Kemenkeu Ungkap Alasan Tunjuk Shopee hingga TikTok Shop Jadi Pemungut Pajak


Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merampungkan aturan baru yang mewajibkan marketplace seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan platform sejenis untuk memungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi para penjual di platform mereka.
Aturan ini akan berlaku bagi pedagang dengan omzet di atas Rp 500 juta per tahun, yang akan dikenakan tarif pajak sebesar 0,5%.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Rosmauli Simbolon menjelaskan ketentuan tersebut dibuat untuk menciptakan keadilan sekaligus mempermudah administrasi perpajakan di ekosistem digital.
“Mekanisme ini dirancang untuk memberikan kemudahan administrasi, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan perlakuan pajak yang setara antar pelaku usaha. Hal ini tanpa menambah beban atau menciptakan jenis pajak baru,” ujar Rosmauli dalam keterangan tertulis, Kamis (26/6).
Perkuat Pengawasan Ekonomi Digital
Selain mendorong kepatuhan, aturan ini juga bertujuan memperkuat pengawasan atas aktivitas ekonomi digital, khususnya dari para pedagang online yang selama ini belum sepenuhnya menjalankan kewajiban perpajakan.
“Sering kali ini terjadi karena kurangnya pemahaman maupun keengganan menghadapi proses administratif yang dianggap rumit,” kata Rosmauli.
Dengan melibatkan marketplace sebagai pemungut pajak, pemerintah berharap proses perpajakan dapat berjalan lebih mudah, efisien, dan proporsional. Di saat yang sama, kontribusi pajak diharapkan lebih mencerminkan kapasitas usaha masing-masing pelaku.
Aturan Masih Difinalisasi
Hingga saat ini, regulasi tersebut masih dalam tahap finalisasi di internal pemerintah. Kemenkeu memastikan bahwa sebelum aturan berlaku, seluruh ketentuan akan disosialisasikan secara terbuka kepada publik.
“Pemerintah memahami pentingnya kejelasan bagi para pelaku usaha dan masyarakat. Jika regulasi ini resmi diterbitkan, Direktorat Jenderal Pajak akan menjelaskan secara terbuka, lengkap, dan transparan,” kata Rosmauli.
Aturan ini diperkirakan berdampak signifikan pada jutaan penjual di berbagai marketplace di Indonesia. Dikutip dari Reuters, Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) bahkan menyebutkan kebijakan ini akan memengaruhi jutaan merchant jika diterapkan.
Seiring pesatnya pertumbuhan industri e-commerce nasional, potensi pajak dari sektor ini memang terus menjadi perhatian. Berdasarkan laporan Temasek dan Bain & Company, nilai barang dagangan kotor (Gross Merchandise Value/GMV) e-commerce Indonesia tahun lalu mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun (kurs Rp 16.292 per dolar AS).
Angka tersebut diperkirakan melonjak menjadi US$ 150 miliar atau setara Rp 2.444 triliun pada 2030. Namun di tengah pertumbuhan ekonomi digital, pendapatan negara justru mengalami tekanan.
Data Kemenkeu menunjukkan, penerimaan negara sepanjang Januari-Mei 2025 turun 11,4% secara tahunan menjadi Rp 995,3 triliun. Penurunan ini disebabkan oleh harga komoditas yang melemah, pertumbuhan ekonomi yang melambat, serta gangguan pada sistem pengumpulan pajak akibat transisi teknologi perpajakan.
Inisiatif pembangunan rendah karbon dilakukan pada bidang-bidang prioritas, terutama dalam hal tata guna lahan hutan dan gambut.
Di sejumlah daerah, berbagai inisiatif kolaborasi telah dijalankan dan menunjukkan bahwa kelestarian lingkungan bisa dicapai dengan tetap memperhatikan kesejahteraan warga.
Laporan lengkap dapat diunduh melalui tautan ini