Kronik Militer Menjaga Kedaulatan Pangan

B. Mario Yosryandi Sara
Oleh B. Mario Yosryandi Sara
27 Mei 2025, 07:05
B. Mario Yosryandi Sara
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Peran militer semakin menguat seiring retorika ketahanan pangan. Militer mendapat karpet merah mengkooptasi basis produksi pangan dan wilayah pedesaan dengan begitu masif. Ini mengembalikan ingatan kepada peran militer pada masa orde baru yang memainkan peran strategis pembangunan desa melalui program ABRI Masuk Desa (AMD). Di bawah rezim Soeharto, tentara menjadi instrumen pembangunan sekaligus alat doktrinasi. Membaca ulang kerangka dwifungsi ABRI, desa bukan sebatas dijadikan objek pembangunan, tetapi zona supremasi ideologis dan ekonomi-politik.

Pasca-reformasi, kembalinya militer ke desa menandai transposisi logika kekuasaan; dari sekadar pengamanan menuju pelaksana kebijakan ekonomi. Ini bukan semata pengulangan sejarah, tapi reproduksi nalar pembangunan (developmentalisme) otoritarian khas orde baru dalam bentuk terselubung. 

Sejak satu dekade terakhir, kita menyaksikan bagaimana perangkat koersif yang semestinya menjaga kedaulatan negara, kini berkamuflase layaknya aktor produksi. Kata kunci kebijakan ini “ketahanan pangan”. Namun, membaca pelbagai diskursus kebijakan publik, istilah itu sering dipakai layaknya eufemisme dari logika teknokratis yang menyingkirkan dimensi politik pangan. Ketahanan pangan didefinisikan secara sempit sebagai tersedianya bahan makanan dalam jumlah yang cukup. 

Keadaan tersebut menihilkan pertanyaan tentang siapa yang akan mengontrol tanah, siapa yang menentukan produksi, dan siapa yang mendapat manfaat dari surplus itu? Berbeda halnya konsep kedaulatan pangan, yang mana memprioritaskan otoritas masyarakat atas sumber daya di sekitarnya. Sedangkan kebijakan ketahanan pangan negara cenderung menormalisasi intervensi vertikal. Alhasil, militer bisa dilihat tidak sebatas pelaksana teknis, melainkan “ikon” proyek depolitisasi agraria yang turut merenggut dimensi ekosistem sosial-politik pedesaan.

Kiblat Militerisasi: dari AMD ke Food Estate

Untuk memahami keterlibatan militer sehubungan urusan politik pangan, kita dapat merujuk pada gagasan Louis Althusser (1971). Menurutnya, negara mempertahankan kekuasaan melalui dua perangkat: repressive state apparatus (RSA) dan ideological state apparatus (ISA). RSA meliputi institusi seperti militer dan polisi yang mempertahankan dominasi kelas melalui kekerasan (atau potensi kekerasan). Mengguritanya militer ke ladang food estate bisa dibaca sebagai bentuk ekspansi RSA dalam kehidupan ekonomi rakyat. Ini adalah bentuk intensifikasi negara manakala proses akumulasi modal melalui kontrol langsung atas produksi pangan dan penguasaan lahan.

Sementara pendekatan yang ditawarkan James Scott dari bukunya “Seeing Like a State” (1998) juga relevan. Scott mengkritik kecenderungan negara untuk menyederhanakan tatanan sosial yang kompleks agar mudah dikelola, yang kadangkala mengabaikan keanekaragaman ekologis. Berdasarkan konteks ini, proyek food estate merupakan bukti konkret dari penyederhanaan tersebut, yang mengasingkan sistem pengelolaan alam yang telah dijalankan oleh masyarakat lokal selama berabad-abad.

Pada 21 Januari 2025, Presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Regulasi ini melibatkan TNI melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang terbagi menjadi dua, yaitu pengarah dan pelaksana. 

Berlanjut pada 3 Februari, Prabowo menghadiri Rapat Pimpinan TNI-AD. Dalam rapat, Prabowo meminta TNI harus aktif mengawal program ketahanan pangan. Dua hari berselang, KASAD TNI mengumumkan penambahan jumlah personel yang ditugaskan di 100 Batalyon Teritorial Pembangunan demi mendukung program-program swasembada pangan.

Tak dapat dipungkiri, bilamana situasi sekarang menandai militerisasi ruang produksi sebagai strategi negara untuk mengamankan agenda akumulasi modal. Pada titik inilah, petani tidak lagi diposisikan sebagai subjek pembangunan, melainkan sebagai objek teknokrasi, birokrasi, dan kekuatan koersif negara. Proyek pangan semacam ini memindahkan kendali atas tanah dan produksi dari tangan masyarakat ke tangan aktor negara dan korporasi. Kita dapat melihat contohnya dari berbagai kawasan food estate yang melibatkan militer, baik sebagai pelaksana proyek melalui Kementerian Pertahanan maupun sebagai penjaga kawasan.   

Melawan Nostalgia Orde Baru

Krusialnya, seluruh proyek dikamuflase dengan narasi “ketahanan nasional.” Dari retorika ini, keterlibatan militer diposisikan sebagai bentuk “pengabdian pada bangsa dan negara,” sementara praktik penggusuran, pengabaian hak masyarakat adat, dan kerusakan lingkungan disembunyikan sedemikian rupa. Dalam kacamata Althusser (1971), ini merupakan bentuk hegemoni di mana RSA (militer) dan ISA (narasi nasionalisme dan ketahanan pangan) bekerja secara simultan untuk melebarkan siklus kekuasaan negara dan kelas dominan. Padahal, sejatinya food estate bukan solusi atas krisis pangan, melainkan instrumen baru dari praktik sirkulasi modal melalui militerisasi dan teknokratisasi sektor agraria.

Lebih dari sekadar proyek pangan, food estate sejak era Jokowi merupakan wujud baru dari cultuurstelsel—sistem tanam paksa bergaya modern. Ia ditandai oleh kecenderungan rakus lahan (land grabbing) demi kepentingan investasi dan militer. Dampaknya sangat nyata, di antaranya (1) petani makin termarginalkan dan mengalami proletarisasi; (2) konflik agraria akibat perampasan tanah kian meluas; (3) deforestasi meningkat tajam, memperparah krisis ekologis; dan (4) terjadi eksploitasi sumber daya hutan melalui pembalakan liar yang dilegalkan secara terselubung.

Implikasi militer atas mega-proyek food estate bukan semata persoalan eksekusi kebijakan RPJMN. Ia merupakan gejala dari krisis demokrasi agraria yang lebih luas. Ketika militer diberi mandat untuk menentukan aras produksi, maka prinsip pengelolaan berbasis komunitas, lokalitas, dan partisipasi akan dikorbankan. Hasilnya, segudang masalah di lokasi-lokasi food estate sejak perencanaan sampai pelaksanaannya, kemudian setiap tahun pemerintah terus “menyanyikan lagu lama” tentang krisis pangan. Impor pangan menjadi bisnis di lingkaran pejabat, pengusaha dan mafia pangan. Artinya, food estate sejak dikandung badan hingga peluncurannya di tingkat tapak selalu gagal, terkecuali sukses memanen masalah dan pemborosan anggaran negara.

Dikarenakan pangan dianggap sebagai aset strategis untuk menjaga pertahanan nasional, maka negara berupaya mengakuisisinya melalui dua skema. Pertama, skema non-militer; lahan yang berasal dari petani atau kelompok tani akan “dihasut” untuk bekerjasama dengan investor. Kedua, skema militer; lahan yang diperoleh melalui alih fungsi kawasan hutan, akan dikelola oleh Badan Cadangan Logistik Strategis (BCLS) bersama Kementerian Pertahanan dan TNI-AD. Sayangnya, yang dikhawatirkan yakni eksodus peran militer dapat “memporak-poranda” struktur agraria dan tatanan sosial kehidupan masyarakat desa. 

Risikonya, proyek-proyek negara yang akan atau telah dikelola militer berpotensi memperluas kesenjangan kekuasaan antara negara dan rakyat. Ia menciptakan struktur relasi yang timpang; tanah dikuasai negara, pekerjaan dikerjakan rakyat, dan keuntungan dikapitalisasi oleh korporasi. Apa yang kita saksikan sekarang tidak sekadar bentuk regulasi swasembada pangan, namun kebangkitan logika pembangunan otoritarian yang menjadikan desa sebagai arena sirkulasi kapital.

Oleh sebab itu, jika negara serius ingin mewujudkan kedaulatan pangan, langkah yang mesti dijalankan yaitu memperkuat posisi petani, menghormati hak masyarakat adat, serta membatasi intervensi aktor bersenjata dalam kehidupan sipil. Dari sisi pengetahuan dan pengalaman, justru Kementerian Pertanian jauh lebih punya itu dibanding Kementerian Pertahanan apalagi TNI. Partisipasi militer sifatnya mesti perbantuan, bukan menjadi aktor kunci. Pemerintah perlu memberikan rasa aman bagi masyarakat sehingga tidak menciptakan kegelisahan maupun trauma. Tanpa mekanisme pengawasan yang transparan dan batasan yang tegas, intervensi militer dalam swasembada pangan berpotensi lebih merugikan daripada menguntungkan, mengancam prinsip demokrasi agraria dan kesejahteraan rakyat yang seharusnya diprioritaskan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
B. Mario Yosryandi Sara
B. Mario Yosryandi Sara
Peneliti TIKAR Institute

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...