Alasan Muncul Fenomena Rojali, Ketika Masyarakat ke Mal Bukan untuk Belanja

Mela Syaharani
Oleh Mela Syaharani - Yuliawati
21 Juli 2025, 13:58
Rojali
ANTARA FOTO/Muhammad Izfaldi/agr
Pengunjung memilih sepatu di salah satu store di kawasan Bencoolen Mall, Kota Bengkulu, Bengkulu, Jumat (28/3/2025). Sejumlah pusat perbelanjan di Bengkulu menawarkan diskon atau potongan harga barang hingga 70 persen dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Ramainya pusat perbelanjaan di kota-kota besar tak selalu sejalan dengan tingginya transaksi. Muncul fenomena Rojali atau rombongan jarang beli, yakni pengunjung yang datang beramai-ramai tetapi jarang berbelanja.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai fenomena ini bukan hal baru. Namun, tren ini semakin nyata setelah pandemi Covid-19.

“Kelas menengah makin terhimpit oleh biaya hidup, terutama inflasi bahan pangan, harga perumahan, dan suku bunga yang tinggi. Mereka ke mal hanya untuk rekreasi atau refreshing, bukan belanja,” kata Bhima kepada Katadata.co.id, Senin (21/7).

Menurutnya, pendapatan kelas menengah yang tergerus cicilan dan inflasi membuat mereka lebih fokus memenuhi kebutuhan pokok. Apalagi, pusat perbelanjaan lebih banyak menawarkan barang sekunder dan tersier seperti produk fesyen dan barang mewah.

“Ke mal itu cuma untuk cuci mata,” ujarnya.

Selain tekanan ekonomi, Bhima menilai perubahan perilaku belanja akibat kemudahan bertransaksi di toko online juga memperkuat fenomena rojali.

“Fenomena ini jangka panjang. Malah belum ada tanda-tanda pemulihan. Jadi, pusat perbelanjaan lah yang harus menyesuaikan,” kata Bhima.

Menurut dia, mal yang ingin bertahan harus mengubah konsep, lebih menonjolkan tempat makan, hiburan, dan rekreasi keluarga. “Mal-mal yang mengubah konsepnya itu yang bertahan, karena pengeluaran konsumen untuk rekreasi bisa menopang pendapatan mal,” katanya.

Bhima memprediksi, tren rojali masih akan berlanjut hingga 2026. “Tahun depan ini masih akan terjadi. Ada perang dagang, potensi PHK di sektor padat karya, daya beli yang menurun, dan efisiensi belanja pemerintah. Semua itu mengurangi ruang belanja kelas menengah,” ujarnya.

Kelas Menengah Pilih Investasi, Daya Beli Tertekan

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual  menilai fenomena muncul rojali ini menunjukkan melemahnya konsumsi kelas menengah bawah. "Untuk kelompok berpendapatan rendah, faktor utamanya jelas karena penurunan daya beli,” kata David.  

David mengatakan tren penurunan belanja masyarakat hingga kuartal II/2025, data ini memperkuat tren banyaknya warga RI yang menjadi 'rojali'. "Mal kelihatan ramai, tetap banyak mereka hanya makan saja, mencari diskon, atau cafe yang ada diskon. Ditambah lagi, saat ini sudah ada e-commerce," ujar David dalam Editors Briefing Bank Indonesia yang berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7).

Sedangkan kelas menengah atas memilih berhati-hati dalam belanja.“Mereka lebih memilih instrumen investasi dibanding konsumsi barang," kata David. Dia mengatakan saat ini kelas menengah atas yang memiliki simpanan memilih berinvestasi mulai dari obligasi, emas hingga saham. 

Ia mengingatkan, bila tren ini berlanjut, maka bisa memengaruhi pertumbuhan sektor konsumsi. Padahal, sektor ini menyumbang sekitar 60% terhadap perekonomian Indonesia.

Cerita Pengunjung: Lebih Sering Cuci Mata

Bagi Meuthia Nafasya (25), karyawan swasta asal Bogor, pergi ke mal bukan untuk belanja.

“Seringnya cuma jalan-jalan, lihat-lihat barang lucu buat referensi. Paling sering ke mal buat makan,” kata Meuthia. Ia menilai rojali wajar, meski tentu berpengaruh bagi gerai yang sepi pembeli.

Hal serupa dirasakan Karina Rahma (25), karyawan di Jakarta Selatan. Menurutnya, ke mal sering kali hanya untuk cuci mata, apalagi di akhir bulan.

“Kalau ada barang yang cocok, baru saya beli di awal bulan setelah gajian,” kata Karina. Ia menilai, asal tidak mengganggu pegawai, sah saja datang ke mal tanpa belanja.

Berbeda dengan Amalia Nauvali (33), ibu rumah tangga yang juga guru. Ia mengaku ke mal biasanya karena ada kebutuhan, tapi sesekali hanya jalan-jalan.

“Kadang sekalian makan, ngadem, atau jalan-jalan. Hitung-hitung olahraga gratis,” ujarnya. Ia juga tak mempermasalahkan rojali. “Setidaknya mereka bayar parkir. Kalau tergoda, ya bisa jadi beli cemilan atau minuman,” kata Amalia.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Mela Syaharani

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...