Siap-siap, Pelapak di Shopee hingga TikTok akan Dipungut Pajak 0,5%


Pemerintah dikabarkan tengah membahas aturan baru berkaitan dengan penerapan pajak bagi pelapak di e-commerce. Sebelumnya, pemerintah sempat menunda pemungutan pajak penghasilan atau PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pelapak di e-commerce.
Namun berdasarkan sumber Reuters, pemerintah akan membuat aturan baru yang mengharuskan platform e-commerce atau marketplace memungut pajak dari para pelapaknya. Kabar ini didapatkan dari dua sumber industri e-commerce yang mendapatkan informasi tersebut serta dokumen yang dilihat langsung oleh kantor berita tersebut pada Selasa (24/6).
Kriteria Pelapak yang Terkena Pajak
Dalam aturan baru nanti, marketplace akan diminta untuk memotong dan meneruskan pembayaran pajak kepada otoritas hingga 0,5%. Pajak ini hanya akan dikenakan bagi pelapak yang memiliki omzet tahunan berkisar Rp 500 juta hingga Rp 4,8 miliar.
Kebijakan ini dilakukan untuk menyamakan kedudukan dengan penjual atau toko yang berjualan secara fisik. Sumber Reuters juga mengungkapkan, pajak bagi pelapak di e-commerce akan diterapkan pada Juli 2025.
Jutaan Penjual akan Terdampak
Aturan baru ini dipastikan akan mempengaruhi sejumlah marketplace di Indonesia seperti TikTok Shop, Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, hingga Bukalapak.
Asosiasi industri e-commerce Indonesia idEA tidak mengonfirmasi atau membantah rincian rencana tersebut. Namun, asosasi ini mengatakan aturan tersebut akan mempengaruhi jutaan penjual jika diterapkan.
Laporan investor negara Singapura, Temasek, dan konsultan Bain & Co industri e-commerce Indonesia sedang berkembang pesat. Hal ini dengan perkiraan nilai barang dagangan kotor pada tahun lalu mencapai US$ 65 miliar atau sekitar Rp 1.059 triliun (menggunakan kurs Rp 16.292 per dolar AS).
Nilai tersebut juga diperkirakan tumbuh menjadi US$ 150 miliar atau setara Rp 2.444 triliun pada 2030.
Kondisi ini terjadi di tengah pendapatan negara yang turun. Data Kementerian Keuangna menujukkan angkanya anjlok 11,4% secara tahunan pada periode Januari hingga Mei menjadi Rp 995,3 triliun. Hal ini dikarenakan harga komoditas yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang lemah, dan gangguan pada pengumpulan pajak yang disebabkan oleh peningkatan sistem pajak.
Inisiatif pembangunan rendah karbon dilakukan pada bidang-bidang prioritas, terutama dalam hal tata guna lahan hutan dan gambut.
Di sejumlah daerah, berbagai inisiatif kolaborasi telah dijalankan dan menunjukkan bahwa kelestarian lingkungan bisa dicapai dengan tetap memperhatikan kesejahteraan warga.
Laporan lengkap dapat diunduh melalui tautan ini