Dampak Buruk Perang Iran-Israel ke RI: Harga Minyak Naik hingga Rupiah Anjlok

Rahayu Subekti
20 Juni 2025, 14:57
Israel
ANTARA FOTO/REUTERS/Ammar Aw
Bendera Israel berkibar dengan latar Dome of the Rock atau Masjid Kubah Batu bagi umat Muslim dan Bait suci untuk umat Yahudi di Kota Tua Yerusalem, Jumat (24/1/2020). Gambar diambil 24 Januari 2020.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Eskalasi konflik antara Israel dan Iran kian memanas dan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.

Para ekonom menilai bahwa ketegangan geopolitik ini bisa memicu guncangan besar di berbagai sektor ekonomi nasional, mulai dari energi hingga daya beli masyarakat.

Lonjakan Harga Minyak Jadi Ancaman Serius

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan bahwa risiko utama dari konflik Iran-Israel terhadap Indonesia datang dari potensi lonjakan harga minyak dunia.

“Ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, punya potensi memicu guncangan besar pada pasar energi global,” kata Yusuf kepada Katadata.co.id, Jumat (20/6).

Ia menjelaskan bahwa Indonesia bukan lagi negara eksportir minyak bersih. Oleh karena itu, setiap kenaikan harga minyak mentah langsung berdampak pada biaya impor energi dan memperlemah neraca perdagangan.

“Setiap kenaikan harga minyak mentah langsung berdampak pada biaya impor dan tekanan terhadap neraca perdagangan,” ujar Yusuf.

Rupiah Melemah, Beban Subsidi Bertambah

Yusuf juga menyoroti dampak lanjutan berupa pelemahan nilai tukar rupiah akibat meningkatnya ketidakpastian global. Ia menyebut investor cenderung menarik dananya dari pasar negara berkembang saat terjadi konflik, dan memindahkannya ke aset aman seperti dolar AS dan emas.

“Penarikan dana dialihkan ke aset-aset safe haven seperti dolar AS atau emas. Rupiah pun cenderung melemah,” katanya.

Menurut Yusuf, pelemahan rupiah tidak terjadi secara terpisah, tetapi membawa implikasi fiskal yang cukup berat, terutama terhadap subsidi energi. Saat harga minyak dunia naik dan rupiah melemah, maka harga keekonomian bahan bakar juga ikut melonjak.

Jika pemerintah tetap menahan harga BBM Pertalite dan Solar, maka selisih harga pasar dengan harga jual harus ditutup melalui APBN dalam bentuk subsidi.

“Artinya, ruang fiskal menjadi semakin sempit dan ini bisa mengganggu prioritas anggaran lain seperti infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan,” katanya.

Neraca Perdagangan Tertekan, Inflasi Mengintai

Senada dengan Yusuf, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai dampak terbesar dari konflik Iran-Israel adalah kenaikan tajam harga minyak dan gas dunia. Hal ini menurutnya bisa melemahkan kinerja neraca perdagangan Indonesia.

“Kalau harga minyak dan gas naik, permintaan dunia terhadap produk kita bisa menurun. Ini memperlebar defisit perdagangan dan mengganggu current account,” kata Wijayanto.

Ia menambahkan, jika kondisi ini dibarengi dengan gejala fly to quality atau perpindahan dana ke aset-aset aman, maka nilai tukar rupiah akan semakin melemah.

Ketergantungan Impor Energi Tingkatkan Risiko

Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi menyoroti posisi Indonesia yang sangat bergantung pada impor energi dari negara-negara Teluk seperti Qatar dan Uni Emirat Arab. Ketegangan di kawasan tersebut, khususnya jika sampai mengganggu jalur pelayaran seperti Selat Hormuz, bisa berdampak besar pada pasokan energi ke Indonesia.

“Indonesia sangat bergantung pada impor LPG dan BBM dari negara-negara Teluk. Jika pasokan terganggu, subsidi energi bisa naik drastis,” ujar Syafruddin.

Ia memperingatkan bahwa gangguan di jalur pelayaran strategis seperti Selat Hormuz bisa memperbesar risiko inflasi.

“Jika jalur pelayaran terganggu, biaya logistik akan meningkat, harga barang ikut naik, dan pada akhirnya inflasi akan menekan daya beli rumah tangga,” kata Syafruddin.

Menurut Wijayanto, gangguan distribusi energi dan komoditas penting dapat memicu tekanan harga yang signifikan di dalam negeri.

“Kalau distribusi terganggu, biaya logistik naik, harga barang ikut terdongkrak, dan akhirnya inflasi merusak daya beli rumah tangga,” kata Wijayanto.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

mobile apps preview
Reporter: Rahayu Subekti

Cek juga data ini

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...