Angka Kemiskinan Versi BPS Berbeda Signifikan dengan Bank Dunia, Ini Penyebabnya


Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data kemiskinan Indonesia dengan hasil yang sangat berbeda. Dalam laporan per Juni 2025, Bank Dunia menyebut hampir 70% masyarakat Indonesia masuk kategori miskin, berbeda jauh dari data resmi BPS.
Berdasarkan laporan June 2025 Update to the Poverty and Inequality Platform (PIP), Bank Dunia mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 68,25%. Dengan total penduduk 2024 diperkirakan mencapai 285 juta jiwa, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 194,67 juta orang pada tahun lalu.
Berbeda jauh dengan Bank Dunia, BPS mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2025 hanya 23,85 juta orang, atau 8,47% dari total populasi. Angka tersebut turun dari tahun sebelumnya.
Jumlah penduduk miskin berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional alias Susenas Maret 2025 itu turun 0,20 juta orang terhadap September 2024. Selain itu juga turun 1,37 juta orang terhadap Maret 2024.
BPS mengungkapkan, persentase penduduk miskin pada Maret 2025 itu sebesar 8,47% atau menurun 0,10% poin terhadap September 2024. Selain itu juga menurun 0,56% poin terhadap terhadap Maret 2024.
Mengapa Ada Perbedaan Data Sangat Signifikan?
Saat ini, masih terdapat perbedaan metode penghitungan kemiskinan yang dilakukan BPS jika dibandingkan dengan Bank Dunia. Lembaga tersebut mengubah metode penghitungan, yakni menggunakan standar baru purchasing power parity atau PPP 2021, menggantikan PPP 2017.
PPP atau paritas daya beli merupakan perbandingan harga barang dan jasa yang sama di berbagai negara setelah nilai tukar disesuaikan. Bank Dunia menggunakan dolar Amerika Serikat bukan dengan kurs nilai tukar yang berlaku saat ini, namun paritas daya beli.
Pada laporan April 2025, Bank Dunia mengklasifikasikan penduduk miskin di negara berpendapatan menengah atas dengan ambang batas pengeluaran US$ 6,85 purchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli atau setara Rp 41.052 per orang per hari (kurs US$ 1 PPP 2024 Rp 5.993).
Dengan standar PPP 2021, Bank Dunia menaikkan ambang batas kemiskinan sebagai berikut:
- Kemiskinan ekstrem: dari US$ 2,15 menjadi US$ 3 per hari setara Rp 17.979 (kurs USS$ 1 PPP 2024 Rp 5.993)
- Negara berpendapatan menengah bawah: dari US$ 3,65 menjadi US$ 4,20 setara Rp 25.170
- Negara berpendapatan menengah atas: dari US$ 6,85 menjadi US$ 8,30 setara Rp 49.741
Karena Indonesia sudah tergolong negara berpendapatan menengah atas, maka garis kemiskinan baru yang digunakan adalah US$ 8,30 per orang per hari. Dengan garis kemiskinan ekstrem US$ 3 per hari.
Negara ini masuk dalam kategori negara menengah atas karena pada 2023 gross national income alias GNI atau pendapatan nasional bruto RI mencapai US$ 4.810 atau setara Rp 73,4 juta (kurs rata-rata 2023 Rp 15.255 per dolar AS).
Klasifikasi kategori negara menengah atas menurut Bank Dunia yaitu dengan GNI berada di level US$ 4.466 atau setara Rp 68,1 juta hingga US$ 13.845 atau setara Rp 211,20 juta.
Cara Penghitungan BPS Digunakan Sejak 1998
Sementara penghitungan jumlah penduduk miskin BSP berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional alias Susenas Maret 2025. BPS saat ini masih menggunakan PPP 2017 sebagai acuan dalam penghitungan kemiskinan nasional sehingga memiliki angka yang berbeda dengan Bank Dunia.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menjelaskan penggunaan PPP 2017 masih sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2025-2029.
Namun, Ateng memastikan pada dasarnya BPS sudah memperbarui penghitungan nilai ekonomi atau deflator spasial sesuai standar Bank Dunia yaitu PPP 2017. Untuk itu, Indonesia masih menggunakan metode penghitungan garis kemiskinan senilai US$ 2,15 per hari. Sementara Bank Dunia sudah menghitung garis kemiskinan ekstrem dengan acuan US$ 3 per hari.
Meski begitu, Ateng memastikan proses penyempurnaan metode penghitungan kemiskinan terbaru masih disempurnakan. Pembahasan masih dilakukan dan ditargetkan baru bisa rampung pada 2026.
Dengan begitu, metode penghitungan baru tersebut baru bisa digunakan untuk menghitung jumlah penduduk miskin pada Maret 2026 setelah lama tidak diperbarui sejak 1998.
“Kami akan menunggu saja. Kalau kami dari tim teknis, ketika nanti akan diimplementasikan, apakah tahun depan, bulan Maret 2026 atau lainnya, kami tetap untuk menunggu,” kata Ateng dalam konferensi pers, Jumat (25/7).
Ateng menjelaskan berbagai kajian dari internal BPS dan stakeholder masih dilakukan. Pemerintah dan BPS juga meminta masukan dari berbagai pakar untuk Menyusun metode penghitungan angka kemiskinan terbaru.