Tarif Trump Makin Dekat, Investor Waspadai Lonjakan Saham dan Dampak Pajak Baru


Menjelang tenggat waktu tarif perdagangan yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Rabu ini, investor global terlihat tenang dan tidak terlalu khawatir. Mereka menilai berbagai skenario yang mungkin terjadi sudah banyak yang “dihitung” pasar sejak jauh hari.
Beberapa hari sebelum berakhirnya jeda 90 hari yang Trump umumkan saat “Hari Pembebasan” pada 2 April lalu, dia mengatakan akan mengirim surat resmi kepada 12 negara terkait rincian tarif yang akan dikenakan atas ekspor mereka ke AS. Surat-surat tersebut mulai dikirim pada Senin ini.
Para pelaku pasar yang sudah memantau tanggal ini selama berbulan-bulan dan memperkirakan akan muncul lebih banyak detail dalam beberapa hari ke depan.
Mereka juga siap menghadapi ketidakpastian yang kemungkinan masih berlanjut, karena Trump diyakini tidak akan mampu mencapai kesepakatan dengan seluruh mitra dagang AS dalam waktu dekat. Namun, kekhawatiran pasar terhadap isu tarif ini kini mulai mereda.
“Pasar sekarang jauh lebih tenang menghadapi kabar tarif. Ada keyakinan bahwa tenggat waktu ini cukup fleksibel, kecuali ada kejutan besar, dampaknya tidak akan terlalu mengguncang,” ujar Jeff Blazek, Co-Chief Investment Officer di Neuberger Berman, New York dikutip Reuters, Senin (7/7).
Besaran tarif dan tanggal pemberlakuannya masih terus berubah. Trump sebelumnya mengumumkan rentang tarif 10%-50% pada April lalu, namun pada Jumat kemarin dia menyatakan tarif bisa mencapai 70% mulai 1 Agustus 2025.
Hingga kini, AS baru mencapai kesepakatan terbatas dengan Inggris dan kesepakatan prinsip dengan Vietnam. Sementara pembicaraan dengan India dan Jepang belum membuahkan hasil, dan negosiasi dengan Uni Eropa juga mengalami hambatan.
Di sisi lain, pasar saham global tetap menguat. Indeks saham dunia tercatat naik 11% sejak 2 April. Setelah sempat anjlok 14% hanya dalam tiga hari usai pengumuman “Hari Pembebasan”, pasar berhasil bangkit dan menguat hingga 24% sejak titik terendahnya.
“Kalau Hari Pembebasan diibaratkan sebagai gempa bumi, surat-surat tarif ini hanyalah gempa susulan. Dampaknya tidak akan sebesar pengumuman sebelumnya, meskipun tarif yang diterapkan nanti lebih tinggi dari 10%,” kata Rong Ren Goh, Portfolio Manager di Eastspring Investments, Singapura.
Menurut dia, melimpahnya likuiditas di sistem keuangan global membuat investor sulit untuk keluar dari pasar atau mengurangi eksposur aset berisiko tanpa takut ketinggalan reli harga yang terjadi, seperti yang banyak dialami investor setelah April lalu.
Pajak dan Kebijakan The Fed Jadi Sorotan
Sementara itu, fokus investor juga terpecah ke isu lain, yakni paket pajak dan belanja pemerintah AS yang baru saja disahkan Trump pada Jumat lalu. Paket tersebut secara permanen memberlakukan pemotongan pajak yang sebelumnya diluncurkan pada 2017.
Pasar saham menyambut baik kebijakan tersebut. Indeks S&P 500 dan Nasdaq kembali mencetak rekor tertinggi dan membukukan kenaikan selama tiga pekan berturut-turut. Di Eropa, indeks STOXX 600 juga melonjak 9% dalam tiga bulan terakhir.
Namun, pasar obligasi dan nilai tukar dolar AS menunjukkan kekhawatiran. Potensi inflasi akibat tarif baru dan peningkatan utang pemerintah diperkirakan bisa mendorong naik suku bunga, yang berdampak negatif ke pasar keuangan.
Dolar AS bahkan mencatat kinerja semester pertama terburuk sejak 1973, dengan pelemahan sekitar 11%. Sejak 2 April 2025, dolar sudah melemah 6,6%.
“Pasar memperkirakan tarif akan kembali ke kisaran 35%-40%, tapi secara umum mengantisipasi tarif rata-rata sekitar 10 persen,” kata John Pantekidis, Chief Investment Officer di TwinFocus, Boston.
Pantekidis mengaku masih cukup optimistis terhadap pasar saham AS tahun ini, meski tetap mewaspadai pergerakan suku bunga. Dia memperkirakan suku bunga akan turun di paruh kedua 2025.
"Tapi kalau pasar obligasi khawatir soal dampak paket kebijakan baru dan bunga justru naik, itu bisa jadi cerita yang berbeda,” katanya.