Dua Kaki Stafsus Milenial
Bagaimana Indonesia?
Cukup melegakan, ketika akhirnya di Indonesia lahir juga aturan yang secara spesifik mengatur soal benturan kepentingan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 tahun 2012 tentang Pedoman Umum Benturan Kepentingan.
Di situ dirinci siapa saja pejabat yang berpotensi memiliki benturan kepentingan. Salah satunya adalah pejabat yang diangkat oleh Presiden atau Menteri. Termasuk di dalamnya, Staf Khusus dan Utusan Khusus Presiden, Wakil Presiden atau Menteri, yang penghasilannya dibiayai oleh APBN.
Lalu dijelaskan pula, beberapa bentuk benturan kepentingan yang sering terjadi. Tiga di antaranya, pertama, penggunaan aset jabatan/instansi untuk kepentingan pribadi/golongan.
Kedua, situasi di mana informasi rahasia jabatan atau instansi dipergunakan untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ketiga, perangkapan jabatan yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak sejenis, sehingga menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya.
(Baca: Heboh Konflik Kepentingan Surat Stafsus Jokowi, CEO Amartha Minta Maaf)
Pengaturan soal konflik kepentingan ini kemudian diperkuat dengan UU Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Di dalamnya bahkan memuat aturan lebih rinci, termasuk penjelasan soal bagaimana kondisi sebuah konflik kepentingan terjadi (Pasal 43).
Dalam bingkai aturan itu, tampaknya ada persoalan benturan kepentingan yang dihadapi oleh ketiga Stafsus Milenial. Perangkapan jabatan sebagai Stafsus Presiden dan top executive perusahaan, menjadi titik api persoalan.
Ada tidaknya pemanfaatan rangkap jabatan itu untuk kepentingan dirinya tentu harus dibuktikan. Namun, setidaknya ini membuka celah munculnya kecurigaan. Dalam konteks ini, keputusan Nadiem Makarim melepas jabatannya sebagai CEO Gojek ketika diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayan, merupakan langkah tepat.
Aturan ini secara gamblang juga menyebutkan bahwa Staf Khusus Presiden termasuk pejabat yang berpotensi memiliki benturan kepentingan. Apalagi, seperti dinyatakan oleh Billy, Stafsus memiliki jalur langsung untuk berhubungan dengan Presiden.
Keberadaan mereka di lingkar Ring-1 Istana tentu sebuah keistimewaan. Posisi ini memungkinkannya mendapat berbagai informasi orang dalam dan rahasia, yang bisa saja berkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan perusahaan yang dikelolanya.
Jika ini benar terjadi, maka menjadi tidak fair bagi perusahaan rintisan lain, pesaingnya. Karena itu, perangkapan jabatan sudah seharusnya dihindari. Setidaknya untuk meniadakan berbagai kecurigaan yang tidak perlu.
(Baca: 4 Staf Khusus Jokowi Kelola Startup Dinilai Rawan Konflik Kepentingan)
Pelajaran Penting
Pengalaman pahit Dick Cheney bisa menjadi pelajaran. Wakil Presiden AS itu dituding telah memuluskan pemberian proyek rekonstruksi Irak senilai miliaran dolar tanpa kontrak kepada Halliburton pada 2003.
Padahal, ia telah melepaskan jabatannya sebagai orang nomor satu di perusahaan raksasa energi Amerika itu pada tahun 2000, ketika ikut serta dalam kampanye mendampingi calon Presiden George W. Bush.
Kontroversi ini belakangan kian mendidih, setelah beredar laporan yang disusun kongres Amerika. Di situ disebutkan bahwa mantan Menteri Pertahanan AS ini masih memegang opsi saham Halliburton dan gaji tertunggak dari perusahaannya. Nilai opsi sahamnya ditengarai telah membengkak signifikan dalam setahun.
“Ini memunculkan pertanyaan riil, dapatkah rakyat Amerika mempercayai pemerintahan mereka untuk melakukan sesuatu dengan benar?” ujar Senator Partai Demokrat, Patrick Leahy, yang meminta adanya investigasi atas kasus ini.
(Baca: 7 Staf Khusus Baru Jokowi, dari Putri Tanjung, Belva dan Andi Taufan)
Kasus itu menunjukkan, betapa sensitif perangkapan jabatan dapat memunculkan polemik benturan kepentingan. Dalam soal ini, Sri Mulyani Indrawati bisa menjadi contoh, bagaimana sebuah upaya menghindari benturan kepentingan ditegakkan.
Dalam sebuah acara perpisahan sebelum berangkat ke Washington D.C untuk menjabat Direktur Pelaksana Bank Dunia, sepuluh tahun lalu, ia berkisah tentang hal ini. Diceritakannya bagaimana etika itu dijaga sejak hari pertama menjabat Menteri Keuangan.
Inspektur Jenderal, yang notabene bawahannya dan sehari-hari bertugas mengawasi internal Kementerian Keuangan, ia panggil ke ruangannya. Lantas, dimintanya daftar tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang menteri.
“Sebagai pejabat publik, sejak hari pertama saya harus mampu membuat garis antara apa yang disebut sebagai kepentingan publik dan kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok,” ujarnya, seperti saya tuliskan dalam buku “Mengejar Fajar”.
(Baca: Soal Surat Konflik Kepentingan & Amartha, Jokowi Diminta Pecat Stafsus)
Langkah ini juga dilakukan Sri, karena ia sadar bahwa Menteri Keuangan adalah sebuah jabatan strategis dengan kekuasaan sangat besar. Peluang penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi terbuka lebar.
Kecurigaan pun dengan mudah akan menghampirinya. Karena itu, ia memilih membentengi diri dengan menghindar dari potensi benturan kepentingan, yang dapat dengan mudah menjadikannya sasaran tembak.
“Bahkan pada saat saya tidak berpikir korup pun, orang sudah berpikir ngeres mengenai hal itu,” katanya.
Berkat integritas dan kredibilitas yang terjaga itulah, Sri Mulyani bisa tetap tegak hingga kini, meski badai politik kasus Bank Century sempat hampir menghempaskannya. Sebuah pelajaran penting yang juga bisa dipetik oleh para Stafsus Milenial tentunya.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.