikap tegas ASEAN bersama Jepang, Cina, dan Korea Selatan ini membuka harapan baru bahwa dunia tidak tunduk dengan kesewenang-wenangan Presiden AS. Mereka secara bersama-sama menyatakan “meningkatnya proteksionisme dagang membebani perdagangan global, menyebabkan fragmentasi ekonomi, mempengaruhi perdagangan, investasi, dan aliran modal di seluruh kawasan.”

Di tempat lain, sekutu dekat AS, Uni Eropa, juga mengecam sikap unilateral Trump. Ursula von der Leyen, Presiden Uni Eropa dalam pernyataannya pada 3 April tak segan menyatakan langkah Trump sebagai upaya yang “bertolak belakang dengan apa yang ingin kami [Uni Eropa] capai.” 

Uni Eropa berkepentingan untuk menciptakan suasana hubungan dagang yang kondusif (European Commission, 2025). Karena, menurut von der Leyen, proteksionisme menciptakan ketidakpastian ekonomi global dan menyulut tindakan proteksionis balasan serta mengorbankan negara-negara ekonomi rentan.  

Sikap sembrono Trump memang tidak bisa dianggap remeh. Aktivitas ekonomi global dan saling ketergantungan (interdependensi) merupakan fenomena objektif yang tidak bisa dihindari. Praktik proteksionis yang dilakukan Trump justru merusak harmoni interdependensi dan tatanan global yang telah dibentuk berpuluh-puluh tahun lamanya.

Meski demikian, harus diakui, kontribusi AS dalam membangun tatanan tersebut di masa lalu tidaklah kecil. AS menjadi aktor penting yang membangun tatanan politik dan ekonomi dunia. Warisan kerja keras AS kini mengalami kemunduran sejak Trump mengambil alih kepemimpinan. 

‎‎Jika memang langkah Trump melakukan proteksi ekonomi dilatarbelakangi kekuatan negara adidaya itu yang semakin merosot, maka sikap tulus AS untuk membangun tatanan ekonomi liberal di masa lalu patut dipertanyakan. Jangan-jangan upaya AS mengampanyekan perdagangan bebas dan nilai-nilai liberal lainnya hanya kedok untuk menutupi kepentingan sempit semata, yang sebenarnya tak memiliki tujuan universal sama sekali. 

Slogan dan retorika politik pentingnya menegakkan nilai-nilai liberal di segala aspek, terkhusus ekonomi, tidak lain hanyalah jalan untuk melayani kepentingan AS.  Saat bangunan-bangunan itu tidak lagi melayani kepentingannya, AS berupaya untuk menjauhinya. Bahkan, jika bisa, merobohkannya. Itulah yang kini menjadi persepsi umum masyarakat internasional dalam praktik proteksionis Trump. Dia menodai kebijakan altruis universal AS di masa lalu.

‎‎Trump menganggap seolah-olah keuntungan ekonomi yang dirasakan negara-negara maju dan berkembang lainnya berarti kemunduran relatif  bagi AS. Yang berarti berpengaruh terhadap distribusi kekuatan negara-negara di dunia. Semakin besar kesenjangan kemundurannya, semakin besar potensi pudarnya hegemoni dan dominasi AS. Trump selalu melihat kaca mata hubungan antarnegara dalam lensa zero-sum game

Sederhananya, Trump selalu memandang kerja sama yang dijalin atas kalkulasi untung rugi. Meski itu wajar, tetapi sikap-sikap unilateral yang menutup ruang dialog tidak bisa dibenarkan. Maka tak aneh jika akhirnya muncul persepsi bahwa Trump tidak ingin melihat negara-negara lain berdiri sejajar dan hidup berdampingan bersama. 

Alih-alih, ingin menempatkan AS di posisi puncak struktur politik internasional dengan terus memperlebar kesenjangan kekuatan maksimumnya dari yang lain. Pasalnya, dengan asimetris pengaruh dan kekuatan tersebut, Trump bisa mengontrol dan mengendalikan tatanan global. 

‎‎Padahal kunci keharmonisan dunia terletak pada kemauan negara untuk beroperasi dalam kerangka kerja sama saling menguntungkan dengan mengedepankan dialog dan win-win solution. Pengejaran “kekuatan [keuntungan] relatif” seperti yang diutarakan Waltz (1979), adalah sumber kompetisi yang tidak sehat. Sikap ini bisa mengarah pada konflik berkepanjangan dan menghalangi kerja sama yang kondusif antar-negara. 

“Sebuah negara [akan selalu] khawatir tentang pembagian potensi keuntungan yang mungkin [lebih] menguntungkan negara lain dibandingkan dirinya sendiri. Itulah jalan pertama di mana struktur politik internasional membatasi kerja sama antar-negara,” kata Waltz, (1979, hal. 106). 

Proteksionisme, karenanya, bukanlah jalan keluar untuk mewujudkan dunia harmoni yang dicita-citakan bersama. Proteksionisme akan menghancurkan interdependensi dan memperburuk kompetisi di antara negara-negara di dunia sebab kalkulasi “keuntungan relatif” selalu menjadi dasar rasionalisasi kebijakan tersebut.

Pentingnya Perlawanan

ASEAN, Cina, Jepang, Korea Selatan, telah bersikap atas kondisi ekonomi global yang semakin tak menentu. Perlawanan terhadap proteksionisme memang harus terus dikumandangkan. 

ASEAN dan negara-negara maju lainnya di kawasan Asia Tenggara dan Timur mengalami peningkatan ekonomi yang signifikan justru dari praktik perdagangan bebas yang AS promosikan, bukan proteksionisme ekonomi yang kini Trump terapkan. 

Interdependensi ekonomi di kawasan telah mendorong integrasi ekonomi semakin dalam yang faktanya telah menjadikan kawasan ini sebagai kawasan ekonomi dengan laju perkembangan pesat. Artinya, sistem perdagangan bebas adalah kebijakan terbaik untuk mewujudkan dunia yang makmur. 

Saat jejaring saling-ketergantungan tersebut dirusak oleh praktik proteksionis, ekonomi dunia akan mengalami gejolak ekonomi, yang akan berdampak pada semua negara. 

Negara-negara selatan yang banyak diisi oleh ekonomi berkembang dan terbelakang merasakan kepahitan terparah. Ekonomi mereka belum cukup kuat untuk menerobos badai tarif yang diluncurkan Trump. Pondasi ekonomi mereka masih lemah, yang justru seharusnya mendapatkan dukungan dari negara-negara besar seperti AS. Makanya, perlawanan terhadap praktik ekonomi protektif penting sebab hal ini menyangkut masa depan kesejahteraan bersama. 

Ketimpangan ekonomi dunia akan semakin terasa jika praktik proteksionis Trump terus dilanjutkan. Menghindari proteksionisme ekonomi dan mengedepankan perdagangan bebas mencerminkan komitmen untuk maju dan berkembang bersama.

Untuk itu, baik negara-negara selatan yang terbelakang dan berkembang, serta negara maju yang tidak sejalan dengan praktik proteksionis Trump, harus mulai bersama-sama membangun kesadaran multipolar yang lebih humanis. Meninggalkan praktik zero sum game, dari persaingan yang tidak sehat menuju dialog dan negosiasi konstruktif. 

Masyarakat internasional harus lebih terbuka. Upaya-upaya kooperasi yang saling menguntungan harus lebih diutamakan ketimbang pengejaran keuntungan relatif, yang faktanya sering kali menghalangi terwujudnya kerja sama yang kondusif antar-negara. Dunia yang makmur adalah impian kita bersama.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Ahmad Nurcholis
Ahmad Nurcholis
Dosen Hubungan Internasional Universitas Sriwijaya

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...