Aturan KUR Perumahan Terbit Pekan Depan, Plafon Capai Rp 130 Triliun


Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Maruarar Sirait menyatakan bahwa aturan mengenai Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor perumahan akan diterbitkan pekan depan. Salah satu poin penting dalam regulasi ini adalah masa tenggang pembayaran cicilan.
"Kami sedang merumuskan siapa saja yang berhak mendapatkan KUR Perumahan agar tepat sasaran dan tidak menimbulkan kredit macet," ujar Maruarar usai rapat koordinasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (25/7).
Pemerintah telah menyetujui plafon KUR Perumahan sebesar Rp 130 triliun yang diperuntukkan bagi kegiatan konstruksi dan pembelian rumah oleh pengembang.
Dalam skema ini, pemerintah akan memberikan subsidi bunga 5% dengan plafon pinjaman hingga Rp 5 miliar untuk pengembang, kontraktor, dan pedagang material bangunan.
Sementara itu, pelaku UMKM yang membeli, membangun, atau merenovasi rumah akan mendapatkan plafon pinjaman hingga Rp 500 juta, dengan bunga berjenjang antara 6% hingga 9% per tahun untuk tenor maksimal lima tahun.
Dengan suku bunga kredit konstruksi nasional mencapai 7,41% per April 2025, kehadiran subsidi pemerintah ini memungkinkan bunga KUR Perumahan ditekan hingga di bawah 3%.
Rendahanya Tingkat Penyerapan Rumah Subsidi
Meski begitu, Maruarar mengungkapkan tantangan terbesar sektor perumahan saat ini adalah rendahnya tingkat penyerapan rumah subsidi. Dari total kuota 350.000 unit, baru terserap sekitar 135.700 unit atau kurang dari 40%.
Data Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat menunjukkan bahwa 76% penerima rumah subsidi merupakan karyawan swasta, dan hampir 25% rumah bersubsidi tersebar di Jawa Barat.
Maruarar menegaskan pihaknya ditugaskan untuk memastikan seluruh kuota rumah subsidi terserap tahun ini. Bahkan, jika diperlukan, pemerintah siap menambah kuota. Namun, dia menekankan bahwa penyerapan menjadi tantangan utama.
"Kuota rumah bersubsidi tahun ini tidak ada masalah. Bahkan, pemerintah siap menambah kuota rumah bersubsidi kalau masih kurang. Namun tantangan kami saat ini adalah soal penyerapan," katanya.
Di luar program subsidi rumah, pemerintah juga menaruh perhatian serius pada perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) yang jumlahnya masih sangat tinggi.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, hanya 65% keluarga di Indonesia tinggal di rumah layak huni. Sementara sisanya sekitar 26 juta unit masih tergolong RTLH.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun lalu, hanya 65% keluarga di Indonesia yang menempati rumah layak huni. Menanggapi hal ini, Maruarar meningkatkan target program renovasi rumah tidak layak huni dari 38.504 unit pada tahun ini menjadi 2 juta unit pada 2025.
“Bagi saya, prioritas di bidang perumahan ada dua: renovasi 2 juta rumah dan pembangunan 500.000 rumah bersubsidi. Kita harus membuat skala prioritas, karena APBN tidak mungkin menyerap semua aspirasi masyarakat,” ujar Maruarar saat rapat di Gedung DPR, Kamis (10/7).