Kata Wamenkeu Anggito Soal Pajak E-Commerce, Berlaku Juli 2025?

Rahayu Subekti
30 Juni 2025, 14:35
pajak e-commerce, pajak
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nym.
Pekerja menawarkan produk dagangannya secara daring melalui aplikasi E-Commerce di Bandung, Jawa Barat, Senin (30/6/2025). Pemerintah akan mengenakan pajak sebesar 0,5 persen bagi pelaku UMKM yang menjual produknya melalui E-Commerce bagi penjual yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar guna memperluas cakupan penerimaan pajak sekaligus menciptakan keadilan antara pelaku usaha daring dan luring.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Pemerintah tengah memfinalisasi regulasi pungutan pajak bagi para e-commerce yang membuka lapak di platform digital, seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan lain sebagainya. Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu belum dapat mengungkapkan kepastian waktu regulasi tersebut diberlakukan.

Ia meminta semua pihak menunggu aturan pajak e-commerce tersebut resmi terbit dahulu. “Itu kebijakannya belum diterbitkan ya. Jadi tunggu dulu karena belum dikeluarkan,” kata Anggito di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (30/6).

Regulasi ini nantinya, menurut dia, untuk menciptakan perpajakan yang adil, khususnya bagi pelaku usaha atau pedagang yang berbisnis secara daring (online) dan konvensional atau luring (offline).

Dengan adanya aturan baru, pemerintah dapat mendata transaksi penjualan yang dilakukan melalui platform digital atau marketplace. Selama ini pemerintah belum bisa mencatat perpajakan di sektor perdagangan melalui sistem elektronik alias PMSE.

“Jadi kami menugaskan platform untuk mendata siapa saja yang melakukan perdagangan melalui PMSE. Itu  dulu pernah dilakukan tapi dibatalkan,” ujar Anggito.

Pada 2018, pemerintah berencana menerapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 Tahun 2018 tentang Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce). Namun kebijakan ini dibatalkan setelah pemerintah menerbitkan PMK Nomor 31 Tahun 2019.

Tidak Ada Pajak Ganda

Anggito juga menegaskan, dengan adanya penerapan pajak e-commerce tidak membuat pelaku usaha membayar pajak ganda. Khususnya bagi pedagang konvensional yang juga membuka usahanya di platform digital.

“Kalau yang offline, Anda beli baju kena PPN dan bayar. Tapi kalau yang di PMSE, kita enggak tahu  karena enggak ada datanya, informasinya tidak ada,” katanya.

Untuk itu, ia menegaskan pada dasarnya kebijakan ini nantinya bertujuan untuk mendata transaksi perdagangan secara daring. Lalu yang kedua, memberikan perlakuan yang sama antara pedagang konvensional dan online.

Marketplace Jadi Pemungut Pajak

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merampungkan aturan baru yang mewajibkan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan platform sejenis untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi para penjual di platform mereka.

Aturan ini akan berlaku bagi pedagang dengan omzet di atas Rp 500 juta per tahun, yang akan dikenakan tarif pajak sebesar 0,5%.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Rosmauli Simbolon menjelaskan ketentuan tersebut dibuat untuk menciptakan keadilan sekaligus mempermudah administrasi perpajakan di ekosistem digital. 

“Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antar pelaku usaha. Hal ini tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6).

Hingga saat ini, regulasi tersebut masih dalam tahap finalisasi di internal pemerintah. Kemenkeu memastikan bahwa sebelum aturan berlaku, seluruh ketentuan akan disosialisasikan secara terbuka kepada publik. 

“Pemerintah memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Jika regulasi ini resmi diterbitkan, Direktorat Jenderal Pajak akan menjelaskan secara terbuka, lengkap, dan transparan,” kata Rosmauli. 

Aturan ini diperkirakan berdampak signifikan pada jutaan penjual di berbagai marketplace di Indonesia. Dikutip dari Reuters, Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) bahkan menyebutkan kebijakan ini akan mempengaruhi jutaan merchant jika diterapkan. 

Seiring pesatnya pertumbuhan industri e-commerce nasional, potensi pajak dari sektor ini memang terus menjadi perhatian. Berdasarkan laporan Temasek dan Bain & Company, nilai barang dagangan kotor (Gross Merchandise Value/GMV) e-commerce Indonesia tahun lalu mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun (kurs Rp 16.292 per dolar AS). Angka tersebut diperkirakan melonjak menjadi US$ 150 miliar atau setara Rp 2.444 triliun pada 2030. 

Namun di tengah pertumbuhan ekonomi digital, pendapatan negara justru mengalami tekanan. Data Kemenkeu menunjukkan, penerimaan negara sepanjang Januari-Mei 2025 turun 11,4% secara tahunan menjadi Rp 995,3 triliun. 

Penurunan ini disebabkan oleh harga komoditas yang melemah, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta gangguan pada sistem pengumpulan pajak akibat transisi teknologi perpajakan.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti
Editor: Sorta Tobing

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...