MK Tolak Gugatan Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1


Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang yang diajukan advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak. Permohonan itu terkait wacana redenominasi rupiah dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 94/PUU-XXIII/2025 ini diputus pada Rabu, 17 Juli 2025. Dalam amar putusan, Ketua MK Suhartoyo menegaskan pengaturan nominal mata uang bukanlah norma konstitusional yang bisa diuji di MK.
"Permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum," tulis putusan MK dikutip Jumat (18/7).
Zico sebelumnya menggugat Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang, yang mengatur kewajiban pencantuman angka dan huruf pada pecahan rupiah. Ia menilai, aturan itu tidak mendukung kebijakan redenominasi yang bertujuan menyederhanakan jumlah nol dalam mata uang.
Menurut Zico, terlalu banyak nol dalam denominasi rupiah membuat transaksi menjadi tidak efisien dan rentan kesalahan, terutama di era pembayaran digital. Ia bahkan mengaku pernah salah transfer saat bertransaksi menggunakan QRIS.
Zico juga menganggap, jumlah nol yang besar di mata uang rupiah berdampak pada citra Indonesia di kancah internasional. Ia menganggap, sulitnya menukarkan rupiah di luar negeri dan lemahnya nilai tukar membuat daya beli warga negara Indonesia tergerus di pasar global.
Sebaliknya, saat berada di Singapura, ia merasa lebih mudah menghitung dan bertransaksi dengan dolar Singapura yang nominalnya kecil. Menurutnya, denominasi besar rupiah membuat konsumen harus ekstra hati-hati saat melihat jumlah angka nol.
Namun, MK menilai dalil tersebut tidak memenuhi unsur kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Mahkamah juga menegaskan, kebijakan redenominasi sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan pembentuk undang-undang.
"Pemohon tidak berhasil meyakinkan Mahkamah bahwa hak konstitusionalnya dilanggar oleh norma tersebut," ucap Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut kebijakan redenominasi berkaitan erat dengan aspek makroekonomi, stabilitas fiskal dan moneter, sistem pembayaran, dan literasi masyarakat. Karena itu, pelaksanaannya harus melalui undang-undang, bukan sekadar penafsiran atau pengujian norma.
"Perubahan harga rupiah diatur dengan undang-undang. Pemohon seharusnya memperjuangkan redenominasi melalui pembentuk undang-undang, bukan Mahkamah," tulis MK.
MK juga menyatakan, Pasal 5 ayat (1) huruf c dan Pasal 5 ayat (2) huruf c UU Mata Uang tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan, kepastian hukum, dan perlindungan yang dijamin UUD 1945.