Skema Kemitraan Pemerintahan yang Terbuka

Meuthia Ganie-Rochman
Oleh Meuthia Ganie-Rochman
5 Oktober 2019, 08:00
Meuthia Ganie-Rochman
KATADATA/JOSHUA SIRINGO RINGO

Kemitraan pemerintahan yang terbuka merupakan kerangka pengelolaan urusan pemerintahan yang menguat sejak era 2000-an. Pada 2011, kerangka ini dijadikan suatu entitas internasional resmi dengan nama Open Government Partnership (OPG). Kini, keanggotaannya telah mencapai 79 negara. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri OPG.

Intinya, OPG adalah model pemerintahan yang berkomitmen untuk memperbesar transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Setiap negara anggota OPG diminta membuat rencana aksi sebagai bentuk komitmennya untuk memperbaiki kinerja tata kelola di bidang–bidang tertentu.

Setiap negara memiliki fokus yang berbeda, sesuai dengan pertimbangan akan pentingnya mengatasi persoalan-persoalan tertentu, kesiapan sumber daya, kekuatan pemerintah, tingkat kolaborasi yang terbangun antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah (swasta dan masyarakat).

Indonesia mengaitkan komitmen OPG dengan delapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Komitmen tersebut bukan hanya untuk memperbaiki tata kelola birokrasi di berbagai sektor, misalnya sektor kehutanan, pendidikan, dan kesehatan. Komitmen ini juga menyangkut perbaikan tata cara partisipasi masyarakat, akses, serta integrasi data.

OPG mengangkat prinsip keterbukaan dan partisipasi masyarakat sejak penentuan tujuan dan pengembangan sistem. Beberapa komitmen menggunakan konsultasi publik sebelum pemerintah menerapkan aturan tertentu. Namun, dalam banyak hal OPG sangat mengandalkan teknologi informasi internet dalam prosesnya.

Pemerintah sering mengambil inisiatif penggunaan internet dalam berbagai sektor pelayanan publik. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk memudahkan pelayanan tetapi juga sebagai alat monitoring. Ambil contoh di Surabaya, kota ini telah menerapkan koneksi data sehingga status pasien dan pengobatan dapat dilihat komunitas medis.

Pada beberapa kasus, OPG digunakan sebagai alat untuk mengatasi intervensi terhadap pemerintah. Kepala daerah terpilih sering berada dalam tekanan kepentingan tertentu sehingga mengganggu keputusan rasional dalam program kesejahteraan masyarakat. Intervensi kepentingan ini sering menyasar perolehan kontrak dari pemerintah. Dengan e-tender, diharapkan persaingan penawaran proyek-proyek pengadaan pemerintah dapat dilakukan secara terbuka.

Membangun sistem yang mumpuni

Peran OPG dalam meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah sangat penting. Meski demikian, keliru jika OPG dianggap sebagai kerangka ideal yang sudah jadi. Pasalnya, ada beberapa hal yang mempengaruhi seberapa jauh OPG akan membawa perubahan masyarakat ke arah kesejahteraan.

Pertama, OPG mengubah paradigma demokrasi. Pemerintah tidak lagi dipandang dengan kecurigaan dan kritis, melainkan sebagai mitra yang menyediakan ruang institusional bagi berbagai kelompok. Persoalan yang menjadi perhatian OPG adalah membuat sistem yang paling efektif dan terjangkau secara luas. Seluruh pengelolaan kota diterapkan dengan aplikasi-aplikasi dan monitoring dilakukan dengan agregat kecenderungan.

Misalnya, Kota Bojonegoro memiliki sekitar 80 aplikasi. Demokrasi digital memberi akses kepada siapapun untuk masuk dalam sistem informasi dan monitoring. Hal ini sebagian menggantikan komunikasi politik yang berdasarkan basis politik legitimasi dengan komunikasi sistem yang terpilah berdasarkan kategori dan terstandar.

Tentu semua data ini sangat berguna untuk memantau pemanfaatan program pemerintah. Namun ada juga sisi negatifnya, yakni keterpukauan terhadap agregat. Para pembuat dan pelaksana sistem pengolahan data tidak ditopang oleh para ahli ilmu sosial dan ekonomi untuk melihat konstruksi di dunia nyata dari agregat tersebut.

Data besar (big data) bisa melihat angka kejadian, misalnya, akses kelompok dan perilaku konsumsi. Selain itu, data besar bisa melihat adanya hubungan satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, hubungan perbaikan birokrasi pelayanan izin dengan investasi.

Meski demikian, data besar tidak serta-merta dapat menjelaskan penyebab dan bagaimana suatu hal terjadi. Sebagai contoh, pelayanan rumah sakit tidak serta-merta menurunkan angka penyakit degeneratif karena terkait dengan gaya hidup dan faktor-faktor lain. Artinya, penggunaan big data harus dilengkapi dengan pemahaman tentang apa yang terjadi di dalam masyarakat. Di beberapa kota yang menerapkan OPG, pemerintah kota tidak menyediakan unit atau organisasi yang kuat dalam menopang aspek substantif tadi.

Masalah di atas membawa kita pada kesiapan kelompok non pemerintah sebagai mitra. Pemerintah menyediakan sistem sedangkan organisasi lain mengembangkan penerapannya. Pertanyaannya, berapa banyak lembaga riset atau universitas atau organisasi non-pemerintah (lembaga swadaya masyarakat/LSM) yang siap membantu menyediakan kerangka dan pengembangan tata kelola baru? 

Beberapa tentu sudah ada, seperti yang terlihat di dalam rencana aksi OPG 2018-2020. Namun, kesiapan lembaga riset atau LSM tersebut sangat terbatas. Pasalnya, di masa lalu kerja sama untuk memperbaiki sistem publik yang dilakukan pemerintah dan organisasi lain jarang bersifat berkelanjutan dan metodik. Beberapa LSM baru belajar bagaimana memperbaiki institusi publik dari dalam. Oleh karena itu, skema OPG harus dilengkapi interaksi intensif dengan organisasi yang mampu melihat masalah secara substantif.

Meuthia Ganie-Rochman
Meuthia Ganie-Rochman
Sosiolog Organisasi, Universitas Indonesia

Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...