Urgensi Mitigasi Metana di Indonesia

Dian Yuanita Wulandari
Oleh Dian Yuanita Wulandari
6 Mei 2025, 07:05
Dian Yuanita Wulandari
Katadata/ Bintan Insani
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Seiring dengan semakin menguatnya ambisi untuk mencapai swasembada pangan dalam agenda pembangunan nasional Indonesia, penting untuk menyadari adanya potensi pertukaran kepentingan (trade-off) yang dapat menghambat laju upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Metana, secara khusus, merupakan komponen krusial namun kerap terpinggirkan dalam perencanaan iklim. Di tengah meningkatnya permintaan pangan global, emisi gas ini diperkirakan akan terus meningkat secara signifikan.

Metana merupakan salah satu gas rumah kaca paling merusak, dengan potensi pemanasan global lebih dari 80 kali lipat dibandingkan karbon dioksida. Berbeda dengan karbon dioksida yang bisa bertahan di atmosfer selama lebih dari satu abad, metana memiliki masa hidup yang jauh lebih singkat, yakni sekitar 20 tahun.

Walaupun metana memiliki masa tinggal yang lebih singkat di atmosfer, daya rusaknya justru sangat tinggi karena kemampuannya menjebak panas secara intens. Efek ini diperparah oleh kontribusinya terhadap pembentukan ozon troposfer, yang berdampak negatif terhadap produktivitas pertanian dan kesehatan manusia. Dengan demikian, pengurangan emisi metana secara cepat telah diakui sebagai salah satu strategi paling efektif untuk memperlambat laju perubahan iklim dalam jangka pendek.

Memahami Urgensi

Urgensi mitigasi emisi metana tercermin dalam berbagai inisiatif global, seperti Global Methane Pledge dan Paris Agreement. Indonesia pun telah menyatakan komitmennya terhadap agenda-agenda internasional ini. Pada masa pemerintahan sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara terbuka menyatakan dukungan Indonesia terhadap Global Methane Pledge, yang menargetkan penurunan emisi metana global sebesar 30% pada 2030.

Di Indonesia, sektor limbah merupakan penyumbang utama emisi metana, yakni sekitar 56%, diikuti sektor pertanian (30%) dan energi (14%). Meski sektor limbah menyumbang porsi terbesar, sektor pertanian tetap menjadi sumber signifikan yang masih kurang mendapatkan perhatian. Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sektor pertanian memiliki keterkaitan langsung dengan ketahanan pangan, penghidupan masyarakat pedesaan, serta agenda pembangunan nasional jangka panjang.

Oleh karena itu, pengendalian emisi metana dari sektor pertanian harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari strategi iklim Indonesia. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa upaya pengurangan emisi tetap sejalan dengan misi nasional dalam mencapai swasembada pangan. 

Merujuk pada laporan Second Biennial Update Indonesia, budidaya padi menjadi penyumbang terbesar emisi metana dari sektor pertanian, yakni lebih dari 50%. Angka ini sangat tinggi, terutama pada wilayah dengan intensitas produksi padi yang padat seperti Pulau Jawa dan Sumatra. Situasi ini berpotensi memburuk dengan adanya dorongan pemerintah untuk memperluas lahan sawah melalui program food estate, yang berisiko menambah tekanan terhadap lingkungan jika tidak dikelola dengan prinsip keberlanjutan.

Sektor peternakan juga memberikan kontribusi signifikan terhadap emisi metana. Walau populasi sapi di Indonesia tergolong sedang dibanding negara-negara besar seperti Brasil atau Amerika Serikat, emisi dari sektor ini tetap tinggi. Penyebab utamanya adalah pengelolaan kotoran ternak yang masih minim, di mana limbah seringkali tidak dilelola secara layak, sehingga menimbulkan emisi metana tinggi akibat proses dekomposisi yang tak terkendali.

Tantangan lainnya datang dari perubahan penggunaan lahan. Perluasan lahan pertanian yang dilakukan secara cepat acap kali menggunakan metode tebang-bakar dan konversi hutan serta lahan gambut. Aktivitas ini melepaskan metana dalam jumlah besar dari tanah. Laporan Global Methane Assessment 2021 mencatat bahwa pengeringan lahan gambut dan pembakaran biomassa di Asia Tenggara, terutama Indonesia, berkontribusi hingga 10% terhadap emisi metana global dari sektor penggunaan lahan.

Di luar sumber utama tersebut, limbah makanan juga memainkan peran penting namun seringkali diabaikan dalam rantai emisi metana dari sektor pertanian. Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2023, limbah makanan menyumbang proporsi terbesar dari total timbunan sampah nasional, yakni 44,34%, lebih tinggi dibanding limbah plastik yang hanya 22,14%. Masalah ini berpotensi meningkat seiring peluncuran program makan bergizi gratis. Tanpa pengelolaan yang tepat baik dari sisi porsi, preferensi pangan, hingga efisiensi distribusi program ini dapat memperburuk timbulan limbah makanan.

Realitas ini menegaskan bahwa mitigasi emisi metana di sektor pertanian memerlukan pendekatan lintas sektor yang komprehensif. Salah satu jalan keluar yang menjanjikan adalah dengan mendorong praktik pertanian rendah karbon. Pendekatan ini tidak hanya berkontribusi terhadap penurunan emisi, tetapi juga mampu meningkatkan efisiensi produksi dan ketahanan sistem pangan nasional.

Langkah ke Depan

Penerapan pertanian rendah karbon di Indonesia masih berada dalam tahap pengembangan, namun menunjukkan tren kemajuan yang positif dalam beberapa tahun terakhir. Dari sisi kebijakan, pendekatan pembangunan rendah karbon telah ditempatkan sebagai prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Pertanian rendah karbon bahkan dimasukkan secara eksplisit dalam Prioritas Nasional 2, yang tidak hanya menitikberatkan pada penguatan sistem pertahanan dan keamanan nasional, tetapi juga pada penguatan kemandirian bangsa.

Komitmen ini turut tercermin dalam Nationally Determined Contribution atau NDC Indonesia dalam kerangka Paris Agreement. Beberapa aksi mitigasi utama yang tercantum dalam dokumen tersebut antara lain peningkatan metode budidaya padi, restorasi lahan gambut yang terdegradasi, serta pengembangan pengelolaan peternakan secara berkelanjutan.

Di tingkat implementasi, berbagai praktik pertanian cerdas iklim mulai digalakkan. Salah satu contoh yang menonjol adalah penerapan metode pengairan bergantian (alternate wetting and drying) pada lahan sawah, yang terbukti dapat menurunkan emisi metana dengan cara menghindari genangan air yang terus-menerus. Selain itu, terdapat peningkatan minat terhadap pendekatan pertanian regeneratif dan organik. Pendekatan ini berkontribusi pada peningkatan kesehatan tanah, pengurangan penggunaan input kimia, serta peningkatan kemampuan lahan dalam menyerap karbon secara alami.

Sejalan dengan momentum peringatan Hari Bumi yang dirayakan setiap tanggal 22 April, perlu renungan kritis untuk mengevaluasi tidak hanya menetapkan strategi, namun juga mengukur sejauh mana kemajuan nyata telah dicapai dalam merawat bumi. Upaya mitigasi emisi metana perlu dilihat sebagai bagian dari transformasi sistemik yang lebih luas. Apakah kebijakan yang telah dirumuskan tepat sasaran, apakah implementasinya telah menjangkau hingga ke tingkat akar rumput, dan apakah dampaknya benar-benar terasa bagi ekonomi, masyarakat, maupun lingkungan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Dian Yuanita Wulandari
Dian Yuanita Wulandari
Pemerhati Sosial dan Ekonomi Pertanian

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...