Antisipasi Fenomena Buy Now Pay Later Bagi Ekonomi Domestik

Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Oleh Fikri C. Permana - Metta Melani L
19 Mei 2025, 08:47
Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Buy Now Pay Later (BNPL), atau belanja sekarang bayar nanti, bukan sekadar fitur pembayaran. BNPL telah menjadi fenomena ekonomi digital global yang menimbulkan pergeseran besar dalam pola konsumsi, dinamika kredit, dan bahkan transmisi kebijakan makroekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia. 

Berakar dari inovasi teknologi finansial yang semakin inklusif dan gesit, layanan BNPL membuka pintu bagi masyarakat untuk memperoleh barang dan jasa tanpa harus mengeluarkan uang secara langsung. Kepraktisan ini menarik, tetapi dampaknya menyentuh lebih jauh dari sekadar kenyamanan konsumen.

Perjalanan BNPL bermula dari Swedia, ketika Klarna memperkenalkan skema ini pada 2005. Sejak itu, BNPL menyebar cepat ke berbagai belahan dunia dengan ragam aktor seperti Afterpay di Australia, Affirm di Amerika Serikat, hingga Kredivo dan Akulaku di Indonesia. 

Munculnya BNPL bukan tanpa sebab. Banyak konsumen, terutama generasi muda yang belum memiliki kartu kredit atau menghindari bunga tinggi, melihat BNPL sebagai jembatan untuk memenuhi gaya hidup modern. 

Data dari IdScore mengungkapkan bahwa hingga akhir 2024, mayoritas pengguna BNPL di Indonesia berasal dari kalangan Milenial (48,27%) dan Gen Z (39,94%). Kombinasi antara kemudahan akses, proses yang cepat, dan cicilan ringan membuat layanan ini berkembang pesat.

Namun, dari perspektif makroekonomi, pertumbuhan BNPL mengundang perhatian karena menyentuh dimensi konsumsi rumah tangga, likuiditas sektor riil, serta potensi dampaknya terhadap stabilitas keuangan. Dalam konteks teori konsumsi Keynes, pengeluaran rumah tangga sebagian besar ditentukan oleh pendapatan sekarang dan ekspektasi masa depan. 

BNPL memungkinkan rumah tangga dengan dana terbatas untuk mengonsumsi lebih awal dari kemampuannya. Ini dapat mendorong permintaan agregat dalam jangka pendek, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, ketika konsumsi tidak sebanding dengan peningkatan produktivitas atau pendapatan riil, maka ketidakseimbangan bisa muncul.

Behavioral economics menyoroti dinamika yang lebih kompleks. Richard Thaler dalam kerangka mental accounting menyebut bahwa konsumen seringkali memisahkan pengeluaran berdasarkan jenis atau sumber, sehingga cicilan BNPL kerap dianggap “tidak terasa” karena kecil dan tersebar. Hal ini memperbesar risiko konsumsi impulsif. 

Studi Kuchler dan Pagel (2021) menunjukkan bahwa konsumen cenderung mengabaikan total beban utang BNPL, menciptakan apa yang disebut sebagai invisible debt. Dalam konteks Indonesia, Bank Indonesia mencatat pada awal 2024 bahwa sekitar 31% pengguna Gen Z tidak mampu membayar cicilan BNPL pada bulan ketiga, meskipun hampir separuh dari mereka merasa optimis mampu membayar di awal.

Jika diperluas pada dimensi likuiditas, BNPL memainkan peran sebagai kanal pembiayaan mikro yang melewati sistem perbankan tradisional. Tanpa perlu agunan atau kartu kredit, banyak pengguna mendapatkan akses kredit cepat. 

Dari sisi makro, ini membantu mengurangi liquidity constraint masyarakat kelas menengah dan bawah. Klapper et al. (2022) mencatat bahwa akses kredit informal seperti BNPL mendorong konsumsi sektor rumah tangga, terutama di negara berkembang. Namun, sisi gelapnya adalah potensi munculnya kerapuhan keuangan (financial fragility), terutama ketika pengguna memiliki multiple exposure terhadap berbagai platform BNPL secara bersamaan.

Aspek yang menarik adalah potensi dampak BNPL terhadap transmisi kebijakan moneter. Dalam lingkungan di mana konsumsi sangat didorong oleh skema pembiayaan alternatif seperti BNPL, efektivitas penyesuaian suku bunga oleh bank sentral dapat melemah. Jika kenaikan suku bunga acuan tidak langsung memengaruhi bunga BNPL—yang dalam banyak kasus nol jika dibayar tepat waktu—maka transmisi kebijakan menjadi terbatas. 

Bank for International Settlements (2023) mencatat bahwa pertumbuhan BNPL dapat menciptakan shadow credit market yang kompleks, dan tanpa pengawasan memadai, bisa mengganggu stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Dari sisi positif, tak dapat dipungkiri bahwa BNPL turut mendorong pertumbuhan konsumsi, yang secara langsung menyumbang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sebuah studi oleh Kumar et al. (2024) di negara Skandinavia menemukan bahwa kehadiran BNPL meningkatkan nilai belanja online sebesar 6,42%. 

Di Amerika Serikat, riset Maesen dan Ang (2025) mencatat lonjakan belanja hingga 10% di sektor e-commerce akibat masifnya penggunaan BNPL. World Bank (2022) juga melaporkan bahwa UMKM yang menerima pembayaran BNPL mengalami kenaikan penjualan hingga 25%, menunjukkan bahwa BNPL bukan hanya mempercepat konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperluas basis pelanggan usaha kecil.

Di Indonesia, tren serupa terlihat jelas. Data OJK menunjukkan bahwa baki debet kredit BNPL dari sektor perbankan per Maret 2025 mencapai Rp22,78 triliun, tumbuh 32,18% dibanding tahun sebelumnya. Rekening aktif tercatat mencapai 24,59 juta, menunjukkan bahwa adopsi BNPL telah meluas secara signifikan. 

Google, Temasek, dan Bain & Company dalam laporan tahunannya memperkirakan pertumbuhan tahunan BNPL Indonesia mencapai 35% (CAGR) hingga 2027. Angka-angka ini mengonfirmasi bahwa BNPL menjadi bagian penting dalam ekosistem digital ekonomi nasional.

Namun, pertumbuhan yang cepat seringkali menyisakan ruang abu-abu. Salah satunya adalah kurangnya regulasi komprehensif. Di beberapa negara, otoritas keuangan mulai menyadari urgensi pengawasan. Di Uni Eropa, implementasi Payment Services Directive 2 (PSD2) mendorong transparansi dan perlindungan konsumen dalam layanan pembayaran digital termasuk BNPL. 

Di Australia, ASIC merekomendasikan penerapan credit checks wajib bagi pengguna BNPL setelah meningkatnya kasus gagal bayar. Amerika Serikat pun tak tinggal diam—Senat mulai menyoroti perlunya regulasi terhadap penyedia BNPL seperti Affirm dan Afterpay karena dianggap belum tunduk pada standar pelaporan kredit.

Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan mencoba menjawab tantangan ini dengan menerbitkan SEOJK 19/2023 yang mengatur risk assessment, transparansi biaya, serta kewajiban edukasi konsumen. Namun, tantangan tetap besar, terutama karena sebagian besar penyedia BNPL adalah entitas non-bank dan masih ada pelaku ilegal yang tidak terdaftar, yang berisiko menyalahgunakan data konsumen. Tanpa sistem pelaporan kredit terintegrasi dan aturan pemeringkatan kredit yang ketat, risiko sistemik bisa muncul dalam beberapa tahun ke depan.

Masalah lainnya adalah dampak sosial yang belum banyak dibahas. BNPL, yang awalnya ditujukan sebagai alternatif akses finansial, mulai menjelma menjadi alat pemuas konsumsi jangka pendek. Gaya hidup konsumtif yang ditopang oleh layanan ini rentan menjerumuskan masyarakat ke dalam ilusi kemampuan finansial yang tidak riil. 

Ketika utang tersembunyi menumpuk di banyak platform, tekanan terhadap arus kas rumah tangga bisa meningkat drastis. Hal ini dapat memperburuk ketimpangan ekonomi dan menurunkan ketahanan ekonomi rumah tangga terhadap guncangan seperti inflasi, PHK, atau kenaikan harga bahan pokok.

Meski demikian, menolak kehadiran BNPL bukanlah solusi. Seperti halnya inovasi finansial lain, yang diperlukan adalah kerangka regulasi yang adaptif dan pendekatan yang proporsional. Edukasi literasi keuangan harus menjadi agenda prioritas, terutama bagi kelompok muda yang paling aktif menggunakan BNPL. Pemahaman tentang konsekuensi jangka panjang dari pembiayaan konsumen serta cara mengelola utang secara bijak harus ditanamkan sejak dini.

Selain itu, diperlukan kolaborasi antara penyedia BNPL, regulator, dan sektor perbankan. Dengan integrasi sistem credit scoring nasional dan pelaporan pinjaman yang terpusat, risiko gagal bayar bisa dikurangi. Di saat yang sama, penyedia BNPL harus didorong untuk lebih transparan dalam menyampaikan biaya-biaya tersembunyi, denda, dan risiko.

BNPL bukan sekadar tren, ia adalah refleksi dari perubahan cara kita mengonsumsi, mengelola uang, dan memahami utang. Ketika ekonomi dunia semakin terdigitalisasi dan konsumen semakin mengandalkan platform keuangan berbasis aplikasi, tantangan dan peluang dari BNPL akan terus berkembang. 

Indonesia sebagai negara dengan populasi muda yang besar dan adopsi digital yang cepat, berada di persimpangan antara potensi inklusi keuangan yang luas dan risiko disrupsi stabilitas finansial. Kuncinya adalah menavigasi jalan ini dengan kehati-hatian, data, dan kebijakan yang bijak.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Fikri C. Permana dan Metta Melani L
Fikri C. Permana
Senior Economist PT KB Valbury Sekuritas

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...