Darurat Pajak Perusahaan Digital, Saatnya Negara Berkembang Bersuara
Banyak pemerintahan dan negara sempat dilanda kemarahan pada beberapa tahun lalu, akibat rendahnya pembayaran pajak atau tidak adanya pembayaran dari beberapa perusahaan multinasional terbesar di dunia. G20 kemudian menunjuk Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) untuk merancang alternatif perpajakan demi mengakhiri pengemplangan pajak.
Sebagai respons atas hal itu, pada 9 Oktober lalu OECD mengajukan proposal sistem perpajakan internasional baru yang rencananya akan diterapkan di dunia dalam beberapa dekade mendatang.
Kita sedang berbicara tentang masalah besar. Di Amerika Serikat (AS) misalnya, 60 dari 500 perusahaan terbesar, termasuk Amazon, Netflix, dan General Motors, tidak membayar pajak sesen pun pada 2018 meski terdapat keuntungan kumulatif sebesar US$ 79 miliar. Itu terjadi karena sistem saat ini memungkinkan mereka melakukan hal tersebut dengan cara yang sepenuhnya legal.
Penyalahgunaan, seringkali legal, dilakukan berdasarkan pengaturan yang rumit tetapi pada prinsipnya sangat sederhana. Perusahaan multinasional hanya membayar pajak di anak perusahaan di mana perusahaan multinasional tersebut menyatakan keuntungannya.
Dengan cara tersebut, mereka memperlihatkan laba yang rendah atau defisit di negara berpajak tinggi jika di negara-negara itulah perusahaan melakukan sebagian besar kegiatannya. Perusahaan akan melaporkan laba yang tinggi di yurisdiksi di mana pajak sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Akibatnya, negara-negara berkembang kehilangan pendapatan setidaknya US$ 100 miliar setiap tahun, yang disembunyikan oleh perusahaan multinasional di negara bebas pajak. Menurut ekonom Gabriel Zucman, secara global, cara ini mengalihkan 40% dari keuntungan asing ke surga pajak.
Dengan digitalisasi ekonomi yang dipercepat, jumlah dana yang dialihkan terus meningkat sebagaimana disoroti oleh banyak lembaga, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) dan Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD). Namun, langkah terpenting datang dari OECD yang menerima mandat dari G20 untuk mengusulkan alternatif bagi sistem perpajakan internasional saat ini, termasuk efek dari digitalisasi.
OECD Tak Memberi Perlakuan yang Sama
Setelah beberapa dekade berakhir tanpa tindakan, proses penyusunan proposal maju pesat. Setelah publikasi proposal tersebut belum lama ini, OECD akan membuat versi finalnya pada 2020 dan meletakkan landasan untuk sistem perpajakan internasional yang baru. Setelah tanggal itu, praktis tidak mungkin memengaruhi proses reformasinya.
Itu sebabnya kita perlu mengingatkan negara-negara berkembang. Mereka tidak dapat lagi mengatakan bahwa mereka tidak memiliki suara dalam proses tersebut.
OECD telah memberi mereka tempat di meja perundingan dengan menciptakan kelompok yang disebut "Kerangka Kerja Inklusif". Dengan beranggotakan 134 orang, kelompok tersebut menjadi arena di mana sistem perpajakan global mendatang akan diputuskan.
Sayangnya, terlepas dari namanya, kami tidak memiliki level permainan yang sama dalam Kerangka Kerja Inklusif ini. Negara-negara kaya memiliki lebih banyak sumber daya manusia, politik, dan keuangan untuk memenangkan pandangan mereka.
Dengan jumlah kantor pusat multinasional terbesar, mereka juga paling rentan terhadap tekanan dunia usaha sehingga mengorbankan warga negara mereka sendiri dan seluruh dunia. Tetapi dengan menolak untuk menyadari apa yang dipertaruhkan, negara-negara berkembang juga gagal menghadapi tanggung jawab mereka masing-masing.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.